Pada malam hari, aku bersama Euis, pulang mengajar ngaji. Segerombolan Anak rentenir bernama Hasan dan teman-temannya, mengikuti Aku dan Euis. Hasan gak pernah berhenti mengejar-ngejar Aku, walaupun sudah beberapa kali aku tolak.
"Hallo, Hafisa! mau aku antar?" tanya Hasan.
"Gak usah! gak pantas, apa kata orang kampung, kalau kamu ngantar saya!" sahut Hafisa.
"Gak usah peduliin orang kampung, mereka, mulutnya emang kaya gitu! ayo naik!" minta Hasan.
"Cukup ya Hasan! tolong kamu gak usah ganggu saya lagi! ayo Is!" sahut Hafisa mengajak temannya Euis.
"Dia berani nolak gue cuy! gak terima gue!" sahut Hasan.
"Udah lah, Bos, bukannya, Bos sudah berkali-kali ditolak? Ha-ha-ha...." sahut teman-teman Hasan menertawakan Hasan.
"Diam kalian semua! lihat aja nanti! kalian lihat semua yah, Hafisa bakal jadi istri gue!" sahut Hasan tersenyum.
"Sa, sebaiknya, besok kamu gak usah ngajar ngaji dulu deh, Euis takut, takut kamu di apa-apain sama Hasan gila itu!" saran Euis.
"Kalau aku gak ngaji, gimana Anak-anak Is? pasti Bu Komar gak akan bayar aku!" ucapku bingung.
"Kamu tenang aja Sa, ada aku, aku bakal gantiin kamu ngajar, aku bakal bilang sama Bu Komar, kalau sementara, aku yang gantiin kamu, nanti, gaji kamu, aku kasih ke kamu!" saran Euis.
"Kamu serius Is? gini aja, gaji kita bagi dua aja ya Is!" ucapku merasa tidak enak.
"Hafisa, kamu teh, gak usah gak enak sama Euis, Euis sahabat kamu sejak kecil, kamu lebih membutuhkan dari pada Euis." Sahut Euis.
"Makasih Euis, kamu sahabat terbaikku, aku gak tahu, harus bilang apa lagi sama kamu, kamu sudah banyak bantu aku." Ucapku tersenyum sambil berlinang air mata.
"Tong ceurik kitu Sa, jelek ah!" sahut Euis meledek.
"Gak nangis, aku teh, terharu Is, punya sahabat, baik seperti kamu." Ucapku.
"Euis gak mau, kamu sampai didekatin sama Hasan, bahaya!" sahut Euis.
Euis memang sahabat terbaikku. Euis selalu ada buat aku, aku izin ke Abah dan Ibu, kalau aku sementara gak ngajar ngaji, karena menghindar dari Hasan. Alhamdulillah, Abah dan Ibu mengerti. Aku melihat Adikku menangis, aku masuk kamarnya, dan menegurnya.
"Kamu teh, kenapa Dek, kok nangis? bilang sama Teteh!" ucapku menghapus air mata Awalilah.
"Percuma Teh, percuma Lilah bilang ke Teteh, kalau Teteh, gak bakal bisa bantu!" ucap Lilah.
"Kenapa Lilah? insya Allah, Teteh akan usahakan!" ucapku, menyakinkan Adikku.
"Lilah belum bayaran, selama enam bulan Teh, kalau Lilah, gak bayar, Lilah gak bisa ikut ujian! Teteh bisa bantu?" tanya Lilah menatapku sambil menangis.
"Insya Allah, Teteh akan usahakan! sekarang, kamu tidur, istirahat, jangan dipikirkan lagi yah, biar Teteh yang tanggung jawab!" ucapku meyakinkan Lilah.
"Benar ya Teh, makasih Teh." Sahut Lilah sambil tiduran dan merasa tenang.
Astaghfirullah, aku harus bagaimana ini? aku harus cari uang kemana lagi? gaji aku ngajar aja, masih kurang untuk bayar uang bulanan Lilah, kalau aku bilang Abah, Abah pasti stres, apa lagi Ibu, tapi, aku bangga sama Adikku yang satu ini, dia gak mau, bikin Abah sakit dan Ibu sedih, dia pendam sendiri, sabar ya Dek, Teteh akan berusaha, cari uang buat kamu.
Saat itu, Abah mendengarkan obrolanku dengan Lilah. Abah bingung dan nangis di kursi. Aku melihat Abah sambil menghapus air matanya yang terus-menerus menetes.
"Abah, belum tidur? Abah kenapa?" tanyaku menatap Abah.
"Hiks-hiks-hiks... Abah ini, Abah macam apa? Abah yang gak pernah bisa bahagiakan Anaknya, hanya bikin Anaknya sengsara, hiks-hiks-hiks...." Abah menyesal pada dirinya sendiri.
"Maksud Abah apa? Fisa gak ngerti? kenapa Abah salahkan diri Abah sendiri?" tanyaku berlinang air mata.
"Hiks-hiks-hiks... Abah mendengar semua pembicaraan kamu dengan Adikmu, Adikmu belum bayar iuran SPP selama enam bulan, Abah merasa gak berguna sebagai orang tua! Abah bingung, harus cari uang kemana lagi, sedangkan, hutang Abah masih banyak dan belum bayar di Kang Baron, ya Allah, dosa apa aku ini, sampai gak bisa memenuhi kebutuhan Anakku sendiri." Sahut Abah menangis dan merasa bersalah.
"Astaghfirullah, hiks-hiks-hiks.... Abah kenapa sampai pinjam uang Kang Baron? Abah tahu gak, banyak warga sini, yang dibantai semua kalau gak bayar Abah, bunganya pun pasti tinggi, Kang Baron terkenal kejam di kampung sini! Astaghfirullah... gimana kalau kita, sampai gak bisa bayar Abah?" tanyaku takut dan cemas, hatiku semakin kacau dan gelisah. Ketakutan pada diriku, semakin mendekat.
"Maafkan Abah Nak, Abah bingung waktu itu, Abah kepepet Nak, buat makan, buat bayar Ibu ke rumah sakit, Abah gak mau bebanin kamu Nak, mangkanya, Abah pinjam ke Kang Baron!" sahut Abah menjelaskan.
"Ibu sakit? sakit apa Bah? kenapa Abah gak pernah mau cerita ke Fisa? Fisa Anak Abah, biar bagaimana pun, gak pernah ada beban dalam hidup Fisa Bah, Hafisa gak tahu lagi, harus bagaimana Bah, hiks-hiks-hiks..." aku langsung berlari dan masuk kamar. Aku menangis dan stres harus bagaimana, menghindari Hasan, sepertinya gagal, justru malah mendekat pikiranku. Aku hanya takut, seperti orang-orang kampung, yang gak bisa bayar bisa diperlakukan semena-mena oleh Kang Baron.
Hiks-hiks-hiks... maafin Abah Hafisa, maafin...
****
Di kediaman rumah Hasan. Hasan merengek-rengek minta dinikahkan dengan Hafisa. Ibunya Hasan tidak setuju, tapi karena melihat Anaknya yang manja merengek, akhirnya, setuju.
"Papah! Hasan mau nikah!" minta Hasan.
"Apa? kamu mau nikah? nikah sama siapa Hasan?" tanya Baron Papahnya Hasan.
"Sama Hafisa, Pah!" sahut Hasan cemberut.
"Apa? Anaknya si Aminah itu? enggak! enggak! Hasan, kamu cari yang lain, perempuan masih banyak!" minta Bu Marjanah.
"Mah, pokoknya Hasan minta Dinikahkan dengan Hafisa, titik! kalau enggak, Hasan akan kabur dari rumah!" minta Hasan.
"Aduh, duh, Hasan, iya, iya, Mamah setuju deh, tapi, kamu jangan kabur yah!" minta Bu Marjanah memeluk Hasan.
"Tunggu! Hafisa Anaknya Jajat kan? kamu serius, suka sama Anaknya? bukan Anaknya sangat alim dan soleha, mana mau dia sama kamu?" tanya Pak Baron.
"Kalau gak mau paksa Pah, pokoknya, gimana caranya, Hasan harus nikah dengan Hafisa, Hasan cinta sama dia, dia perempuan beda di kampung ini, Hasan penasaran sama dia Pah!" rengek Hasan.
"Ha-ha-ha.... rupanya, kamu sudah kepelet sama perempuan desa itu! oke, Papah akan nikahkan kamu dengan wanita itu, kebetulan, Bapaknya, punya hutang sama Papah, belum bayar, mungkin, dengan alasan itu, kamu bisa nikah dengan Anaknya!" sahut Baron menatap Hasan sambil tersenyum.
Bersambung...
Terima kasih, buat readers yang udah mau baca cerita baru saya, semoga ceritanya bisa menghibur dan suka ya teman-teman, sambil nunggu up selanjutnya, boleh yuk, mampir ke cerita aku yang lainnya, cekidot🥰🥰🥰
- TA'ARUF CINTA
- CINTA DAN DETIK TERAKHIR
- CINTA GADIS BISU
- CINTA COWOK DINGIN
- DIARY ASMARA
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
💕icha mUngiL IcPutsta💕 😘
pErJoDohAN Kah kO sMa kYa iCha mW dJOdOhiN
2020-10-30
0
Ummi Alkha
suka sama ceritanya.lanjut ka
2020-10-28
0
Ay Fie
lanjut kak
2020-10-28
0