Nathan berdiri di depan cermin kecil di ruangannya, membenarkan kerah kemejanya yang tiba-tiba terasa terlalu sempit. Detak jantungnya masih belum stabil, seolah tubuhnya tahu ia akan melangkah ke medan yang belum pernah ia jamah.
Alea berdiri tak jauh dari pintu, memegang tablet berisi data-data penting. "Kita jalan, Pak?" tanyanya lembut.
Nathan mengangguk, menelan ludah. "Ayo."
Mereka melangkah ke lorong dengan iring-iringan kecil. Alea, Nathan, dua staf keuangan, dan satu dari legal. Sepanjang jalan menuju ruang meeting lantai tiga, semua mata seolah mengikuti mereka. Entah karena penasaran, khawatir, atau hanya sekadar ingin tahu. Apakah CEO muda itu mampu?
Pintu ruang pertemuan terbuka perlahan. Di dalam, tiga orang perwakilan PT Santosa Jaya sudah duduk menunggu. Salah satunya, seorang pria berkacamata dengan ekspresi tajam, berdiri begitu melihat Nathan masuk.
"Selamat siang, Pak Nathan," katanya dingin. "Kami berharap, kali ini tidak ada lagi data yang perlu dipertanyakan."
Alea menarik napas pelan, lalu duduk di samping Nathan. "Santai, Pak," bisiknya pelan. "Kita siap."
Pertemuan dimulai. Awalnya tegang. Pihak PT Santosa Jaya melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, tajam dan penuh curiga. Namun Nathan, meski suaranya sempat bergetar, perlahan mulai menemukan ritmenya. Ia tidak menghindar. Ia tidak mengelak. Ia akui celahnya, lalu jelaskan langkah-langkah perbaikan yang sedang disiapkan.
Alea menyisipkan penjelasan teknis ketika dibutuhkan, tetapi tetap membiarkan Nathan mengambil peran utama. Di beberapa momen, Nathan bahkan berhasil menahan tekanan balik dari salah satu perwakilan yang memojokkan laporan keuangan.
Nathan mencondongkan badan sedikit ke depan, menunjukkan grafik koreksi laporan di layar. "Seperti yang Bapak lihat di sini, kami sudah memperbarui laporan pendapatan kuartal kedua sesuai hasil audit internal. Ada ketidaksesuaian angka dari divisi ekspor, dan kami telah menindaklanjutinya dengan penyesuaian di sistem pembukuan."
Pria berkacamata itu menyipitkan mata. "Angka ekspor ini... Anda yakin sudah sesuai dengan data terakhir dari Bea Cukai?"
Nathan mengangguk mantap. "Kami sudah verifikasi minggu lalu. Ada perbedaan minor yang sudah kami koreksi."
Alea sempat menoleh, sedikit ragu. Ia ingat betul bahwa update data dari Bea Cukai baru masuk semalam, dan belum sempat dicek ulang oleh tim. Tapi Nathan terlihat sangat yakin, jadi ia menahan diri untuk tidak menyela.
Pertemuan terus berlanjut, dan Nathan semakin lancar menjawab. Sorot mata para perwakilan PT Santosa Jaya pun mulai mencair, hingga tiba pada sesi review kontrak.
"Di pasal 12B, mengenai ketentuan penalti keterlambatan pengiriman," ujar salah satu dari mereka sambil mengetuk-ngetuk dokumen, "kami tidak menemukan revisi yang sesuai dengan negosiasi minggu lalu. Kami minta klausul itu diubah, tapi tidak ada update dari pihak Anda."
Nathan memicingkan mata, lalu membuka salinan kontraknya. Ia terdiam.
Alea ikut melihat, wajahnya pucat. Ia tahu mereka memang belum menyetujui revisi itu secara resmi, Nathan sempat bilang akan dibahas dulu dengan tim legal. Tapi entah kenapa, Nathan malah membawa draft lama dan menganggapnya versi final.
"Kami merasa kurang dihargai," lanjut pria berkacamata. "Kalau poin sederhana seperti ini saja tidak diperhatikan, bagaimana kami bisa percaya Anda akan konsisten mengeksekusi kesepakatan besar seperti pengadaan alat kami?"
Nathan membuka mulut, hendak menjawab, namun tak ada yang keluar. Kesunyian itu terasa panjang dan menyakitkan.
Alea menunduk sedikit, lalu berkata dengan nada tenang tapi terdengar penuh penyesalan, "Kami mohon maaf atas kelalaian ini. Seharusnya kami pastikan versi dokumen yang dibawa hari ini adalah yang telah disepakati terakhir."
Pria berkacamata hanya mengangkat alis, lalu bersandar di kursinya. "Kami akan mempertimbangkan ulang kerja sama ini. Untuk sekarang, saya rasa tidak perlu dilanjutkan lebih jauh."
Mereka bangkit dari kursi tanpa menunggu balasan. Nathan hanya bisa mematung, melihat ketiganya keluar dari ruangan tanpa menoleh.
Setelah pintu tertutup, ruang itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Tak ada yang bicara. Staf keuangan menunduk, dan orang legal buru-buru merapikan dokumen sambil menghindari kontak mata.
Nathan masih duduk di tempatnya. Tangannya mengepal di atas meja, rahangnya mengeras.
"Pak..." Alea bicara pelan, duduk kembali di sampingnya. "Saya benar-benar minta maaf. Saya seharusnya-"
"Bukan salah kamu," potong Nathan, suaranya serak. "Aku yang terlalu yakin. Padahal kita belum verifikasi data Bea Cukai. Draft kontrak pun belum fix, tapi aku anggap sudah beres..."
Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku pikir aku bisa. Tadi, sempat merasa... kalau aku pantas duduk di sini. Tapi ternyata... aku cuma bocah yang terlalu cepat dikasih setir."
Alea diam sejenak. Matanya mengamati ekspresi Nathan. Patah, bingung, dan marah pada diri sendiri.
"Pak, semua orang pernah melakukan kesalahan," katanya lembut. "Tapi tidak semua orang berani duduk di sini, menjawab sendiri semua pertanyaan klien, dan mengakui kekeliruan dengan kepala tegak. Itu butuh keberanian. Dan itu juga bagian dari jadi pemimpin."
Nathan menatapnya, masih ada keraguan di matanya.
"Kita belajar, Pak. Dari sini. Dan kita pastikan lain kali, tidak ada celah sekecil apa pun. Tapi jangan hilang kepercayaan diri Bapak hanya karena satu kesalahan," lanjut Alea.
Ia tersenyum, memberi sedikit semangat. "Yang barusan gagal, iya. Tapi itu bukan berarti Bapak gagal sebagai pemimpin."
Nathan terdiam, seolah tenggelam dalam rasa bersalah dan merasa bodoh atas pengalaman pertamanya ini. Ia mendengarkan Alea dan ia tahu, kata-katanya benar. Ini adalah kali pertamanya. Bukankah wajar jika seseorang tersandung saat langkah awal?
Mungkin, bagi orang lain, kejadian barusan bisa dimaklumi. Tapi entah mengapa, Nathan merasa ia tidak boleh gagal. Tidak sekarang. Tidak saat semua mata sedang mengamatinya, menilai apakah ia cukup layak menggantikan ayahnya memimpin perusahaan sebesar ini.
"Aku nggak pengen dikasihani," gumamnya akhirnya. "Nggak pengen dilihat sebagai anak kecil yang masih belajar. Aku pengen mereka lihat aku... layak."
Alea menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, "Tapi justru dari kegagalan ini, orang akan melihat seberapa kuat Bapak bertahan. Bukan soal jatuhnya, tapi bagaimana Bapak bangkit. Dan saya yakin, mereka akan lihat itu."
Nathan menghela napas. Lalu, untuk pertama kalinya sejak rapat dimulai, ia menunduk, menutup matanya sebentar, sebelum menatap lurus ke depan lagi.
"Terima kasih, Alea," katanya pelan. "Kalau kamu nggak di sini tadi, mungkin aku udah lebih kacau."
Alea tersenyum kecil. "Saya selalu di sini, Pak. Tapi mulai besok, kita pastikan semuanya tidak ada yang terlewat. Timnya kita kuatkan. Bapak tidak sendiri."
Nathan menatapnya, kali ini dengan sorot yang sedikit berbeda. Masih letih, tapi ada secercah tekad yang kembali menyala.
***
Malam harinya, Nathan baru saja meletakkan tas kerjanya di atas meja kecil di kamarnya. Ia melonggarkan dasi yang terasa mencekik, berniat melepaskannya sebelum membersihkan diri dan akhirnya merebahkan badan.
Beberapa minggu terakhir, sejak duduk di kursi kebesaran ayahnya, hidupnya hanya diisi satu hal. Belajar menjadi pemimpin. Sepulang kantor, ia langsung beristirahat, berusaha terlelap meski tidurnya jarang benar-benar nyenyak.
"Apa begini ya hidup orang-orang yang punya perusahaan? Kerja, pulang, tidur. Kapan clubbing-nya coba," gumam Nathan, lebih terdengar seperti keluhan dari dalam hati.
Ia melangkah ke balkon, duduk sambil menikmati angin malam yang sejuk membelai wajahnya. Di tangannya, secangkir kopi yang mulai mendingin. Di pangkuannya, beberapa lembar roti tawar yang belum disentuh.
Ia termenung cukup lama di sana. Pikirannya melayang pada masa-masa ketika malam dihabiskan dengan dentuman musik, kilau lampu disko, dan gelak tawa teman-teman dalam pesta yang tak berujung. Jujur saja, ia rindu. Rindu jadi anak begajulan yang tak perlu memikirkan laporan, kontrak, atau ekspor-impor.
Dan seolah semesta mendengar keluh kesahnya, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Layar menyala menampilkan nama yang familiar. Salah satu teman lama yang dulu selalu ada di setiap pesta.
[Pesta yuk, Nat. Sekali-kali nggak apa-apa kali kalau lu pergi clubbing. Itung-itung refresh otak biar nggak panas.]
Nathan menatap pesan itu cukup lama, seolah ragu apakah ia benar-benar ingin kembali ke dunia lama yang pernah ia tinggalkan. Ia merasa sesaat seakan terombang-ambing di antara dua dunia. Dunia yang penuh tanggung jawab dan dunia yang dulu membuatnya merasa bebas tanpa beban.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments