Di luar, alam bersenandung dalam harmoni yang abadi. Deru jangkrik bersahut-sahutan, kidung katak menggema riang, dan orong-orong turut serta dalam orkestra malam. Namun, di balik dinding rumah yang sederhana, dua jiwa tengah memikul beban duka yang teramat berat, sebuah tragedi yang tak terucapkan.
"Ti, selepas Maghrib nanti, kita bertandang ke kediaman Rasmin," bisik Manto, suaranya berat dan bergetar, seolah menyimpan gundah yang tak terperi.
"Baiklah, Mas," sahut Yati lirih, jemarinya tak henti mengusap lembut perutnya yang baru mengandung empat bulan, seolah menyalurkan kekuatan dan harapan pada janin yang belum lahir.
Manto melangkah gontai menuju warung Mbok Darmi, tempat ia biasa mencari pelipur lara dalam secangkir kopi pahit. Di benaknya, doa-doa terus mengalir, bagai sungai yang tak pernah kering: "Ya Tuhan, tuntun lah langkah kami. Jangan biarkan hati kami remuk redam. Jika Engkau hendak mengambil istri atau anakku, sudilah kiranya mencabut nyawa kami bertiga dalam satu tarikan napas yang terakhir..." Tanpa disadarinya, ia telah tiba di warung yang remang-remang. Dengan perasaan hampa, ia membeli gula batu, teh, dan beberapa bungkus keripik tempe, lalu kembali ke rumah dengan langkah yang semakin berat.
Sesampainya di rumah, Yati telah menantinya di kursi kayu, siap untuk berangkat. Satu jam kemudian, mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang berdebu menuju rumah Rasmin, yang terletak hanya seratus meter di belakang rumah mereka.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu memecah kesunyian malam yang mencekam. Rasmin, yang tengah bersantai di ruang depan, segera bangkit dan membuka pintu dengan senyum ramah.
"Krieeet..."
"Siapa gerangan?" tanya Rasmin.
"Ini aku, Manto dan Yati."
"Oh, kalian rupanya. Silakan masuk."
Rasmin mempersilakan mereka masuk dengan hangat, lalu bergegas ke belakang untuk menyiapkan teh manis yang harum. Yati menyerahkan gula batu, teh, dan keripik tempe yang mereka bawa sebagai buah tangan. "Ini, Kang, sekadar teman minum teh."
"Ah, kalian ini merepotkan saja. Bertamu kok membawa-bawa bekal," protes Rasmin, namun dengan nada bercanda yang tulus.
"Tidak apa-apa, Kang. Untuk menemani obrolan kita saja."
Setelah semua duduk dengan nyaman, Rasmin bertanya, "Bagaimana kabarmu? Sehat?"
Mendengar pertanyaan itu, mata Yati langsung berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuk matanya yang sayu. Ia menunduk, tak sanggup menjawab pertanyaan sederhana itu. Manto terdiam, tangannya mengepal erat, berusaha menahan gejolak emosi yang membuncah di dadanya. Melihat gelagat aneh ini, Rasmin menjadi bingung dan khawatir.
"Sebenarnya ada apa ini? Mengapa kalian berdua diam saja dan tampak begitu bersedih?"
Akhirnya, Manto menguatkan diri dan berbicara dengan suara bergetar, "Begini, Kang. Yati sedang mengandung empat bulan, namun kami baru saja menerima kabar yang sangat buruk."
Rasmin terkejut dan menatap mereka dengan cemas. "Kabar buruk apa? Katakan dengan jelas!"
"Yati didiagnosis menderita kanker payudara, Kang," ucap Manto dengan nada lirih yang menyayat hati.
Mendengar pengakuan itu, Yati tak kuasa menahan tangisnya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. Manto menggenggam tangan istrinya erat-erat, mencoba menyalurkan kekuatan dan ketabahan. Ia melanjutkan, "Dokter mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Yati harus digugurkan. Jika tidak, nyawa keduanya terancam bahaya. Kami datang ke sini untuk meminta doa restu jika suatu saat Yati harus menjalani operasi, dan siapa tahu Kang Rasmin memiliki solusi atau saran yang bisa membantu kami."
Rasmin terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Kemudian, ia berkata dengan nada tegas namun penuh kepedulian, "Jangan sampai dioperasi! Justru jika dioperasi, meskipun bayinya digugurkan, nyawa Yati bisa ikut terancam. Begini saja, dulu teman saya juga pernah menderita kanker payudara, tetapi ia sembuh tanpa operasi. Ia berobat ke seorang sinshe di Purwokerto."
Mendengar kata-kata Rasmin, mata Yati berbinar penuh harapan. "Benarkah, Kang? Apakah Kang Rasmin tidak berbohong?" tanyanya dengan nada penuh keraguan, seolah berusaha memastikan bahwa ini bukanlah mimpi belaka.
"Tenanglah, Ti," Manto menggenggam tangan Yati semakin erat, memberikan tatapan yang menenangkan.
Melihat antusiasme Yati, Rasmin segera menegaskan, "Ya, benar, Ti. Banyak orang yang sembuh di sana, bahkan mereka yang seharusnya menjalani operasi. Semoga kamu juga termasuk orang yang mendapatkan kesembuhan."
"Semoga saja ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan," Yati dan Manto saling berpandangan dengan semangat yang membara, raut kesedihan mereka sedikit memudar, digantikan oleh secercah harapan. Bagi mereka, informasi ini bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan yang pekat.
"Iya, Kang," bisik Yati, suaranya bergetar haru namun sudah mulai diwarnai oleh keyakinan yang baru tumbuh. "Semoga ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan." Wajahnya yang tadi pucat pasi mulai memancarkan sedikit cahaya. Demikian pula dengan Manto, raut sedihnya berangsur-angsur menghilang, digantikan oleh semangat yang selama ini terpendam.
Informasi yang mereka peroleh mungkin hanya sekelumit, namun bagi mereka yang hampir tenggelam dalam lautan keputusasaan, hal itu bagaikan sebatang lilin yang tiba-tiba dinyalakan di tengah hutan yang gelap gulita. Kecil, namun mampu menembus kegelapan dan menunjukkan arah yang benar.
"Kang, di mana alamat pastinya?" tanya Manto, tak ingin harapan itu sirna begitu saja.
"Oh iya, nanti saya tuliskan," jawab Rasmin dengan ramah. Ia lalu beranjak dari duduknya dan menuju ke sebuah meja kayu di sudut ruangan. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil serta pena. Dengan teliti, ia menuliskan alamat lengkap sinshe tersebut di selembar kertas, lalu menyodorkannya kepada Manto dan Yati. Mereka menerimanya dengan hati yang berdebar-debar, penuh rasa syukur yang tak terhingga. Yati menggenggam kertas kecil itu erat-erat, seolah ia sedang memegang sebongkah berlian yang tak ternilai harganya. Itu bukan sekadar alamat; itu adalah kunci menuju harapan baru.
Dalam hati, Yati kembali berbicara pada calon bayinya, "Nak, akhirnya... akhirnya ada secercah harapan untuk kita. Meski hanya setetes embun, semoga ia bisa tumbuh menjadi api unggun yang akan menerangi jalan kehidupan kita, tanpa harus ada yang dikorbankan."
Suara Rasmin kemudian memecah lamunannya yang dalam. "Dulu, teman saya juga menderita kanker payudara dan hampir menjalani operasi. Dokter memaksa untuk melakukan operasi karena jika tidak, katanya penyakit itu pasti akan merenggut nyawanya. Namun, setelah ia pergi ke Sinshe Ko Acun, itulah namanya, sinshe itu mengatakan bahwa ia tidak perlu dioperasi. Katanya, kondisinya belum terlalu berbahaya, justru jika dioperasi malah berisiko menjadi ganas. Kemudian, Sinshe Ko Acun memberinya resep ramuan herbal. Teman saya itu rutin mengunjungi sinshe tersebut seminggu sekali, dan akhirnya... ia sembuh total. Ia bahkan melakukan pemeriksaan ulang di laboratorium rumah sakit, dan hasilnya negatif."
Mendengar penuturan itu, mata Manto dan Yati semakin berbinar penuh harapan. "Sungguh, Kang? Kami juga berharap bisa mendapatkan kesembuhan seperti teman Kang Rasmin," sahut Manto dengan suara yang terdengar lebih ringan dan penuh semangat.
Wajahnya yang tadi diliputi kesedihan kini tampak lebih cerah, bagaikan anak kecil yang baru saja menerima hadiah mainan yang sangat diidam-idamkannya. "Beruntung sekali kami datang ke sini. Jika tidak, mungkin kami sudah mengambil keputusan yang salah dengan menyetujui operasi."
Rasmin mengangguk dengan bijak, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Ya, benar sekali. Manusia memang harus senantiasa berusaha dan berikhtiar. Jangan terpaku pada satu jalan saja. Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, mengapa harus memaksakan diri pada satu jalan yang mungkin buntu? Meskipun jalan itu tampak bagus dan menjanjikan, namun jika tidak mendukung kepentingan kita, buat apa diteruskan? Tinggalkan saja jalan itu, dan carilah jalan lain yang lebih baik."
Kata-katanya mengalir dengan tenang dan penuh wibawa, seolah semua kegelisahan dan kepahitan hidup telah ditelan oleh waktu, menyisakan ketenangan dan keyakinan bahwa di balik setiap kesulitan, pasti ada kemudahan yang menanti.
Percakapan hangat di ruang tamu rumah Rasmin terus berlanjut, mengisi setiap sudut ruangan dengan cerita, harapan, dan tawa kecil yang sempat hilang. Mereka bertiga begitu asyik berbagi pengalaman dan pemikiran hingga tak menyadari bahwa malam telah larut dan kegelapan telah menyelimuti langit. Saat jarum jam dinding menunjuk pukul sembilan malam, Manto baru tersadar bahwa waktu telah beranjak jauh.
"Kang, sudah larut malam. Kami mohon pamit dulu, ya. Terima kasih banyak atas informasi yang sangat berharga ini," kata Manto sambil berdiri. Yati pun ikut berdiri, dengan senyum kecil yang mulai menghiasi bibirnya yang pucat. Mereka mengulurkan tangan, berjabat dan bersalaman penuh rasa hormat.
"Baiklah, hati-hati di jalan," ujar Rasmin sambil membalas jabat tangan mereka dengan erat. "Ingatlah, jalan selalu terbuka bagi orang-orang yang tidak pernah menyerah. Pasrah pada takdir memang baik, tetapi akan lebih baik lagi jika kita berani melawan takdir yang tidak sesuai dengan harapan kita. Karena terkadang, takdir buruk yang datang hanyalah ujian dari Tuhan untuk menguji keteguhan iman kita, apakah kita akan tetap bersandar kepada-Nya, atau justru bertekuk lutut pada godaan setan untuk menyerah begitu saja."
"Iya, Kang. Kami tidak akan menyerah," jawab Manto dengan penuh keyakinan, matanya berbinar dengan tekad yang baru ditemukan. Lalu, berpegangan tangan dengan erat, mereka melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan kediaman Rasmin dengan hati yang jauh lebih ringan daripada saat mereka datang.
Setibanya di rumah mereka yang sederhana, suasana hening namun tidak lagi mencekam. Manto menatap istrinya dengan penuh kasih sayang. "Ti, akhirnya ada secercah harapan untukmu dan anak kita," ujarnya pelan, suaranya bergetar haru. "Semoga ini bukanlah harapan palsu, melainkan benar-benar jalan terbaik yang ditunjukkan oleh-Nya."
"Iya, Mas," balas Yati dengan suara lembut namun pasti, senyum tulus menghiasi wajahnya.
"Ya sudah, sekarang kita istirahat," pinta Manto sambil membimbing Yati menuju tempat tidur mereka. "Kesehatanmu dan bayi kita harus dijaga dengan baik."
"Oh iya, Mas," sahut Yati tiba-tiba teringat sesuatu. "Besok kita berangkat ke sana naik apa?"
"Bagaimana kalau kita meminjam sepeda motor Mbah Lurah saja?" usul Manto. "Jika kita menggunakan mobil, jalannya berlubang-lubang dan sulit dihindari. Getarannya bisa membuat payudaramu sakit lagi."
"Baiklah, Mas. Besok pagi kita pergi ke rumah Mbah Lurah untuk meminjam motornya," kata Yati menyetujui usul suaminya.
Manto mengangguk, merasa lega dan bersyukur. "Iya, Ti. Sekarang tidurlah dengan tenang. Kita membutuhkan tenaga untuk esok hari."
Dalam balutan selimut tipis, di bawah cahaya rembulan yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, kedua pasangan itu memejamkan mata dengan damai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, mereka tidak disergap oleh mimpi buruk yang menakutkan, melainkan dibuai oleh harapan kecil yang bersinar laksana bintang di kegelapan malam, sebuah janji akan masa depan yang lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
IRINA SHINING STAR
saya juga mampir kak... pas aku baca ceritanya nggak tau kenapa pengen nangis.. 🙏 semangat terus ya kak
2025-10-27
0