#04
Waktu terus bergulir, tanpa terasa satu bulan sudah Agnes merawat dan menjaga Mama Wina di rumah sakit. Tentu bukan hal sederhana karena kini tabungan semakin menipis, sementara biaya pengobatan Mama Wina, masih ditanggung Om Rifky, tetangga di dekat rumah Mama Wina.
“Nes, bagaimana keadaan kamu?” tanya Mama Wina lirih.
“Aku baik-baik saja, Ma.”
Senyum simpul menghiasi wajah lelah Agnes, di samping itu ia pun mulai memikirkan untuk mencari pekerjaan dengan keahlian yang dimilikinya. Demi menyambung hidup, dan terpenting, demi melunasi hutangnya pada Om Rifky.
Tapi, tidak dalam waktu dekat, karena Mama Wina masih membutuhkan perhatiannya.
“Kamu terlihat lelah, maafkan Mama, ya, karena sudah membuatmu repot.”
Mama Wina menggenggam tangan Agnes, ia tak banyak bergerak karena bekas luka bakar baru mulai mengering.
“Seandainya boleh meminta, Mama ingin di panggil Tuhan saja, Nak.”
“Mama bicara apa, sih? Aku akan mengupayakan segala macam cara supaya Mama segera sehat!” kata Agnes tegas, menggambarkan tekadnya yang telah bulat.
“Mama tahu, tapi ini tak mudah, kamu dan suamimu pasti kerepotan mengurus biaya pengobatan Mama, Nak.”
Agnes menatap Mama Wina dengan tatapan sendu, “Kami sudah berpisah, Ma.”
“Apa?!”
Berita itu seperti petir yang menyambar tubuh Mama Wina. “Bagaimana bisa?! Mama lihat Leon sangat mencintaimu?”
“Karena aku—”
“Kamu masih bertahan dengan keinginan bodohmu itu?!”
“Aku terlalu takut, Ma—” ungkap Agnes pilu.
“Luka itu, terlalu dalam, kenangan ketika Papa pergi begitu saja meninggalkan kita, sepertinya akan terus menjadi luka yang tak kasat mata.”
“Tapi Mama selalu di sampingmu, kan?”
Masa lalu mereka memang terlalu pahit, tapi Mama Wina tetap berusaha bangkit, walau badai kesulitan tak henti menerjang, karena istri baru suaminya terlalu serakah untuk bisa tenang melihat kebahagiaan Mama Wina dan Agnes.
“Semua sudah terjadi, Ma. Sekarang aku hanya akan fokus pada hidup kita berdua. Aku tak akan memikirkan pernikahan lagi.”
Keesokan harinya, tak seperti biasa, Agnes tiba tiba merasakan perutnya bergejolak. Ia berlari ke kamar mandi dan menumpahkan seluruh isi perutnya hingga habis tak bersisa.
“Aku kenapa, ya?” gumam Agnes dalam hati, “perasaan semalam aku makan, kenapa masih masuk angin? Atau asam lambungku yang naik karena stres?”
Agnes terus berspekulasi, tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
“Nes, Mama mau pulang saja.”
“Lho, Mama belum sembuh benar,” ujar Agnes khawatir.
“Kita tanya dokter, apakah Mama bisa menjalani rawat jalan saja. Supaya Mama bisa kembali fokus membangun toko Mama lagi.”
Penyebab kecelakaan beberapa waktu lalu sudah disimpulkan karena ada kebocoran dari pipa bahan bakar. Jadi semuanya murni karena kecelakaan.
“Mama jangan mikirin toko dulu, nanti biar aku yang cari kerja, Mama cukup istirahat di rumah.”
“Baiklah, tapi sampai Mama Sehat aja, ya? Setelah itu, Mama akan fokus di toko Mama lagi.”
Agnes hanya bisa mengangguk, percuma melawan keinginan mamanya.
Rupanya keinginan Mama Wina mendapat restu dari dokter yang menanganinya, tentu dengan banyak syarat dan aturan.
Sementara Agnes terus merasakan hal yang janggal di tubuhnya, karena mualnya tak hanya di pagi hari saja, tapi wanita itu pun merasa mual bila mencium aroma tertentu, bawang, asap rokok, bahkan beberapa parfume, hingga Agnes terpaksa mengenakan masker bila ingin keluar ruangan.
“Ma— aku periksa ke dokter dulu, ya? Sepertinya asam lambungku naik.”
“Iya, Mama hampir saja lupa mengingatkanmu.”
“Aku tinggal sebentar, ya, Ma.”
Mama Wina mengangguk, ia hanya melihat tumpukan 2 tas besar berisi barang-batangnya selama menginap di rumah sakit. Tak bisa membantu banyak, karena kondisi tubuh yang belum sembuh dengan sempurna.
Sementara waktu, mereka akan tinggal di rumah kontrakan milik Pak Rifky, karena rumah Mama Wina belum selesai di renovasi.
•••
Agnes berjalan lesu ketika keluar dari ruangan dokter. Ternyata jawaban dokter tak seburuk apa yang ia pikirkan, tapi justru Agnes merasa pikirannya kosong seketika, karena dokter mengatakan kemungkinan besar ia sedang mengandung.
Dalam galau dan perasaan gamang, Agnes berjalan lesu sambil mengusap perutnya dengan lembut, “Apa yang harus kulakukan padamu, Nak? Aku tak pernah mengharap kamu hadir, tapi disaat kedua orang tuamu berpisah, kamu justru mulai menggeliat di rahim Mommy.”
Agnes buru-buru mengeluarkan ponselnya, guna menghubungi mantan suaminya yang berada jauh di sana. Tapi lagi-lagi, panggilannya terabaikan.
Sekali lagi Agnes mengulang panggilannya, dan ternyata—
“Kamu lagi, bukankah aku sudah mengingatkanmu?”
“Aku tak peduli dengan peringatanmu! Mana Leon?”
Kalimat Agnes membuat Debby geram, “Leon di ruang operasi, katakan padaku nanti aku sampaikan.”
“Tidak, aku ingin menyampaikannya secara langsung.”
Debby tersenyum sinis, “Terserah saja, asal kamu tahu, Leon sudah tak peduli padamu. Dan aku yakin, berita apapun yang kamu sampaikan tak akan membawa dampak apa-apa.”
“Kamu bohong!” sergah Agnes.
“Terserah jika tak percaya. Ponsel ini bisa menjadi buktinya, kan? Dia mempercayaiku, karena terlalu kecewa pada keputusanmu yang memilih pergi ketimbang memberinya seorang anak!”
“Tapi, aku—”
Tut!
Tut!
Debby mengakhiri panggilannya.
Dengan langkah lesu, dan perasaan yang tak bisa dijabarkan, Agnes kembali ke kamar Mama Wina, “Kenapa? Dokter bilang apa?”
Mama Wina kepo dengan hasil pemeriksaan Agnes.
Namun, Agnes menggeleng, “Tidak apa-apa, Ma. Bukan penyakit yang harus dirisaukan.”
“Syukurlah,” ucap Mama Wina senang. “Lalu, sebenarnya kamu kenapa?”
“Nanti aku ceritakan di rumah. Ayo kita pulang, sebentar lagi malam.”
•••
“Alhamdulillah! Terima kasih, Tuhan.”
Mama Wina seketika mengucap syukur, setelah mendengar kabar kehamilan putrinya.
“Tunggu apa lagi? Cepat beritahu ayahnya, Leon pasti bahagia mendengar berita kehamilanmu.”
“Terlambat, Ma. Leon sudah memblokir nomorku. Sejak tadi aku sudah melakukan panggilan berulang-ulang, tapi nihil.”
Agnes mendesah dalam gelisah, dia dalam ketakutan yang nyata, karena kini anaknya telah benar-benar ditinggalkan ayah kandungnya.
“Masih ada banyak jalan, jangan putus asa.”
Mama Wina memeluk Agnes erat, mengusap punggung nya yang bergetar karena tangis.
“Apa sebaiknya tidak usah ku lahirkan saja anak ini, semua belum terlambat, kan, Ma—”
Plak!
Mama Wina mendorong tubuh Agnes, kemudian memberinya tamparan agar Agnes sadar bahwa yang ia ucapkan barusan adalah perbuatan dosa.
“Ingat dosa, Nak! Kamu masih punya Tuhan! Jika kamu lakukan niatmu tadi, maka kamu tak ubahnya seperti papamu!” teriak Mama Wina tanpa sadar, saking ia terkejut mendengar ucapan Agnes yang sungguh diluar dugaan.
“Lalu aku harus bagaimana, Ma—”
“Lahirkan dia, jika kamu tak mau merawatnya, biar Mama yang merawat. Mama yakin setelah 9 bulan, Mama bisa kembali sehat dan beraktivitas lagi seperti semula.”
Malam kian larut ketika Agnes keluar dari kamar Mama Wina, kontrakan kecil itu hanya memiliki 3 ruangan, 1 kamar, ruang tamu, dapur dan kamar mandi di balik sekat tembok belakang. Tapi sangat cukup untuk mereka berdua tempati sementara waktu.
Drrrtt
Drrrtt
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Agnes, dan air mata kembali tumpah ruah, ketika Agnes melihat apa yang baru saja masuk ke ponselnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Upi Raswan
deby bener2 yaa... kenapa tiap agnes tlpn selalu aja pas hp ditangan dedemit.
dan kayaknya dedemit juga yg udah blokir nomer agnes.
tungu..agnes kenapa kaget, jangan2 dapet kiriman foto dari dedemit yg lagi makan berdua...
2025-10-22
  2
Wahyuningsih 🇮🇩🇵🇸
kayaknya kisah leon lebih auwooow ketimbang kenz thor 😁🤭
2025-10-22
  0
V
emosi banget deh kak,gak bisa banget tuh Debby rombeng di tenggelam kan aja 😭😭🙏
2025-10-22
  2