Karena Pak Mantri nggak mau datang, akhirnya muncul usulan baru
“Udah, bawa aja ke ustadz Karim, yang biasa ngobatin orang, beliau bisalah ini. Biasanya yang sakit parah-parah juga di bawa kesana."
Ya semacam dokter tradisional lah, atau tukang terapi yang dipercaya masyarakat kampung.
Katanya sih udah banyak yang sembuh kalau ditangani beliau.
Sebenernya, aku antara percaya dan ragu, tapi karena nggak ada pilihan lain, dan keadaan pak su juga makin bikin hati nggak tenang, ya akhirnya ngikut aja…
Akhirnya, setelah diskusi ala rapat RT dadakan dan atas persetujuan semua pihak, termasuk keluarga besar pak su, diputuskanlah mau dibawa ke tabib.
Tapi... eh, katanya nunggu mobil dulu.
Mobilnya lagi dipakai belanja.
Hadeeeh… drama episode selanjutnya dibuka!
Padahal ya, besty... mobil di kampung itu nggak cuma satu, yang punya juga lebih dari satu orang.
Dan lebih nyeseknya lagi, waktu pagi-pagi pas pak su baru jatoh, mobil tuh masih nganggur, ngejedog di depan rumah.
Nggak ada yang kepikiran buat langsung gercep bawa ke rumah sakit atau tempat berobat.
Sekarang, pas kondisi udah makin nggak karuan, malah baru ribut soal mobil.
Fix, ini bukan kurang kendaraan... ini kurang niat!
Ya begitulah nasib, jadi orang kecil di kampung orang.
Harta nggak punya, kuasa apalagi.
Aku cuma "istrinya Erik", menantu dari kampung antah berantah yang bahkan namaku aja kayak nggak dianggap di sini.
Rasanya jadi transparan... ada tapi seolah nggak ada.
Nggak bisa bersuara banyak, apalagi menuntut lebih.
Cuma bisa nahan sesak di dada, sambil terus berdoa semoga Allah mampukan hati ini tetap sabar, tetap waras, dan tetap kuat buat berdiri.
Akhirnya, seperti sinetron yang nggak kelar-kelar episodenya, drama baru pun dimulai, nungguin mobil yang lagi dipakai belanja. Iyap, tinggal nunggu mobil doang, tapi rasanya kaya nunggu jemputan di hari hujan, lama, penuh harap, dan makin bikin lelah batin.
Kondisi Pak Su gimana? Wah, jangan ditanya lagi, Besty... silakan bayangkan sendiri sesuai imajinasi masing-masing ya. Dari luar sih kelihatannya tenang, tiduran anteng, nggak ada luka, nggak ada darah.
Tapi... dia cuma bisa gerakin kepala, celingak-celinguk ke kanan kiri, dan sesekali nanya dengan polosnya "Ini di mana ya?"
Stok air mataku hari ini udah resmi habis, Besty. Aku di kampung orang, suami terkapar nggak berdaya, bahkan aku sendiri bingung, itu suamiku sebenernya sadar apa nggak sih? Anak dua masih kecil-kecil, sementara keluarga suami... ya, kurang kompak lah, kalau nggak mau dibilang rame sendiri.
Rasanya? Campur aduk, kayak permen nano-nano, ada asem, asin, manis, pedes... semua jadi satu di hati.
Drama nunggu mobil akhirnya jadi penantian panjang sampai lewat ashar menjelang Maghrib.
Mobil sport termahal versi kampung pun akhirnya datang. Ya, mobil pickup yang tadi dipake ngangkut sembako buat hajatan, sekarang berubah fungsi jadi ambulans dadakan buat ngangkut suamiku.
Di ujung hari yang melelahkan ini, kondisi pak su udah bener-bener drop. Nggak bisa gerak, nggak bisa duduk, dan makin nggak nyambung diajak ngobrol. Akhirnya warga gotong bareng sama alasnya, diangkat pelan-pelan kayak ngusung raja, tapi versinya raja yang lagi sekarat.
Naiklah dia ke belakang mobil pickup itu, bukan dengan gagah perkasa, tapi dengan harap-harap cemas dari semua mata yang menatap.
Aku pun ikut naik ke bagian belakang mobil yang terbuka, menemani pak su yang terbaring lemas, setelah menitipkan kedua bocil ke mama mertua.
Nggak tega rasanya harus ninggalin salah satu dari mereka, pak su atau dua bocil. Tapi aku nggak bisa milih. Bawa bocil ikut nganter pak su berobat juga bukan pilihan, bisa-bisa malah ninggalin trauma buat mereka.
Sepanjang jalan, mobil kami seperti tontonan. Atau lebih tepatnya, serasa diarak. Bisik-bisik dari warga yang mampir ke telinga pun tak lagi kupedulikan, tertutup oleh rasa perih yang menyesakkan dada. Semua seperti angin lalu, lewat begitu saja.
"Itu si Erik, mau dibawa ke mana?"
"Kenapa emang Erik?"
"Itu loh, dia yang jatuh dari pohon kelapa pas selametan villa saudaranya."
"Astaghfirullahal adziim... Ada korbannya?"
"Iya, korban."
"Kasihan banget... Korban apa, tumbal?"
"Ssstt... Jangan ngomong aneh-aneh!"
"Ya tapi... biasanya kalau ada yang sukses besar gitu suka ada aja yang 'ditumbalin'..."
Ya… kejadian-kejadian ini tuh berderet kayak rangkaian “kebetulan” yang nggak biasa.
Kebetulan saudara sepupu suamiku dalam beberapa tahun terakhir usahanya lagi naik-naiknya, sukses besar, aset di mana-mana.
Kebetulan juga dia lagi bangun villa besar, tempat liburan mungkin, dan proyeknya udah jalan berbulan-bulan.
Kebetulan suamiku ikut bantu-bantu dari awal, karena masih sepupuan juga.
Kebetulan pas hari selamatan villa itu, suamiku disuruh ambil kelapa muda buat suguhan tamu.
Dan kebetulan… justru hari itu dia jatuh dari pohon kelapa.
Terlalu banyak “kebetulan” yang bikin bulu kuduk merinding kalau dipikir-pikir…
Ya, karena kami tinggal di kampung yang masih sangat kental dengan aroma mistis, wajar kalau deretan kebetulan itu langsung jadi bahan perbincangan hangat.
Topik-topik seperti itu cepat menyebar, jadi trending di warung, di kebun, di pinggir jalan.
Bikin bulu kuduk berdiri kaku, apalagi kalau didengerin sambil duduk sendirian di senja hari.
Yang awalnya cuma “kasihan” bisa berubah jadi “jangan-jangan…”
Begitulah, besty… di sini, mistis dan logika sering kali berdampingan tanpa pernah benar-benar sepakat.
Terlalu banyak kebetulan yang rasanya nggak masuk di akal sehat.
Pak Su itu bukan baru sehari dua hari akrab sama pohon kelapa. Udah kayak temen lama. Bahkan, kalau ada sertifikasi manjat kelapa, namanya udah pasti masuk daftar. Tapi kejadian kali ini bikin semua orang melongo.
Bayangin, dia jatuh sambil bawa dua pelepah kelapa yang masih basah! Yang masih basah, bukan yang udah setengah kering dan gampang copot sendiri. Pohon kelapa itu kalau pelepahnya masih segar, ngelepasnya susah banget. Lha ini, bisa ikut jatuh bareng suamiku, lengkap dua-duanya. Gimana ceritanya coba?
Belum lagi soal berat badan. Suamiku tuh ramping, langsing malah. Ya beda tipis lah sama aku yang mini. Kalau dua pelepah bisa ikut jatuh juga, berarti tarikannya kuat banget, kan?
Aku dapet cerita dari supirnya sepupu suamiku itu, dia yang nemenin pak su ke kebon deket villa yang baru selesai di bangun hari itu. Dia nunggu di bawah pohon kelapa sambil ngawasin. Awalnya semua normal. Kelapa muda pertama turun, empat biji. Oke, lancar.
Tapi tiba-tiba...
Gedebugh!!
Tanpa aba-aba, suamiku udah ada di tanah, tiduran miring ke kanan, persis di depan kaki si supir. Gak jauh dari situ, dua pelepah kelapa yang masih basah ikut jatuh bareng. Si supir langsung syok total.
Pak su yang jatoh, tapi dia yang pingsan berdiri. Badannya kaku, gak bisa gerak. Suaranya ilang. Mau manggil orang, tapi cuma bisa mangap-mangap, suara gak keluar. Tangannya cuma bisa ngangkat pelan sambil melambai-lambai, kayak orang minta tolong dalam diam.
Boro-boro nolongin... dia sendiri kayak dipaku di tempat. Kaku. Beku. Gak bisa ngapa-ngapain.
Sumpah, besty... merinding aku dengernya. Suasananya kebayang banget: kebon sepi, suara kelapa jatoh, trus manusia jatoh, dan satu orang lagi berdiri kaku ngga bisa gerak... Ya Allah...
Sampai akhirnya, ada orang dari kejauhan yang lihat si supir aneh, tangannya melambai-lambai, mulutnya mangap-mangap kayak mau teriak tapi gak keluar suara. Pas dideketin, barulah ketahuan keadaannya. Langsung heboh, besty.
Orang-orang mulai berdatangan. Ada yang lari, ada yang manggil yang lain. Suasana berubah total. Pak su yang tergeletak langsung diangkat rame-rame, digotong ke saung.
Di situlah awal semua drama ini dimulai...
Aku udah nggak peduli lagi, mau dibilang suamiku jadi korban kek, jadi tumbal kek, terserah! Yang aku pikirin cuma satu, gimana caranya suamiku sembuh, gimana dia bisa sadar lagi, balik jadi Erik yang biasa, yang bisa senyum, ngobrol, becanda sama anak-anak. Balik ke setelan awal… itu aja harapanku sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments