Sudah dua bulan Cia berada di rumah itu, dan hari-hari yang Cia jalani begitu berat semenjak menikah dengan Carlo. Mereka menikah bukan karena cinta, tapi karena perjodohan. Tapi Cia selalu berharap perkataan orang tuanya adalah nyata. Cinta sejati di mulai setelah mengucapkan janji suci pernikahan. Tapi kenapa Cia hanya merasakan dinginnya jarak?
Semenjak kejadian kemarin, Cia tidak pernah masuk ke dalam kamar Carlo. Bahkan kalau sedang bersih-bersih, gadis itu tetap tidak masuk ke kamar Carlo, dan nantinya pria itu sendiri yang membersihkan kamarnya sendiri.
"Cia, cuci baju itu! Ingat, jangan sampai ada yang ketinggalan seperti kemarin! Orang tuamu pasti tidak memberitahumu akan hal ini. Sebenarnya kamu menikah dengan Carlo karena almarhum kakekmu punya hutang banyak pada kakeknya Carlo. Kakekmu tidak bisa membayar hutang-hutangnya itu, jadi dia membuat perjodohan ini. Memang licik sekali kakekmu itu. Sudah nggak bisa bayar hutang, sekarang menyuruh cucunya menikah dengan Carlo untuk mengincar harta keluarga ini. Sekarang mending cuci semua baju itu. Anggap saja kamu mengerjakan semuanya untuk membayar hutang-hutang kakekmu. Kamu itu di sini sudah makan gratis, jangan berharap jadi ratu di sini. Kamu pikir Carlo mau dengan wanita sepertimu," cerca Meri sambil berkacak pinggang.
Cia tersenyum miris mendengarnya. Dulu hidupnya begitu bahagia, tapi kenapa sekarang malah jadi begini? Kalau tau akan seperti ini, dia tidak akan pernah mau menikah dengan Carlo.
Bahkan pria itu tidak pernah memberikan uang untuknya. Tiap bulan pria itu hanya memberi uang pada ibunya, dan semua keperluan di rumah ini di atur oleh ibu mertuanya.
Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Cia akan pergi ke restoran di sebelah rumah mertuanya. Wanita itu akan bekerja di sana agar memiliki uang. Barulah Cia bisa membeli sesuatu yang dia inginkan.
"Kenapa? Kamu mau marah ha? Silahkan marah! Mau ngadu sama suamimu? Ngadu saja sana, saya tidak takut sama sekali. Lagian suamimu tidak akan membelamu. Atau mau ngadu sama orang tuamu? Dia tidak akan percaya dengan kata-katamu."
Ya mana mungkin ibu mertuanya takut, karena suaminya juga sama. Jika Cia mengadukan sikap sewenang-wenang ibunya itu, pria itu malah akan memaki Cia.
Cia juga pernah mengadu pada orang tuanya, tapi mereka tidak percaya pada perkataannya. Entah apa yang sudah di dengar dari mulut ibu mertuanya, sampai mereka tidak mempercayai ucapan putrinya sendiri.
Sakit! Itu yang di rasakan Cia saat ini. Rasanya dirinya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini, namun apa boleh buat dirinya harus tetap bertahan hingga hutang-hutang almarhum kakeknya lunas, setelah itu dia akan meminta cerai pada Carlo.
"Cepat cuci semua baju itu! Jangan kebanyakan ngelamun."
Wanita paruh baya yang bernama Meri itu dengan sengaja menendang ember besar yang berisi baju-baju kotor milik wanita itu dan anak gadisnya- adik Carlo. Sungguh Cia sampai memejamkan kedua bola matanya.
"Ya Tuhan,"lirih Cia.
Cia meraih baju-baju yang sudah berserakan itu, lalu mengumpulkannya menjadi satu kembali. Wanita itu lalu buru-buru mencucinya.
Setelah mencuci baju dan menjemurnya, Cia sungguh sangat kelelahan, wanita itu bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, namun sayang lagi-lagi dirinya harus menghadapi sikap mertuanya.
"Hey! Enak saja mau minum! Sana pergi duduk ke pasar! Beli sayuran. Kamu itu mau enaknya saja. Saya dan Ruri belum makan karena kamu mencuci baju lama sekali." Teriak Meri.
"Ma, Cia mau minum dulu, sebentar saja, nanti Cia bakalan ke pasar kok," ucap Cia dengan sopan.
Meri mendengus kesal mendengarnya. "Enggak ada, enggak ada! Saya sudah lapar, cepat kamu pergi sana! Nanti Ruri bangun belum ada makanan kan kasihan."
Cia menghela nafasnya dengan kasar, mau minum saja susahnya minta ampun. Mau tidak mau gadis itu pun menuruti kemauan ibu mertuanya.
Diraihnya catatan kecil yang ada di meja makan beserta uangnya, lantas Cia membacanya terlebih dulu sebelum dirinya benar-benar pergi.
"Ma, ini nggak cukup uangnya, uangnya kurang. Harga ayam sudah naik, Ma," ucap Cia saat menimbang-nimbang harga harga belanjaan itu.
"Saya enggak mau tahu, pokoknya uang itu harus cukup. Karena hari ini Ruri ingin makan ayam," balas Meri tidak mau di bantah.
"Bagaimana bisa? Sedangkan aku tidak ada uang sama sekali," jawab Cia dengan raut wajah bingung.
Meri tertawa mendengarnya. "Kamu pikir mama bodoh ha? Kamu setiap siang selalu bekerja di restauran. Tapi mama nggak peduli. Yang terpenting kamu pasti punya uang simpanan kan?"
"Ma, uang itu rencananya mau aku pake untuk membayar hutangnya almarhum kakek. Rencananya mau aku cicil biar cepat lunasnya."
Meri sama sekali tidak peduli dengan apa yang Cia katakan. "Saya enggak mau tahu ya! Pokoknya uang itu harus cukup! Lagian kamu juga tidak akan mampu membayar hutang kakekmu dengan gajihmu yang segitu. Kakekmu dulu seperti parasit, apa-apa selalu minta sama kakeknya Carlo."
Mulut ibu mertuanya seperti biasa selalu terdengar sangat pedas. Tidak tahukah dia, kalau ucapannya itu bisa menyakiti perasaan orang lain.
"Ya, Tuhan. Sungguh tega sekali dia," ucap Cia berusaha untuk sabar. Hatinya berdenyut nyeri mendengar perkataan wanita itu.
"Ma, mama kok tega sekali bicara begitu? Walau bagaimanapun aku ini adalah menantumu. Tidak bisakah kau bersikap baik padaku?"tanya Cia dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Menantu? Saya tidak pernah menganggap wanita miskin sepertimu sebagai menantuku. Carlo juga terpaksa menikahimu."
"Andai bisa menolak, Carlo pasti sudah menolak perjodohan ini," ucap Meri lagi.
Sungguh kejam sekali ibu mertuanya itu. Ucapannya selalu saja menyakiti hati Cia.
"Malah nangis lagi. Udah jangan banyak drama! Nanti anak saya keburu bangun. Saya enggak butuh tangisan kamu. Perut saya enggak akan kenyang kalau melihatmu menangis," kata Meri dengan begitu ketus.
Cia mengurut dadanya, berusaha untuk sabar dan tetap bersikap sopan pada mertuanya itu. Bagaimana pun juga mertuanya tetap orang yang harus dirinya hormati.
Cia menyeka air matanya, lalu meraih catatan itu beserta uang yang entah cukup atau tidak.
"Ma, Cia pamit dulu ya." Cia meraih tangan Mirna lalu mengecup punggung tangan itu.
"Hm," hanya itu yang keluar dari Meri. Wanita itu langsung meraih kain lap, dan mengelap punggung tangannya yang habis dicium oleh Cia.
Cia yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecut, sudah biasa bagi Cia saat mendapatkan perlakuan seperti ini dari ibu mertuanya. Bahkan bukan hanya mertuanya saja, tapi hampir seluruh keluarganya Carlo memperlakukan Cia seperti itu.
Alasannya sangat sederhana, karena dirinya bukan berasal dari keluarga kaya. Apapun kebaikan dan pengorban Cia, mereka tidak akan pernah mau menganggap Cia bagian dari keluarganya.
Terima kasih ya krn sudah mampir🙏, jangan lupa like dan komentarnya ya kakak2, biar author tambah semangat nulisnya😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Gede Merta
Seru , semangat 💪
2025-10-21
0