2

Nathan menatap gedung pencakar langit di depannya. Markas besar Wijaya Group. Dulu, tempat ini hanya latar belakang foto Instagram atau tempat mampir sekedar menyapa ayahnya sebentar. Tapi hari ini? Hari ini ia harus masuk sebagai pemiliknya.

Langkahnya terasa berat saat memasuki lobi. Begitu ia muncul, beberapa karyawan meliriknya dengan ekspresi sulit ditebak. Wajar. Semua orang tahu siapa dirinya. Nathan Wijaya, anak bos yang lebih dikenal sebagai pria begajulan daripada calon pemimpin perusahaan.

Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengenakan jas formal yang bukan sekedar gaya. Setelan hitam Armani melekat sempurna di tubuhnya, dasinya terikat rapi, dan rambutnya yang biasanya acak-acakan kini tertata dengan serius. Tidak ada lagi ripped jeans atau jaket kulit mahal, penampilannya hari ini jauh dari image pria bebas yang dulu keluar masuk klub dengan kemeja setengah terbuka.

Namun, meskipun pakaiannya berubah, rasa canggung tetap ada. Setiap langkah terasa seperti beban, seolah sepatu kulit mengkilap yang dikenakannya terlalu berat untuk dipakai berjalan. Ia bukan pria yang terbiasa memakai seragam tanggung jawab ini.

Di sekelilingnya, beberapa karyawan berbisik pelan. Ada yang hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan layar komputer, tapi ada juga yang terang-terangan mengamatinya, seolah menunggu kesalahan pertamanya.

Lalu, di antara hiruk-pikuk kantor yang terasa asing baginya, seorang wanita dengan setelan rapi berjalan mendekat. Dengan langkah percaya diri, ia berhenti tepat di depan Nathan dan mengulurkan tangan.

"Tuan Nathan, saya Alea, asisten pribadi Anda."

Nathan mengerutkan kening. "Asisten pribadi?"

"Benar. Saya ditugaskan untuk membantu Anda beradaptasi."

Nathan memperhatikan wanita itu lebih saksama. Usianya mungkin awal 30-an, lebih tua darinya beberapa tahun. Rambutnya disanggul rapi, setelan kerjanya elegan tanpa cela, dan sikapnya menunjukkan bahwa ia terbiasa menangani masalah tanpa panik.

"Apa sebelumnya kamu juga asisten pribadi ayahku?" tanyanya.

"Tidak," Alea menggeleng. "Saya adalah sekretaris di perusahaan ini."

"Jadi kenapa sekarang jadi asisten pribadiku?"

Alea tersenyum tipis, senyum yang mengandung kesabaran tingkat tinggi. "Karena dewan direksi menganggap Anda butuh seseorang untuk memastikan perusahaan ini tidak hancur dalam waktu seminggu."

Nathan terdiam. Entah harus merasa tersinggung atau berterima kasih. Ia melirik Alea yang tetap tenang, seolah sudah mengantisipasi reaksi itu.

Nathan mendesah. "Baiklah, ayo mulai. Tunjukkan ruang kerjaku."

Alea mengangguk dan memandu Nathan ke lantai atas. Begitu pintu terbuka, ruang kerja CEO menyambutnya dengan kemewahan yang tak terbantahkan. Meja besar dari kayu mahal, kursi kulit ergonomis, rak penuh buku bisnis yang sepertinya belum pernah ia sentuh, serta jendela besar yang memperlihatkan panorama kota.

Kesan pertama? Mengesankan. Hingga matanya jatuh pada sesuatu yang membuat perutnya menciut.

Tumpukan dokumen. Setinggi lutut. Menumpuk dengan angkuhnya di atas meja.

Nathan mengerutkan kening. "Apa ini?" tanyanya, setengah berharap itu hanya properti dekorasi belaka.

Alea melirik sekilas, nadanya tetap tenang. "Laporan keuangan, proposal, kontrak... hal-hal yang harus Anda pelajari."

Nathan menatap kertas-kertas itu seperti melihat monster berkepala tiga. "Aku pikir jadi CEO cuma tinggal tanda tangan dan senyum di depan kamera."

Alea tersenyum tipis, ada sedikit rasa kasihan dalam tatapannya. "Tentu, kalau Anda mau perusahaan ini bangkrut dalam seminggu."

Nathan merasakan dadanya sesak. Selamat datang di dunia nyata.

Nathan mendengus, melipat tangan di dada. "Kenapa dari tadi bahas bangkrut dalam seminggu? Ngeremehin banget."

Alea mengangkat alisnya, sama sekali tidak terintimidasi. "Saya hanya realistis, Tuan Nathan. Anda baru pertama kali masuk ke sini sebagai pemimpin, tanpa pengalaman bisnis, tanpa latar belakang manajerial, dan-" ia melirik Nathan dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Sejujurnya, dari cara Anda berdiri saja, saya bisa tahu kalau Anda lebih nyaman di klub malam daripada di ruang rapat."

Nathan menatapnya dengan tidak percaya. "Aku rasa kamu lebih cocok jadi pengkritik fashion daripada asisten pribadi."

Alea hanya tersenyum kecil. "Kalau saya jadi pengkritik fashion, Anda pasti orang pertama yang saya komentari."

Nathan mendesah keras, lalu menyeringai tipis. "Ya udah, aku ganti asisten aja."

Alea tersenyum tipis, sama sekali tak terpengaruh. "Tidak bisa."

Nathan mengerutkan kening. "Kenapa nggak bisa?"

Alea menatapnya dengan sabar. "Karena dewan direksi yang menunjuk saya... dan mereka bilang ini permintaan langsung dari ayah Anda jauh sebelum kecelakaan." Ia memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan, suaranya sedikit lebih pelan. "Beliau sudah merencanakan ini sejak lama. Seharusnya, Anda mulai lebih cepat... hanya saja, takdir berkata lain."

"Bagaimana? Siap belajar sekarang? Ah maaf, maksud saya. Mari kita belajar sekarang, siap tidak siap Anda harus siap."

Nathan mengembuskan napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kursi empuk di balik meja. "Ya udah, ayo mulai."

Alea mengangguk, mengambil setumpuk dokumen, dan menyusunnya rapi di depan Nathan. "Kita mulai dari laporan keuangan bulan lalu."

Nathan menatap angka-angka di kertas itu, dahinya langsung berkerut. Angka di sini, angka di sana, tabel panjang berisi istilah yang bahkan tidak pernah ia dengar sebelumnya. Matanya menyipit membaca angka-angka yang seolah menari di atas kertas. Kepalanya mulai berat, dan kalau ini ujian sekolah, ia mungkin sudah menyerah dan membuka contekan di bawah meja.

Alea, yang memperhatikan ekspresinya, menyandarkan diri ke kursi dengan tenang. "Anda sudah membaca apa saja?"

Nathan menggosok pelipisnya. "Aku udah sampai halaman dua."

Alea melirik dokumen di tangan Nathan, lalu mengangkat alis. "Itu baru kata pengantar."

Nathan terdiam, lalu menyandarkan kepala ke kursi dengan putus asa. "Aku bakal mati sebelum seminggu, bukan perusahaan yang bangkrut."

Alea menahan senyum, tapi sorot matanya tetap profesional. "Kalau begitu, sebaiknya kita percepat belajarnya, supaya Anda mati dalam keadaan paham."

"Kamu mau aku pecat?"

Alea tetap tenang, bahkan sempat melirik jam tangannya sebelum kembali menatap Nathan. "Silakan saja, Tuan Nathan. Tapi sebelum itu, Anda harus mencari pengganti saya."

Nathan menyipitkan mata. "Mudah."

Alea tersenyum tipis. "Benarkah? Karena dewan direksi sudah memperingatkan bahwa saya satu-satunya asisten yang mereka percayai untuk menangani Anda."

Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke kursi. "Kenapa semua orang di sini seakan sedang menjebakku?"

Alea hanya tersenyum ramah, seolah tak terganggu sedikit pun. "Mari kita kembali ke pelajaran. Kalau Anda masih ingin jadi CEO lebih dari seminggu, saya sarankan untuk mulai memahami laporan ini."

Nathan mengerang pelan, meraih dokumen itu dengan enggan. "Baiklah, baiklah."

Nathan kembali mempelajari dokumen di depannya, mencoba memahami angka-angka yang terasa seperti bahasa alien. Matanya menelusuri baris demi baris, tapi semakin lama ia membaca, semakin kabur tulisan itu di kepalanya.

Lima menit berlalu.

Sepuluh menit.

Nathan mengusap wajahnya dengan frustasi. "Alea."

"Ya, Tuan Nathan?"

"Kalau saya baca ini lebih lama lagi, kemungkinan besar saya bakal mimisan. Saya hanya paham perusahaan ini menghasilkan uang."

Alea menahan napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. Ini baru hari pertama, ia harus sabar. Harus sabar. Satu... dua... tiga... Oke. Profesional. Ia tidak akan melempar dokumen ke kepala bos barunya.

Dengan senyum yang terlalu manis untuk dianggap tulus, Alea menjawab, "Benar, Tuan Nathan. Perusahaan menghasilkan uang. Sama seperti restoran menjual makanan, atau gym menyediakan tempat olahraga. Bedanya, perusahaan ini bergerak di berbagai sektor, dan kalau Anda tidak paham bagaimana cara uang itu bergerak, dalam sebulan kita bisa berakhir jualan gorengan di pinggir jalan."

Nathan berkedip, menatapnya dengan ekspresi setengah terkejut, setengah bingung. "Aku tidak tahu apakah itu ancaman atau motivasi."

Alea masih tersenyum. "Anggap saja peringatan halus."

Nathan menghela napas, lalu menatap dokumen itu lagi dengan pasrah. "Baiklah, mari kita mulai dari awal."

Alea menutup matanya lagi, kali ini lebih lama. Sabar, Alea. Sabar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!