NovelToon NovelToon

Tumbal (Di Angkat Dari Kejadian Nyata)

Perempuan murahan

Erik tiba-tiba menatapku tajam, matanya menyala dengan emosi yang sulit ku artikan.

Aku yang sedang membalurkan tumbukan rempah ke tangannya, sontak terdiam.

"Bau apa ini? Kamu pakai minyak wangi apa?!" ucapnya, nada suaranya meninggi.

Lalu, tanpa jeda, ia melemparkan kalimat yang menusuk hati:

"Perempuan murahan..."

Sekujur tubuhku membeku. Bukan karena ucapannya semata,

tapi karena ketidak sangkaan ku, dari orang yang selalu ku bela, kini justru menyerang

Aku syok dengan kejadian ini. Tubuhku membeku di tempat, tak mampu bergerak sedikit pun.

Teriakannya yang kalap, amarahnya yang meledak-ledak, justru tidak membuatku lekas pergi.

Sebaliknya, aku malah terpaku seperti orang linglung.

Perlahan, dengan gemetar, aku mencoba mengendus bajuku sendiri.

Kucium bagian lenganku, dadaku, bahuku,

tapi aku tak mencium apa-apa.

Tak ada bau mencolok, tak ada wangi yang menusuk.

Hanya aroma rempah yang tadi ku genggam, sederhana, alami.

Lalu kenapa aku diperlakukan seperti ini?

Pertanyaan itu menggantung di udara, tanpa jawaban.

Teriakan Erik masih menggema di seluruh ruangan, membuat udara terasa berat.

"Bu, dia bau minyak wangi laknat! Bau perempuan jalanan!"

"Usir dia, Bu! Jangan biarkan dia mendekat ke sini lagi!"

Setiap katanya menamparku lebih keras dari tamparan fisik.

Di hadapan ibunya, aku dihina tanpa belas kasihan, seolah-olah aku tak punya harga diri.

Aku hanya berdiri di sana, tubuhku kaku, mataku basah tapi belum menangis.

Bukan karena takut, tapi karena kecewa, dihancurkan oleh seseorang yang sangat aku percaya.

Tepukan lembut di bawah pundakku menyadarkan ku dari keterpakuan.

Sentuhan itu datang dari ibu mertuaku, tatapannya tak setajam Erik, tapi tetap sulit aku baca.

"Kamu mundur dulu, Nak. Ke ruangan lain ya... ganti baju dulu," ucapnya pelan, tapi tegas.

Tidak ada amarah, tapi juga tak ada pembelaan.

Aku hanya mengangguk pelan, tak sanggup berkata apa-apa.

Langkahku berat, tapi ku paksa bergerak, meninggalkan ruangan yang masih penuh dengan sisa teriakan dan luka yang belum sempat dijahit.

Di belakangku, Erik masih meluap-luap.

Emosinya tak terbendung, suaranya terus menggema.

Kata-katanya mengalir tanpa jeda, penuh sumpah serapah, tanpa saring, tanpa kendali.

Setiap langkahku menjauh, justru membuat suaranya terdengar makin tajam,

seolah ingin memastikan bahwa setiap kata kasarnya menancap dalam di telingaku, di hatiku.

Tapi aku tetap berjalan, meski lututku lemas,

karena aku tahu, bertahan di situ hanya akan membuatku hancur lebih cepat.

Aku menyeret langkahku pelan, tertatih hingga ke kamar anak-anakku.

Begitu pintu ku tutup, seluruh kekuatan yang ku paksakan sejak tadi runtuh seketika.

Aku terduduk lemas di lantai, punggung bersandar ke dinding.

Air mata yang sedari tadi mati-matian ku tahan, kini tumpah tanpa bisa dibendung.

Tak ada lagi yang bisa ku tahan, tak ada lagi yang harus ku kuatkan.

Di ruang ini, aku akhirnya jujur pada luka yang kubawa, sendiri, diam-diam.

*****

Aku terbangun dari tidur karena gigitan nyamuk yang sedang mengganas di kamar.

Ku lirik jam di dinding, pukul sebelas malam.

Kedua putraku masih tertidur pulas, meski beberapa bagian tubuh mereka sudah dipenuhi bentol-bentol merah.

Korban dari makhluk kecil yang satu ini, nyamuk.

Kecil, tapi ganas. Ras mungil paling menyebalkan di muka bumi,

yang bisa membuat tidur terganggu dan tangan sibuk garuk-garuk semalaman.

Aku segera mengecek obat nyamuk yang biasanya setia menjaga tidur kami.

Dan ternyata… dia pun sudah menyerah pada keadaan. Mati total.

Pantas saja, tubuh kami jadi santapan lezat bagi si makhluk mini itu.

Tak ada lagi penjaga malam, hanya kami yang tergeletak pasrah, jadi target empuk nyamuk lapar yang berjamaah.

Aku mencoba mencari korek untuk menyalakan obat nyamuk, berharap bisa sedikit mengurangi penderitaan malam ini.

Namun usahaku sia-sia.

Korek satu-satunya dibawa oleh suamiku.

Dia pergi selepas Maghrib, setelah mengaji, menuju villa milik saudaranya yang terletak di tengah sawah.

Katanya, hanya sebentar. Tapi hingga sekarang belum juga pulang.

Aku menghela napas pelan, menatap ruangan yang remang dengan aroma lembab dan suara nyamuk yang makin menjadi-jadi.

Dengan sisa tenaga dan mata yang masih berat, aku pun bangkit.

Mengendap-endap, memegang piring alumunium yang sudah aku olesi kedua sisinya dengan minyak jelantah bak memegang senjata suci.

Mata awas, telinga waspada, mengikuti suara khas "ngiiiiiiiing" yang menjengkelkan itu.

Satu... dua... zap!

Sedikit puas, walau tahu pasukan mereka tak pernah benar-benar habis.

Sesekali ku lirik anak-anakku yang masih tertidur, penuh bentol tapi tetap damai. Mereka masih terlelap, tak sadar bahwa ibunya sedang berjaga dalam hening,

melawan makhluk kecil paling gigih sejagat raya.

Kini aku sendirian di medan perang, tanpa perlengkapan tempur.

Dikelilingi nyamuk, dua anak kecil yang pulas tapi penuh bentol, dan pembasmi nyamuk ala kadarnya yang hanya bisa kupakai satu-satu, padahal musuhnya datang bergerombol.

Di ujung sisa tenagaku yang hampir terkuras habis melawan pasukan yang lebih ganas dari serigala, muncullah satu ide yang terasa seperti wahyu tengah malam.

Tanpa pikir panjang, aku segera menyambar kain kerudung, kupakai seadanya, asal kepala tertutup.

Dengan tangan kanan menggenggam obat nyamuk yang sudah terlalu lama vakum, aku melangkah keluar rumah.

Langkahku cepat, setengah lari, menuju arah suara obrolan para lelaki yang sedang bergadang di pondok belakang.

Dengan napas terengah dan wajah tanpa basa-basi, aku berdiri di hadapan mereka, lalu berkata:

"Aa… punten, ada korek? Mau pinjem korek, Aa."

Mereka menoleh serempak, sebagian kaget, sebagian menahan tawa,

sementara aku berdiri di sana, dengan gaya acak-acakan dan obat nyamuk di tangan, sebagai bukti bahwa ini bukan aksi iseng tengah malam, tapi perjuangan hidup.

Salah seorang dari mereka langsung tanggap. Ia meraih korek yang tergeletak di dekat termos kopi, lalu menyodorkannya padaku.

"Ada, ini teh... ini," katanya sambil tersenyum kecil, nada suaranya ramah, sedikit heran tapi tidak menghakimi.

Aku menerimanya cepat-cepat, sambil membungkuk pelan,

"Hatur nuhun, Aa..." ucapku lirih, antara malu dan lega.

Misi darurat malam itu, meminjam korek demi membasmi nyamuk, akhirnya berhasil.

Tak peduli tampilan acak-acakan dan tangan yang masih menggenggam obat nyamuk seperti bawa senjata tempur.

Yang penting… api sudah di tangan.

Akhirnya di sisa malam itu aku bisa tertidur walau tinggal di ujung waktu penghabisan sebelum adzan subuh berkumandang

Pagi itu seperti biasa, aku sibuk menyiapkan anakku untuk berangkat sekolah.

Alhamdulillah, semalam kami mendapat nasi kotak dari masjid yang belum sempat dimakan karena kedua anakku sudah tertidur lebih awal.

Aku mengukus kembali nasi kotak itu untuk menghangatkannya. Ikan dan kentang balado aku sisihkan rapi di samping nasi maklum, untuk menggorengnya ulang aku tak punya stok minyak di rumah.

Nggak kenapa-napa

pagi itu setelah anakku sarapan, langsung aku titipin ke ibu mertua. Hari ini dia sekolah bareng bibinya. Iya, Pak Su kan anak pertama, jadi dia masih punya adik yang umurnya nggak jauh beda sama anak kami. Lucu sih, kadang kayak temenan, kadang kayak kakak-adik, tapi lebih seringnya jadi partner berantem.

Ibu mertuaku berangkat nganter anak-anak sekolah, giliran aku yang turun jadi staf cleaning service dadakan.

Rumah sendiri tetap jadi prioritas dong, yang nomor wan! Habis beresin sini, lanjut nyapu-nyapu dan ngelap debu di rumah mama mertua yang cuma beda satu tembok doang sama rumahku.

Serasa freelance, kerja dua rumah tapi gaji tetep cinta dan pahala!

Berhubung pak su tercinta belum pulang dari semalam, jadilah kesibukanku hari ini agak beda dari biasanya.

Rasanya kayak jadi single fighter sehari, dari urus anak, urus bebek, urus rumah, sampe jadi satpam hati sendiri yang nunggu kabar suami, full paket!

Jadi ceritanya setelah dua rumah beres, bersih, and kinclong, aku ambil sisa katul yang masih nyangkut di kresek belakang rumah, buat bikinin sarapan spesial asuhan kami, si bebek gemoy. terus aku rebus katul atau dedek itu pakai air mendidih.

Nah, biar buburnya nggak biasa-biasa aja, aku campurin deh eceng gondok seadanya, hasil kreasi dadakan ala tukang masak seadanya!

Jadilah sarapan super istimewa yang penuh cinta dan bumbu kasih sayang buat para bebek gemoy yang aku rawat dengan penuh perhatian. Makanannya sederhana, tapi dijamin bikin bebek-bebek itu happy dan makin gemoy!

Aku keluar dari dapur sambil menenteng kuali berisi bubur bekatul plus eceng gondok yang masih mengepul panas.

Begitu para bebek montok lihat aku datang, mereka langsung pada lari menghampiri. “Ayo, baris yang rapi, cepat!” seruku penuh semangat.

Tapi ya, namanya bebek, serapih-rapihnya mereka, tetep aja pada serobot duluan.

“woooy.. Sabaaar, sabaaar, ini masih panas nih!” aku melarang sambil nahan tawa.

Aku segera membentang papan panjang yang biasa jadi alas makan berjamaah mereka, terus tuang bubur bekatul itu memanjang di atas papan biar mereka bisa makan sambil berjejer rapi tanpa saling berdesakan.

Selesai dengan tugasku, aku cuma duduk santai, gantung kaki dan lihat para asuhanku lagi lahap sarapan. Sambil nunggu suamiku yang tiba-tiba jadi Bang Toyib, entah kapan bakal nongol pulang ke rumah.

Biasanya, setelah sholat Subuh, aku dan Pak Su berdua keluar rumah sambil bawa kresek dan arit. Kami masuk ke kebun-kebun belakang desa untuk mengumpulkan melinjo yang jatuh semalam.

Kebun itu memang milik warga, tapi mereka biasanya membolehkan siapa saja memungut buah melinjo yang sudah jatuh. Mereka hanya memanen yang masih menempel di pohon.

Alhamdulillah, itu mungkin rezeki kami, para pejuang nafkah yang cuma punya tenaga. Kami berlomba-lomba mengumpulkan melinjo bersama, dan tak jarang di kebun-kebun itu kami bertemu dengan mereka yang mungkin sama-sama sedang berjuang seperti kami.

Setelah matahari terbit dan langit mulai terang, kami pun pulang untuk menyiapkan sarapan si little star. Biasanya, jam segini aku dan suamiku sudah siap berangkat lagi, kali ini tujuannya ke hutan.

Bawa karung, golok, atau arit, kami cari apa saja di sana, entah buat ditukar uang atau sekadar dimakan. Tapi kalau aku sendirian? No way! Ogah. Mana berani masuk hutan, bisa-bisa malah dikejar anjing liar atau babi hutan. Aku sih bayanginnya udah merinding duluan, takut!

Alhasil aku cuma ongkang-ongkang kaki, nunggu sesuatu yang nggak jelas. Huh, nyebelin banget, ya!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari dalam rumah,

"Yuuu, ayuuu!"

Aku langsung lompat dari tempat duduk, panik, lalu nyelonong masuk rumah kayak orang kesasar.

"Ehh, Mbeeb.. udah balik?" sapaku sambil nyengir kuda.

"Iya, mau salin baju," jawabnya sambil lepas kaos.

"Habis ini mau ke villa lagi, disuruh naik pohon kelapa ambilin kelapa muda buat tamu," lanjut suamiku, lengkap dengan narasi panjang kali lebar, kayak laporan magang.

"Ooo," cuma itu yang bisa kuucap, bingung harus komen apa.

"Mbeeb, udah sarapan belum? Ini ada sisa nasi kotak," tawarku, rada khawatir.

"Leo udah sarapan belum?" dia malah nanya balik. Ya beginilah kasih sayang seorang ayah. Pasti yang di khawatiran anaknya duluan.

"Udah," jawabku singkat.

"Ooh, aku udah ngopi tadi di villa, sama gemblong. Kamu makan aja tuh nasinya," katanya santai, kayak nggak merasa berdosa semalaman ninggalin anak bini dalam kepungan musuh paling ganas sejagat raya.

Setelah selesai ganti koko dengan kaos, si dia pamit pergi lagi. Katanya mau lanjut bertualang, eh maksudnya kerja bantu-bantu di villa.

Aku? Ya balik lagi duduk bengong. Mau ngapain coba? Semua kerjaan rumah udah kelar, bebek juga udah sarapan, anak udah sekolah.

Mau nongkrong rumpi sama emak-emak tetangga? Duh, bukan bidang ku. Bisa-bisa malah jadi bahan rumpian, bukan ikut nimbrung. Jadinya ya duduk sendiri, meratapi hidup ala sinetron jam lima sore.

Detik demi detik berjalan pelan, berubah jadi menit. Belum juga satu jam Pak Su tercinta melangkah pergi, tiba-tiba suara langkah terdengar dari depan. Bapak mertua datang.

"Ayuu, Ayuuu!"

"Iya, Pak?"

"Sarung mana, sarung?"

"Sarung? Buat apa, Pak?"

"Sarung Erik mana?"

Aku buru-buru ambil sarung yang semalam Erik pakai, menyerahkannya sambil masih bingung.

"Buat apa, Pak?"

"Buat Erik... dia jatuh dari pohon kelapa."

"Apaaa?? Jatuh dari pohon kelapa??"

Aku sontak tersentak, tubuhku seperti disambar petir.

"Iya, iya... tapi nggak papa, nggak kenapa-kenapa kok," jawab bapak mertua.

Tapi telingaku sudah berdenging, mataku memanas. Duniaku rasanya langsung berputar seribu keliling. Yang barusan pamit, sekarang jatuh dari pohon? Ya Allah...

Dan melihat ekspresi bapak mertuaku yang... yah, flat-flat aja, biasa kayak abis liat ayam nyebrang jalan, sumpah ya, rasanya aku kayak lagi nyasar di dunia game level tersulit!

Kalau nggak inget dosa, ya Allah, boleh nggak sih... gibahin mertua sendiri? Sekali aja? Hadeeeh...

Sebenarnya suamiku itu anak kandungnya bukan sih?? Darah dagingnya beneran bukan?? Kok adem bener reaksinya?

Lha aku ini yang beda darah, beda daging, beda tanah penciptaan malah.. jantung rasanya udah loncat sampe tenggorokan.

Baru juga tadi dia berdiri, senyum, ganti baju... sekarang katanya jatuh dari pohon kelapa??

Dan, dan... “nggak papa kok” katanya!

Ya Allah… Masya Allaah... ampuuun Gusti. Ujian ini sungguh luar biasaa!

Aku langsung reflek merapikan kerudung, ngibrit keluar rumah sambil nyeker, lari ke arah kebun dekat villa. Udah kayak sinetron ibu-ibu kehilangan suaminya, tapi versi lebih rempong.

Seumur-umur ya bestie, aku belum pernah lihat orang jatoh terus “nggak kenapa-kenapa”. Lah wong jatoh dari teras rumah aja bisa kepelintir, jendol, bocor apalagi dari pohon kelapa setinggi cita-cita.

Yang aku tahu, jatoh itu minimal ya keseleo, lecet, atau kepala nyium tanah ya lebam, jendol, bocor. Tapi ini? Jatoh dari pohon kelapa trus katanya aman? nggak kenapa-napa? Serius nih, ini masih di bumi kan? Kok rasanya kayak hidup di syurga, tanpa luka, tanpa drama, cuma aku yang panik setengah nyawa.

Semedhi

Pas aku sampai di saung deket villa, pemandangan yang aku temuin bener-bener bikin aku pingin ledakin pos ronda, biar ngerasain yang namanya panik berjamaah.

Suamiku duduk selonjoran, matanya setengah kebuka, kaya orang baru tidur dipaksa melek. Mukanya merah pias, punggungnya lagi diurut sama ibu-ibu tukang urut, aromanya udah kayak pepes. komplit, wangi rempah-rempah herbal yang nggak kutahu namanya, tapi katanya sih mujarab.

Diajak ngomong cuma jawab, “Hhhmm…”

Terus, “Hhhmm…”

Sumpah, itu suara bukan jawaban, tapi sinyal SOS terselubung!

Aku udah nangis heboh, banjir air mata. Lah orang-orang di sana? Duduk santai, cemil kerupuk, ngobrol.

"Masuk angin aja ini mah," kata mereka.

“Udah diurut, nanti juga baikan,” tambah yang lain.

Yang bikin makin pengen gulung karpet, sesepuhnya malah bilang,

“Udah nggak papa, nanti pas adzan dhuhur juga bisa jalan lagi…”

MasyaAllah... ini beneran Indonesia tahun 2025 atau aku nyasar ke zaman kerajaan Majapahit??

Aku khawatir sendiri, nangis sendiri, panik sendiri, semua serba sendiri.

Nggak ada satu pun yang nyeletuk,

"Ayo ke rumah sakit, periksa rontgen, CT scan kek..."

Padahal jatuhnya dari pohon kelapa tujuh meter, bukan dari pangkuan ibu.

Itu tubuh isinya bukan kapas, ada tulang, ada otak, ada organ vital! Masa iya cuma diurut terus nunggu dhuhur biar sembuh?

Rasanya pengen teriak,

“Aku butuh logika, bukan ramuan dan angin-angin mistis!”

Dan kalian tahu, besty? Di situ ada banyak kader desa, ada yang punya mobil, ada yang punya banyak uang, ada yang punya kuasa, cukup satu perintah, pemuda-pemuda desa pasti langsung bergerak. Tapi… di mana nurani mereka? Ke mana rasa simpati mereka pergi?

Suamiku jatuh dari atas pohon kelapa setinggi tujuh meter, dan cuma diurut… dikerok…

Habis itu dengan santainya bilang, “Nanti juga sembuh, dhuhur bisa jalan lagi.”

Serius? Di mana hati mereka? Apa mereka pernah membayangkan kalau kejadian ini menimpa orang yang mereka cintai? Pasangan hidup mereka? Anak mereka?

Ada air mata seorang istri yang jatuh diam-diam karena merasa tak dianggap.

Ada mental dan jiwa anak-anak yang belum paham dunia, belum memiliki dosa, yang kelak akan mencari tahu, kenapa ayah mereka dibiarkan dengan luka di dalam tubuh, bahkan sampai meninggalkan bekas cacat, karena penanganan yang telat?

Semua karena kurangnya rasa peduli, simpati, dan kemanusiaan.

Kenapa ayah dari anak-anakku harus menahan sakit siang malam, tanpa tahu bagian tubuh mana yang sebenarnya rusak, karena tak pernah dibawa ke rumah sakit?

Bukan karena tak ada jalan, tapi karena tak ada rasa peduli.

Dan itu... luka yang jauh lebih dalam dari sekadar memar di tubuhnya.

Akhirnya satu per satu orang mulai bubar, mungkin mereka pikir misi penyelamatan selesai. Tinggallah aku berdua sama suamiku di saung, duduk berhadapan sama makhluk Tuhan paling misterius hari ini, yang katanya “nggak kenapa-kenapa”, tapi buat geser badan aja butuh dibantuin.

Bestie, coba bayangin yaa...

Orang jatuh dari pohon kelapa setinggi tujuh meter, tujuh meter, bukan tujuh senti!

Terlempar ke tanah yang keras, kering, retak-retak bekas kemarau panjang.

Tapi, anehnya, nggak ada satu pun luka terbuka. Nggak ada benjol, nggak ada lecet, nggak ada darah netes.

Kaya jatuhnya bukan ke tanah, tapi ke kasur kapuk dilapisi awan tipis dengan belaian bidadari.

Masuk akal nggak, bestie?

Jelas nggak!

Logikaku udah minta pensiun dini!

Suamiku kelihatannya utuh, tapi dalemnya? Aku nggak tahu.

Dan yang paling bikin nyesek, cuma aku yang kelihatan panik, yang lain santai, serasa abis nonton drama dan siap lanjut ke episode selanjutnya.

Hati kecilku cuma bisa teriak,

“Ya Allah, jangan biarin aku jadi janda dadakan gara-gara kepercayaan yang kelewat optimis...”

Agak lama baru kelihatan juga akhirnya...

Kaki kanannya mulai membengkak, pelan-pelan tapi pasti.

dan katanya pas jatuh itu posisinya miring ke kanan.

Ya pantes aja kaki sebelah kanan sekarang udah mulai ngambek. Terus yang tadi masih bisa duduk selonjoran sekarang cuma bisa tidur bersandar, susah gerakin badan.

Dan aku cuma bisa menatap dengan pandangan nano-nano antara panik, sebel, sedih, sama pengen nyubit pipi.

Aku temani raga pak su sambil bacain dzikir dan ayat-ayat pendek, berharap bisa bantu nenangin rasa sakitnya atau minimal bikin dia lebih tenang.

Eh taunya… dia malah meringis sambil ngrengek

“Yang… aku pengen ke kamar mandi…” katanya dengan suara lemah tapi ngotot.

Yaaa Allah… ini suami jatuh dari pohon kelapa, belum bisa gerakin badan sendiri, tapi udah pengen ke kamar mandi.

Aku bilang, “Mau apa? Di sini aja ya… nggak ada orang kok, nanti aku yang bersihin.”

Tapi dia geleng-geleng, matanya setengah merem tapi keras kepala banget, tetep maksa, “Ke kamar mandi aja... nggak mau di sini...”

Ya Allah, padahal buat geser badan aja dia megap-megap. Aku yang liat sampe bingung harus nangis dulu apa tarik napas dulu.

“mbeeb, disini aja ya, aku yang bantuin, pelan-pelan... nggak usah maksain ke kamar mandi, mau gerak aja susah belum bisa,” kataku lagi, setengah nahan tangis setengah nahan emosi.

Tapi dasar pak su kepala batu, tetep aja maksa.

Sumpah bestie, ini bukan cuma ujian fisik, tapi ujian kesabaran tingkat akhir.

Suami jatoh dari pohon kelapa, badannya remuk, tapi gengsi dan idealismenya masih utuh.

Dia ngerengek terus minta ke kamar mandi, sementara aku udah nyaris short circuit antara panik, bingung, dan lelah. Akhirnya dengan langkah setengah lari, aku keluar saung cari bala bantuan.

Pas lihat ada beberapa bapak-bapak lagi siap-siap motong kerbau di deket villa, langsung aja aku samperin dengan muka kucel dan suara serak.

“Pak, pak... tolongin Erik dong... dia mau ke kamar mandi... tapi nggak bisa gerak sendiri... tolong bantuin ya...”

Alhasil, para bapak-bapak yang tadinya udah siap pisau buat nyembelih kerbau, langsung berubah haluan jadi pasukan gotong royong darurat. Dengan gerakan setengah bingung tapi sigap, mereka berdiri lagi, ninggalin kerbau yang udah pasrah di tempat, terus pindah tugas: nggotong suamiku ke kamar mandi.

Suasananya jadi absurd banget, kerbau nunggu disembelih, suami minta ke kamar mandi, aku udah kayak komandan panik di tengah dua operasi penting.

Tapi seolah semesta belum puas nguji kesabaran, drama belum kelar bestie…

Perjuangan cari bala bantuan buat gotong suami ke kamar mandi, pengorbanan para bapak relawan yang rela pending gorok kerbau, ternyata berakhir sia-sia.

Suamiku, dengan tenangnya malah merem di kamar mandi. Ya Allah, itu orang tapa apa gimana? Duduk diem, mata merem, seolah nemu tempat healing paling sakral di dunia.

Aku sampai mikir, ini manusia normal apa udah nyatu sama energi mistis desa?

Ya Allah, bener-bener deh… kalau aja di situ ada santri atau ustadz, bisa jadi suamiku udah di-ruqyah. Lha gimana enggak, gayanya udah persis orang kesurupan, denger dzikir bukannya adem malah minta ke kamar mandi, eh pas nyampe sana bukannya setor dosa kecil, malah duduk merem kaya lagi semedhi.

Mana ada orang waras betah diem di kamar mandi kaya lagi meditasi. Akhirnya dengan di paksa dia digotong balik ke saung, meski dia nya ngotot pengen stay di sana. Lah kita juga mikir, mau ngapain nungguin orang merem diem di kamar mandi, bisa-bisa kita jadi patung gips juga di pojokan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!