Pintu mahoni itu tertutup dengan kejam, memutus segala suara keramaian di luar. Suite 101 diselimuti kemewahan yang sunyi, kecuali suara napas berat Megan yang terbaring di lengan Vega.
Vega Xylos tidak pernah memegang sesuatu yang begitu rapuh. Ia terbiasa memegang kendali: pedang, pistol, kontrak bernilai miliaran, atau leher musuh. Wanita yang ia angkat ini terasa seperti burung kecil yang terluka, yang ironisnya, jatuh tepat di depan sarang predator.
Ia berjalan perlahan, melintasi karpet Persia tebal menuju ranjang berkanopi besar. Ia meletakkan Megan dengan hati-hati—kehati-hatian yang asing bagi tangannya yang keras. Megan mengerang pelan, kepalanya menggeleng, seolah mencoba mengusir kabut yang menyelimutinya.
Vega berdiri tegak di samping ranjang, menatap tubuh yang diselimuti piyama sutra tipis yang kotor. Piyamanya robek sedikit di bahu, mungkin karena upaya melarikan diri yang sia-sia. Ada goresan merah tipis di pergelangan tangannya. Ini bukan barang dagangan yang ditawarkan. Ini adalah korban.
“Siapa yang berani mengirimkan barang rusak ke ruanganku?” gumam Vega, suaranya rendah dan berbahaya, lebih merupakan ancaman daripada pertanyaan. Ia menekan tombol komunikasi di dinding.
“Zeno,” perintahnya tanpa menunggu jawaban. “Hapus semua jejak di lorong menuju Suite 101. Cari tahu siapa VIP yang memesan wanita ini. Aku ingin nama, alamat, dan seluruh keluarganya di tanganku sebelum fajar.”
Suara Zeno terdengar dingin melalui interkom. “Tuan Xylos, saya sudah melacaknya. Ada seorang wanita bernama Wina yang menjebaknya, bekerja sama dengan Jose, suaminya. Mereka menjualnya ke klub ini. Mereka mengira Anda adalah ‘Tuan X’ yang seharusnya menerimanya.”
Vega mengeraskan rahang. Jadi, ini adalah hadiah yang salah alamat, hasil dari pengkhianatan murahan. Hal ini membuatnya semakin tertarik. Wanita ini adalah takdir yang tersesat, mendarat di hadapannya.
“Aku tidak peduli pada pelacur dan pengkhianat murahan itu sekarang,” potong Vega tajam. “Fokus pada wanita di kamar ini. Dia dibius. Cari dokter pribadi terbaikku, kirimkan dia ke sini. Dan Zeno… pastikan tidak ada yang tahu dia ada di sini. Tidak seorang pun.”
“Dimengerti, Tuan Xylos.”
Vega mematikan interkom. Ia berbalik kembali ke Megan. Dokter akan membutuhkan waktu. Vega memutuskan untuk memeriksanya sendiri. Ilmu medis dasar adalah bagian dari pelatihan ketatnya.
Ia berlutut di sisi ranjang. Tangannya yang besar dan berurat menyentuh pipi Megan. Kulitnya dingin, namun ia merasakan demam samar di bawah permukaan. Ia menelusuri garis rahangnya, mencari tanda-tanda paksaan.
“Kau lari dari nerakamu, hanya untuk jatuh ke neraka yang lain, bukan?” bisik Vega, matanya yang tajam meneliti setiap inci wajah Megan. Ia melihat sisa-sisa riasan yang luntur dan air mata yang mengering, namun di balik itu, ada struktur tulang yang halus dan keindahan alami yang jarang ia temui di lingkaran pergaulannya yang didominasi kepalsuan.
Megan kembali membuka matanya. Kali ini, ia sedikit lebih fokus. Mata cokelatnya yang indah melebar, mencerminkan cahaya redup dari lampu gantung kristal. Dalam kekaburan, ia melihat wajah Vega—wajah yang diukir dari batu, dengan garis rahang yang keras dan tatapan mata yang gelap dan tanpa ampun.
“Lari…” bisik Megan, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. “Aku… harus… pergi…”
Dia mencoba mendorong dirinya bangun, tetapi lengannya lemas. Rasa panik kembali menyerang, memperparah efek obat yang telah meracuni sistemnya. Dia berusaha melawan pria di hadapannya, tetapi satu sentuhan lembut dari Vega di bahunya cukup untuk melumpuhkan pergerakannya.
Vega tidak tersenyum, tetapi ada sedikit kilau yang aneh di matanya. Keberanian itu. Keberanian yang membuatnya merangkak keluar dari ruangan isolasi dan mencapai pintu kamarnya, pintu yang paling dijaga ketat di seluruh klub.
“Kau tidak akan pergi ke mana-mana,” jawab Vega, suaranya tenang, namun mengandung otoritas mutlak. “Kau sudah ada di wilayahku.”
Megan menatapnya. Ketakutan yang membeku bercampur dengan kejernihan sesaat yang dipicu oleh adrenalin. Dia melihat kekuasaan—kekuasaan yang begitu besar sehingga hampir mematikan. Dia tahu, instingnya menjerit, bahwa pria ini jauh lebih berbahaya daripada Jose, Wina, atau klub malam ini.
“Siapa… kau?” tanya Megan, air mata baru mulai menetes. Dia tahu jawabannya, nama yang ia dengar dari bisikan Rudi: Vega.
“Aku?” Vega menggeser tangannya dari bahu ke leher Megan, tidak mencekik, tetapi memegang dengan tegas, mengingatkannya pada kekuatannya. “Aku adalah orang yang akan menentukan takdirmu, Gadis Malam. Malam ini, kau bukan lagi barang dagangan murahan. Kau milikku.”
Ia mendekatkan wajahnya. Aroma maskulin yang tajam, dicampur dengan aroma kayu cendana dan bahaya, memenuhi udara. Itu mencekik, memabukkan.
“Kau berjuang keras untuk hidup,” lanjut Vega, tatapannya menusuk. “Aku menghargai itu. Keberanianmu telah menyelamatkanmu dari orang-orang rendahan yang menjualmu. Tapi itu juga menempatkanmu di tempat yang lebih tinggi, di mana taruhannya jauh lebih besar.”
Megan merasakan obat bius kembali menyerang dengan gelombang panas. Dia mencoba melawan, tetapi kelopak matanya terasa berat lagi. Dia hanya punya waktu sebentar.
“Jangan…” Ia memohon, kata terakhirnya nyaris tidak bersuara.
Vega menyeringai—sebuah ekspresi langka, dingin, dan mematikan. “Terlambat, Gadis Kecil. Permainan sudah dimulai.”
Tepat saat Megan kembali tergelincir ke dalam kegelapan, Vega mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia tidak menciumnya, melainkan berbisik, tepat di telinganya, sebuah janji dan klaim yang akan mengubah seluruh hidup Megan, dan kekaisarannya.
“Mulai sekarang, kau adalah rahasia terbesarku. Dan aku akan memastikannya, kau tidak akan pernah bisa lari dariku lagi.”
Vega lalu melakukan hal yang sangat tidak terduga: ia mulai membuka kancing piyama sutra Megan yang robek, bukan dengan nafsu yang tergesa-gesa, melainkan dengan ketelitian seorang ilmuwan yang mengamati spesimen langka. Ia harus memastikan dosis obat bius yang diberikan Wina tidak fatal. Dia harus memastikan Megan selamat—selamat untuknya.
Cahaya kamar memantul pada mata Megan yang kini tertutup sepenuhnya, dan pada mata Vega yang bersinar gelap. Malam yang mengubah segalanya baru saja dimulai....
Vega mulai memeriksa dengan teliti. Dia seakan ingin menguji, seberapa besar pengarih obat yang telah diberikan oleh orang orang yang telah menjual wanita lemah di depannya itu. Vega sangat berhati-hati. Dia adalah mafia yang tak tersentuh, dia selalu waspada pada apa saja yang ada di sekitarnya. Memastikan tak ada ancaman yang membuat dia celaka. Dunia mafia adalah dunia penuh intrik dan kemunafikan serta kepura-puraan. Terkadang ada musuh yang sengaja menjebak dia dengan umpan murahan seperti yang biasa musuh musuhnya lakukan.
Sehingga malam itu,Vega sangat berhati-hati, apalagi dia tahu, Megan adalah hadiah yang salah yang tak sengaja malah menyentuh wilayah miliknya yang paling privasi. Tak fia sangka dan tak dia duga....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments