Cahaya lampu temaram yang menggantung menyelimuti meja makan seperti selimut tipis, memantulkan kilauan samar pada nasi putih yang hampir habis serta sisa sayur lodeh yang menguap pelan di udara malam. Yati menarik napas dalam, jemarinya yang kurus mengulurkan sendok ke mangkuk, sementara Manto duduk santai, mengunyah dengan tenang, kakinya bersandar pada kaki meja.
Suara gemerisik sendok yang menyentuh piring menjadi satu-satunya irama di ruang sunyi, hingga terputus oleh dentingan ketukan pintu yang keras namun teratur: tok tok tok. Suara serak dari balik kayu menyusul: “Kulo nuwun.”
Manto mengangkat alis, menatap Yati yang menghentikan gerakan makan. “Mas, sepertinya ada yang mengetuk pintu,” bisik Yati, suaranya penuh rasa ingin tahu. Manto mengangguk pelan, tangannya menyentuh bahu istrinya. “Iya, Ti. Sudah, biar aku yang lihat. Kamu lanjut makan ya.” Yati mengangguk, matanya mengikuti sosok suaminya yang melangkah keluar ruang makan, langkahnya menimbulkan desisan lembut di lantai kayu.
Kreket,suara kayu pintu yang berat bergesekan dengan lantai membuat Yati terkejut. Dari balik pintu, terdengar tawa ringan Manto: “Oh, Bu Buyung dan Pak Buyung!” Suaranya dipenuhi senyuman hangat. “Silakan masuk.” Langkah kaki dua orang tamu mengisi kesunyian yang membalut ruangan, disusul ajakan Manto: “Silakan duduk.” Ketika Manto kembali bergabung, ketiga sosok itu saling berhadapan, bayangan mereka menyatu di dinding yang diterangi lampu temaram. Manto mengusap dagunya, senyum ramahnya menyembul, namun matanya menatap tajam: “Ada apa ini? Tak pernah terpikir kami akan kedatangan kalian malam ini.”
Bu Buyung menghela napas panjang, tangannya memegang lengan baju yang kusut. “Iya, To. Aku mendengar tentang istrimu yang mengidap kanker payudara.” Yati, yang mendengar dari ruang makan, tersentak, sendoknya terjatuh ke piring. Di ruang tamu, Manto mengangguk pelan: “Oh iya, itu benar. Kenapa, Bu? Kalian berobat kemana?”
Bu Buyung menggelengkan kepalanya. “Kami membawa Yati ke Ko Acun, seorang sinse herbal di Purwokerto. Mengapa pertanyaanmu mengarah ke sana?”
Suara Bu Buyung tiba-tiba memendek, mata perempuan itu berkaca-kaca. “Begini, To. Aku juga mengidap penyakit yang sama dengan Yati.” Manto kaget, tubuhnya mendorong kursi ke belakang dengan suara berdecit. “Hah? Sudah berapa lama, Bu?” Bu Buyung menghela napas panjang. “Sudah satu tahun. Dokter menyarankan agar segera dioperasi, tapi aku takut…”
Pak Buyung, yang selama ini terdiam dengan wajah pucat seperti tembikar retak, menambahkan dengan suara serak, “Aku mendengar dari Mbah Sirod, katanya Yati juga jatuh pada penyakit yang sama, dan sedang berobat alternatif. Jadi, aku ingin ikut, jika diperbolehkan, To.” Manto mengangguk, wajahnya penuh keprihatinan, tangannya membelai lengan Pak Buyung: “Oh, tentu saja, Bu.”
Pak Buyung mengangkat kepalanya, matanya memancarkan harapan samar. “Lalu, kapan kamu akan kesana lagi, To?” Manto menjawab, “Minggu depan, Pak Buyung. Ko Acun mengatakan bahwa kita harus berkunjung seminggu sekali.” Pak Buyung mengangguk. “Oh begitu, ya? Seru, Pak?” Manto tersenyum. “Iya, Pak. Biasanya saya dan Yati berangkat jam 6 pagi. Kalau Bapak dan Ibu mau, minggu pagi kita bisa pergi bersama.”
Pak Buyung tersenyum lega. “Baiklah, terima kasih, To. Kami ingin ikut.” Manto mengangguk. “Iya, Pak. Santai saja. Kita semua merasakan kesedihan saat istri sakit.” Pak Buyung menghela napas. “Iya, benar. Kerja jadi tak fokus.” Bu Buyung menyela. “Kalau kesana bawa apa saja, To?” Manto menjawab: “Oh, tak perlu bawa apa-apa, Pak.”
Setelah beberapa detik keheningan, Bu Buyung berdiri. “Oh, baiklah. Kalo begitu kami pamit pulang. Minggu pagi kami datang lagi, To, untuk berangkat bersama ke tempat Ko Acun.” Manto mengangguk. “Iya, Pak Buyung.” Suara langkah kaki mereka menjauh, diikuti desisan pintu yang ditutup.
Manto kembali ke ruang makan, langkahnya lebih lambat dari sebelumnya. Yati memandangnya dengan mata penuh tanda tanya. “Siapa, Mas?” Manto duduk, tangannya menyentuh bahu istrinya. “Itu Bu Buyung dan Pak Buyung.” Yati mengerutkan kening. “Oh? Ada keperluan apa? Kok cuma sebentar?” Manto menjawab. “Mereka mau ikut berobat ke tempat Ko Acun, Ti.” Yati mengangkat alisnya. “Loh? Siapa yang sakit, Mas?” Manto menghela napas. “Bu Buyung. Seperti kamu, dia sudah setahun mengidap kanker payudara.” Yati terkejut. “Hah? Setahun? Kenapa kita tidak mendengarnya selama ini, Mas?” Manto menggeleng. “Mungkin mereka menutup diri, jadi tak ada yang tahu.”
Obrolan mereka berlanjut, suara mereka menyatu dengan desisan angin di luar jendela, hingga Manto menghabiskan sisa makanannya yang sudah dingin.
Waktu bergulir seperti air di selokan, hari-hari yang sunyi perlahan berubah menjadi minggu. Akhirnya, hari yang dinanti tiba: mereka berempat,Manto, Yati, Pak Buyung, dan Bu Buyung,berangkat dengan dua sepeda motor, angin pagi menyentuh wajah mereka.
Sekitar jam 8, mereka tiba di rumah Ko Acun, di mana seorang pria tua berambut putih seperti bulu merpati sedang menjemur daun herbal di halaman, sinar matahari pagi memancar pada daun-daun itu dan mengeluarkan aroma segar yang menusuk hidung. Mereka turun dari motor, langkah mereka menimbulkan desisan di rumput yang masih basah.
Yati mendekati Ko Acun. “Ko, aku Yati mau kontrol. Dan ini tetanggaku, juga mau berobat,sakitnya sama denganku.” Ko Acun mengangguk pelan, tangannya masih memegang daun herbal. “Oh, Yati. Iya, silakan masuk dulu. Aku belum selesai dengan ini.” Yati mengangguk. “Baik, Ko.”
Setelah masuk ke rumah yang beraroma rempah-rempah, Ko Acun menyusul tak lama kemudian. Dia memeriksa Yati dan Bu Buyung dengan telinga tajam serta tangan lembut, seperti menyentuh bunga rapuh. Seperti biasa, Ko Acun memberikan jamu herbal berwarna coklat tua untuk direbus selama seminggu dan menyuruh mereka kembali seminggu lagi. Setelah pertemuan singkat, mereka berpamitan pulang, langkah mereka penuh harapan samar.
Ketika sampai di depan rumah Manto dan Yati, Pak Buyung berhenti sejenak, motornya mengeluarkan desisan lembut. “To, kami langsung pulang ya.” Manto mengangguk. “Oh, tidak! Mampir dulu?” Pak Buyung menggeleng. “Tidak, To. Terima kasih. Takutnya istri saya kecapean.” Manto mengangguk. “Oh iya. Ya sudah, hati-hati, Pak Bu.” Pak Buyung membalas dengan anggukan. “Iya, To. Terima kasih.”
Hari berganti hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Waktu mengalir seperti sungai yang tak pernah berhenti. Kini, usia kandungan Yati memasuki 6 bulan, dan kanker payudaranya mulai mengecil,benjolan yang tadinya 8, kini tinggal dua, seperti benda kecil yang hampir lenyap. Namun sayangnya, Bu Buyung telah meninggal, karena tak rutin berobat dan selalu berpindah-pindah tempat, seperti burung yang tak memiliki sarang tetap.
Suatu pagi, Yati seperti biasa menyiapkan sarapan untuk suaminya, sebelum Manto berangkat kerja sebagai supir tangki minyak tanah di tempat bibinya, Suti. Setelah itu, Yati menyapu halaman rumahnya dengan sapu usang, langkahnya pelan karena kandungannya. Kesialan tak pernah tercatat dalam kalender: tiba-tiba, kakinya terpeleset di air hujan yang tersisa, dan ia jatuh terduduk di lantai batu yang keras. Sontak, hatinya berdebar kencang, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar. Ia histeris berteriak, suaranya melengking sepanjang halaman: “Mas! Mas! Mas!”
Manto, yang sedang sarapan di ruang makan, mendengar teriakan histeris istrinya dan langsung berlari keluar, langkahnya cepat seperti arus deras. “Ada apa, Ti?” Dia melihat Yati terduduk di lantai, wajahnya memucat seperti kertas putih. Yati tidak menangis karena sakit, tetapi karena ada darah yang mengalir dari selangkangannya,darah merah menyala seperti bunga sepatu yang mekar di pahanya yang gelap.
Dia panik, matanya berkaca-kaca: “Kenapa? Kenapa?” Manto yang tiba di sampingnya merasa tubuhnya sempoyongan seolah mau pingsan. Ia melihat bercak darah yang mengembang di paha istrinya, dan dadanya naik turun dengan cepat karena cemas. “Ti! Apa yang terjadi? Ti! Kenapa ada darah?” Dengan tangan bergetar, Manto menggendong Yati ke dalam rumah, tubuhnya terasa ringan seperti daun kering.
Yati menghela napas. “Aku terpeleset, Mas.” Manto menggelengkan kepalanya: “Oalah! Kenapa kamu tidak lebih hati-hati?” Yati mengangguk. “Iya, Mas. Maaf ya. Kita harus pergi ke puskesmas sekarang.” Kemudian, Manto membawa Yati masuk ke dalam mobil tangki, dan mengemudikannya ke puskesmas untuk diperiksa, langkahnya penuh ketegangan seperti orang yang tengah menghadapi badai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Ninik Listiyani
kasihan sekali 🤣
2025-10-29
1