Bab 4

Udara pagi itu terasa agak berat. Entah karena semalam aku nggak tidur nyenyak, atau karena otakku masih mikirin kata-kata Rian yang bikin penasaran itu.

Aku duduk di meja makan sambil ngaduk kopi, sementara Dinda lagi siapin bekal buat kerja.

Dia sibuk banget, tapi tetap sempat ngelirik aku beberapa kali.

“Kamu nggak tidur, ya?” tanyanya tiba-tiba.

Aku reflek nyengir. “Hehe, kelihatan banget ya?”

“Kelihatan banget. Mata kamu kayak panda yang stres,” ujarnya sambil masukin lauk ke kotak bekal.

Aku ketawa kecil. “Cuma susah tidur aja, kepikiran kerjaan freelance.”

Dinda menatapku sebentar. “Raka, kamu udah nggak kerja di kantor, nggak apa-apa kok. Nggak usah terlalu dipaksain. Aku nggak minta kamu langsung sukses. Aku cuma pengin kamu tenang dulu.”

Aku terdiam. Kata-kata Dinda terdengar tulus, tapi malah bikin hatiku makin berat.

Kalau aja dia tahu aku lagi main “game aneh” yang katanya bantu aku jadi suami lebih baik.

Tapi aku nggak bisa cerita. Bukan karena nggak percaya sama dia, tapi karena bahkan aku sendiri nggak ngerti apa yang sebenarnya terjadi.

Setelah Dinda berangkat, aku buka HP.

Sistem masih sama — tampilan biru muda dengan menu sederhana.

Tapi pagi ini muncul notifikasi baru.

[Pesan Baru: Tidak semua sistem punya niat baik.]

Aku langsung kaget.

Tulisan itu muncul tanpa suara, tanpa peringatan.

Aku coba sentuh, tapi layar tiba-tiba blank selama tiga detik, lalu balik normal lagi.

[Selamat pagi, Raka! Siap menjalani misi harianmu?]

“Wah, pura-pura polos banget,” gumamku.

Aku coba tanya, “Sistem, tadi pesan apa barusan itu?”

[Pesan apa yang kamu maksud? Tidak ada log pesan baru.]

Aku mendengus pelan. “Iya deh, pura-pura bego aja.”

Mungkin itu gangguan, atau mungkin… pesan dari luar sistem, kayak waktu Rian kirim pesan aneh itu.

Aku mengusap wajah. “Oke, nggak usah panik. Fokus aja ke misi harian.”

Misi hari ini lumayan simpel:

[Misi: Ucapkan tiga kalimat positif pada istrimu sebelum jam 12 siang.]

Aku ngelirik jam. Masih jam delapan.

Tapi karena Dinda udah kerja, aku harus kirim lewat chat.

Aku ketik pelan:

“Semangat ya hari ini. Jangan lupa makan siang.”

Satu poin positif.

Beberapa menit kemudian aku tambahin:

“Aku bangga kamu tetap kuat meski kerjaan banyak.”

Dua poin.

Dan yang terakhir, aku ketik sambil mikir agak lama:

“Aku bersyukur masih bisa lihat senyum kamu tiap pagi.”

Setelah kukirim, aku merasa agak malu sendiri. Soalnya udah lama aku nggak ngomong sehangat itu ke Dinda.

Biasanya aku cuma nanya, “Udah makan belum?” atau “Pulang jam berapa?”

HP-ku langsung bergetar.

[Misi selesai! +10 Poin Kehangatan. Hubungan meningkat ke 68/100.]

“Nice.” Aku senyum kecil.

Tapi beberapa detik kemudian muncul pop-up baru.

[Notifikasi Rahasia: Sistem lain mengawasi perkembanganmu.]

Aku refleks berdiri dari kursi. “Apa lagi ini?!”

[Sistem lain mencatat interaksi kamu dengan pengguna non-sistem (istri). Tidak ada bahaya langsung.]

“Ngawasin? Siapa yang ngawasin? Rian?”

[Data tidak lengkap.]

Aku garuk kepala. “Sumpah, sistem ini makin kayak stalker.”

Sore hari, Dinda pulang agak cepat.

Dia kelihatan senang, katanya rapatnya berjalan lancar.

Aku nyiapin teh hangat buat dia sambil ngobrol ringan.

“Eh, tadi ada yang pindah lagi lho,” kata Dinda sambil selonjor di sofa.

“Lagi?” aku kaget. “Baru kemarin Rian.”

“Iya, tapi yang ini bukan di ujung gang. Katanya sepupu dari salah satu warga sini. Masih muda, sendirian.”

Aku cuma mengangguk. Tapi dalam hati…

kok rasanya lingkungan ini tiba-tiba jadi rame banget ya?

Dinda lanjut cerita, tapi jujur aku cuma setengah dengar.

Pikiran masih nyangkut di notifikasi tadi — “sistem lain mengawasi perkembanganmu.”

Kalau bener itu Rian, berarti dia tahu semua yang kulakuin.

Tapi buat apa?

Sistemku aja katanya buat bantu aku jadi suami lebih baik.

Lalu kenapa sistem lain malah memantau?

Malamnya, waktu Dinda udah tidur, aku keluar ke teras lagi.

Langit cerah, tapi suasananya sepi.

Aku coba buka sistem lagi, dan tiba-tiba muncul pesan baru.

[Kau ingin tahu kebenaran sistemmu?]

Tulisan itu nggak ada suara, cuma muncul di layar sebentar.

Aku ngetik cepat. “Siapa ini?”

[Jawaban ada di tanganmu sendiri.]

Lalu layar mati total.

Aku nunggu beberapa detik, tapi nggak ada apa-apa lagi.

Aku nyengir kecil, setengah kesal, setengah bingung.

“Ya ampun, bahkan sistemku aja main teka-teki kayak manusia.”

[Pengguna tampak gelisah. Disarankan istirahat.]

Aku ngakak pelan. “Kamu perhatian juga ternyata.”

[Tentu saja. Aku di sini untuk membantumu.]

Nada pesannya tenang.

Dan anehnya, kali ini terasa lebih… manusiawi.

Entah kenapa aku merasa sedikit tenang.

Pagi berikutnya, suasana di rumah lebih adem.

Dinda bangun duluan, dan ternyata dia masakin sarapan buatku — hal yang jarang banget terjadi sejak aku dipecat dari kantor dulu.

Dia nyengir waktu lihat aku keluar kamar.

“Sekarang gantian. Aku yang bikin sarapan.”

Aku duduk sambil ketawa. “Wah, ini misi dari sistem kamu juga ya?”

Dia bingung. “Hah? Sistem apa?”

Aku langsung panik. “Eh, maksudku… sistem rumah tangga. Giliran masak.”

Dia menatap aneh sebentar, lalu ikut ketawa. “Kamu tuh suka ngomong aneh deh.”

Kami makan bareng sambil ngobrol ringan, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku ngerasa rumah ini beneran terasa seperti rumah.

Bukan cuma tempat dua orang lelah pulang kerja dan diam di kamar masing-masing.

Sistem nggak ngasih misi pagi itu, cuma notifikasi pendek.

[Kehangatan keluarga meningkat.]

Dan jujur, kali ini aku nggak peduli soal poin atau hadiah.

Rasanya cukup tahu Dinda tersenyum karena aku, bukan karena sistem.

Siangnya, aku ketemu Rian lagi di depan rumah waktu dia lagi nyiram tanaman.

Kami saling sapa sekadarnya.

Nggak ada pembicaraan aneh, nggak ada tekanan misterius kayak kemarin.

Dia cuma bilang, “Pagi, Mas Raka,” lalu lanjut nyiram tanpa banyak bicara.

Aku sempat mikir buat nanya soal pesan misterius itu, tapi kuurungkan.

Mungkin belum waktunya.

Atau mungkin, aku harus tahu jawabannya sendiri nanti.

Sore menjelang malam, aku duduk di ruang tamu sambil buka HP.

Sistem tetap aktif, tapi tenang — nggak ada pesan aneh, nggak ada sinyal misterius.

Hanya muncul notifikasi rutin.

[Kehidupan berjalan baik. Teruskan, Raka.]

Aku tersenyum kecil.

Mungkin untuk sementara, nggak apa-apa kalau aku berhenti mikirin hal aneh itu.

Terlalu banyak mikir malah bikin gila.

Aku lihat ke arah Dinda yang lagi menonton drakor sambil ngemil.

Dia ketawa kecil, lalu nengok ke arahku.

“Apa liatin aku gitu?”

Aku geleng. “Nggak, cuma senang aja lihat kamu tenang.”

Dia tersenyum. “Akhirnya kamu nggak stress lagi ya.”

Aku ikut tersenyum, lalu narik napas panjang.

Ya, mungkin untuk sekarang, cukup jadi suami yang lebih baik dulu.

Urusan sistem, Rian, dan pesan aneh itu… bisa nunggu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!