Saat kamu merasa ada yang mengganjal,
sesuatu sekecil apapun akan membuatmu penasaran.
Day two...
Percakapan yang terus berulang setiap malam dan tatapan intimidasi pada setiap sudut sekolah. Mungkin, selain menerima hidup seperti ini, Aletha juga harus terbiasa dunia melihatnya dengan kaca mata mereka. Pemikiran yang tidak logic, ucapan yang dingin dan menyeramkan, bagaimana caranya menolak, atau cara dia bahagia.
Tepat dihalaman belakang kelas, saat semua siswa-siswi mempersiapkan diri untuk mata pelajaran pertama mereka. Gadis itu justru menggunakan indra pengelihatan dan penciumannya untuk kejadian yang sudah lebih dari dua tahun berlalu. Bercak yang dia yakini adalah cairan merah yang mengering terasa lebih jelas sekarang, saat tidak ada yang membuntutinya, atau sengaja membuntutinya.
“Lo intel beneran ya?”
Aletha berbalik, manik tajam yang sama seperti terakhir kali mereka bertatapan. Khalil bisa rasakan, suasana jauh lebih dingin dibanding tubuhnya pertama kali keluar rumah. Rasanya saat bertemu Aletha hawa berubah jauh lebih menegangkan. Bukan cuman seperti mayat hidup yang berkeliaran, tapi psikopat yang menyamar sebagai kurir pengantar ayam goreng.
“Gue ngga tahu kenapa ini jadi spot favorite lo”
Gadis itu hanya diam. Tak peduli sepasang mata sedang mengintimidasinya untuk yang kesekian kali atau entahlah. Rasanya ini seperti hal lumrah karena sepanjang hidupnya, Aletha memang menganggap tatapan itu adalah tatapan yang wajar. Karena dia tidak suka jika tidak dikucilkan. Saat dirinya dianggap sebagai teman, justru itu adalah yang paling membuatnya kecewa.
“Aletha Waniwongso, seneng akhirnya bisa tahu nama lo”
Aletha menghela napas. Selain sok tahu, sepertinya Khalil adalah penguntit yang handal. Pria dengan tubuh kekar dan tatapan tajam seperti elang. Aura yang berkarisma bagi sebagian orang, termasuk para gadis yang menyukainya.
“Gue ngga suka diikutin”
“Kebetulan gue bukan penguntit, lagi nyelidikin sesuatu?”
“Kalau bukan kenapa nebak?”
Khalil tersenyum, menatap bercak coklat yang teksturnya masih terasa jika disentuh. Kejadian yang tidak dia ketahui betul kapan terjadi. Tapi dia yakini terjadi di tempat ini. Sama seperti yang sedang gadis ini usahakan untuk terungkap.
“Gue ngga tahu persis, tapi kalau gue bisa bilang mungkin bakal jadi clue buat lo”
Suara bel masuk memecah ketegangan pagi ini. Gadis itu melangkah lebih dulu dengan gaya jalan yang sudah dia tentukan, sesuai irama. Sementara Khalil hanya diam, merasa harga dirinya seakan terinjak karena diperlakukan demikian.
Khalil Gibran Muhammad, pria yang jadi most wanted di Samudra High School. Selain pintar akademik dan menang beberapa lomba olimpiade sains nasional, dia juga bergabung pada pasikbra sekolah dan juga pernah menang sebagai danton terbaik. Handal dalam bidang olahraga yang tidak mungkin tidak ada yang tidak kagum, dengan kehadirannya yang sempurna disini.
Kecuali setelah Aletha datang, spotlight merujuk pada gadis misterius yang menjadi highlight berita sekolah. Dengan gaya gothic yang menonjol dan tatapan dingin membuat seisi sekolah tersihir dengan ke-horror-annya. Rasanya seperti dunia berubah menjadi Hogwarts atau Nevermore Academy.
—
“Sebelum saya mulai pembahasan pagi ini, ada yang tahu apa itu kalorimeter?”
Aletha menghela napas sebelum mengangkat tangannya. Tepat sebelum tangan Khalil terangkat lebih tinggi darinya.
“Silahkan”
“Alat untuk menemukan kalor jenis suatu zat, kalor itu energi panas yang berpindah dari benda yang bersuhu lebih tinggi ke benda yang bersuhu lebih rendah”
Sasmita tersenyum, menampilkan penjelaskan pada layar proyektor yang sesuai dengan penyampaian Aletha. Pembelajaran yang belum sempat disampaikan namun sudah dikuasai oleh beberapa murid, maksudnya hanya Aletha dan Khalil. Kedua murid yang terlihat fokus dengan penjelasan dari pada menulis di buku mereka.
“Aletha, Ibu anggap kamu mengerti semua materi pagi ini karena tidak mencatat”
Gadis itu terdiam, menatap layar proyektor yang menampilkan soal pembahasan materi. Yang jelas adalah sebuah kejutan yang cukup mengisi ruangan tanpa suara.
“Karena Ibu lihat, buku kamu kosong dari pertemuan awal kita kemarin”
“Besar kalor yang dibutuhkn 154.000 joule”
Seisi kelas menatap pusat pada Aletha terutama Sasmita dan Khalil, bahkan beberapa dari mereka baru selesai memahami inti soal yang akan dikerjakan. Tapi gadis itu bisa menjawab dengan benar secara singkat.
“Kalor yang dibutuhkan untuk memanaskan 2kg air yang bersuhu 23 derajat menjadi 100 derajat jika diketahui kalor jenisnya 1.000 joule per kg derajat celcius adalah 154.000 joule, jawaban saya salah?”
Sasmita menggeleng, memberikan lembar soal yang sudah lebih dulu dia siapkan pada setiap murid. Harusnya dia tidak terkejut dengan kepintaran yang dibilang keluarga Waniwongso tentang anaknya, tapi ternyata kewaspadaan justru jadi kunci utama. Kehadiran yang seakan jadi peringatan merengggut kepercayaan tentang siapa Aletha Waniwongso sesungguhnya.
—
Aletha beranjak lebih dulu, meninggalkan selembar soal yang sudah dia jawab dengan detail sebelum ijinnya ke toilet disetujui. Beberapa pasang mata yang melihat kemisteriusan itu justru jadi tatapan kagum. Bagaimana bisa menyelesaikan lima soal rumus yang belum diajarkan dalam waktu kurang dari sepuluh menit? Bahkan si jenius kebanggan Samudra High School pun baru saja menyelesaikan satu soal pertamanya.
Khalil menghela napas, menatap bangku dengan tas hitam yang tergelantung disana. Lebih kecil dari bawaan murid lainnya dan lebih ingin dia tahui alat menyeramkan apa yang gadis itu bawa?
—
“Konyol”
“Apanya yang konyol?”
Lagi? Kenapa Samudha High School banyak sekali punya orang yang suka mengejutkan? Satpam, murid, bahkan sekarang guru? Seorang ber-name tag Wanda Pujiasti berdiri dibelakang Aletha, ditatapnya lewat pantulan kaca tanpa tolehan sedikitpun.
“Bagaimana hari pertamamu?”
Aletha hanya diam. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk basa-basi dengan seorang guru. Lagi pula sejak kapan kamar mandi murid dan guru jadi satu? Bahkan terdengar konyol jika terjadi di sekolah ini.
“Biasa saja, tidak ada yang menyenangkan dibanding hari ini yang harus mengerjakan soal anak SD”
Wanda tersenyum, berdiri disebelah Aletha untuk mencuci telapak tangannya. Seakan membuang waktu untuk terus mengajak bicara murid barunya tanpa terlihat sedang berusaha dekat.
“Soal apa yang kamu maksud?”
“Kalor, aku pikir pembelajaran ini tidak perlu dibahas” Aletha menoleh, tentu masih dengan intonasi nada yang kaku dan dingin. Sampai pada manik mata yang mengarah pada fentilasi teratas ruangan ini.
“Mungkin bagi kamu pembahasan ini tidak perlu, tapi bagi teman-temanmu ini pembelajaran yang memang harus mereka tahu”
Gadis itu tidak mengubris, memilih berjalan maju untuk memastikan benda apa yang dia lihat adalah benda yang ada dipikirkannya. Sementara Wanda hanya diam, mengamati tingkah Aletha tanpa protes.
“Kamu tidak punya mata batin kan?”
Aletha menghela napas, meninggalkan kamar mandi tanpa menjawab pertanyaan yang lagi-lagi konyol dipikirannya. Kali ini yang dia butuhkan hanyalah untuk bisa menjangkau barang yang dia lihat. Untuk bisa mengambil atau sekedar tahu bahwa itu bukan sekedar barang tidak penting di simpan di kamar mandi wanita.
“Anak itu memang unik”
—
Khalil menghela napas panjang. Menghadang diantara pintu untuk memastikan apakah gadis yang dia cari sudah kembali atau belum. Karena sampai detik bel istirahat berbunyi, gadis itu belum juga kembali.
“Nungguin siapa, Lil?”
“Tadi gue lihat Niko sama yang lain udah kekantin”
Khalil menggeleng pelan, lantas beranjak saat Aletha yang baru saja datang segera menerobos masuk. Membuat beberapa dari mereka yang masih ada di kelas, terutama Khalil, Roona, dan Venus kebingungan. Pasalnya, dia kembali meninggalkan ruang kelas dengan tas hitam miliknya tergelantung di pundak kiri.
“Aletha, mau kemana?”
“Jangan tanya, percumah” Venus menyela pertanyaan Roona, membuat Khalil ikut bertanya-tanya tentang kemana gadis itu akan pergi.
“Dia tuh kaya severus snape versi cewek tapi anak SMA gitu, ekspreksinya datar terus dingin kaya kutub utara”
“Kadang sarkastik” tambah Khalil. Mendapat anggukan setuju dari Roona dan Venus.
Disini Aletha sekarang, gedung belakang sekolah yang dia ketahui paling jarang dijamah. Tentu tidak berubah dari terakhir kali dia datang, hanya rerumputan yang semakin tinggi, jadi tempat yang pas tubuhnya bersembunyi. Picing mata yang khas, dia tahu betul sebuah kamera kecil yang dia temukan adalah alat penguntit untuk bisa dikatakan pemuas nafsu. Tapi dia juga belum bisa gegabah untuk memberikan barang ini tanpa bukti siapa yang meletakkannya disana.
Lagi pula tujuan awalnya datang ke Samudra High School juga bukan untuk ini, ada yang jauh lebih kompleks dari yang dia sudah temukan.
Aletha menelan ludahnya susah payah, menutup kembali laptop untuk dia kemas setelah suara bel masuk berbunyi. Kemungkinan yang hanya ada diasumsinya tentang sekolahan ini justru lebih padat. Lebih mengerikan dari pada orang-orang menanggap dirinya.
“Aletha”
Mahen sedikit mengangkat dagunya, mendapati muridnya baru saja keluar dari belakang gedung sekolah.
“Tidak ada yang mau mengajakmu bermain petak umpet disana, jangan anggap sekolah ini lelucon”
Bukannya menanggapi, Aletha meninggalkan tempat tanpa permisi. Membiarkan Mahen menatap tas yang ada dipunggungnya kian menjauh dari pandangannya. Dering ponsel yang berbunyi memecah ketakutan diasumsinya.
“Saya rasa ini sudah terlalu lama, bahkan setelah anak itu dibebaskan”
Aletha mempercepat langkahnya namun masih dengan irama dan jarak yang seimbang. Menemukan papan kelas sebelas fisika satu tergelantung diatas, dengan pintu yang masih terbuka. Itu artinya belum ada guru yang datang. Tubuhnya terduduk dengan sedikit deru napas tak beraturan. Disambung kejutan yang Roona ciptakan.
“Lo dari mana? Ngga berniat kabur dan ketahuan kan?”
“Enggak, lagi pula ini semua nggak penting buat dibicarain”
Roona menatap buku yang baru saja Aletha keluarkan. Kosong seperti kata Sasmita, tidak ada coretan apapun termasuk nama. Seperti buku hanyalah formalitas saja untuk dibawa karena dia sedang sekolah. Seperti juga buku itu baru keluar dari pabrik percetakan. Masih berbau kayu dan segar.
“Serius lo nyatet semuanya di otak lo?”
“Otak manusia itu diperkirakan bisa nyimpen informasi sampe 2,5 petabyte, itu udah lebih dari cukup buat nyimpen informasi yang kompleks dan luas”
Roona sedikit mengangga, sebelum akhirnya mengerjabkan mata untuk kembali pada realita kehidupan. Menganggap Aletha hanyalah gadis seumuran yan memang hanya punya banyak wawasan saja, tidak lebih.
“Pe-peta?”
“Petabyte, 2,5 petabyte setara sama satu juta gigabyte”
Saat Roona mendongak karena kehadiran Khalil yang tiba-tiba, gadis itu justru tak berekspresi seperti biasa. Menurut Roona, Khalil itu jenius dan dia tahu banyak hal. Alias kehidupannya di SMA Samudra ini cukup bisa menyelamatkan nama sekolah. Tapi semenjak kehadiran Aletha, rasanya harga diri Khalil benar-benar dipertaruhkan. Apalagi jika nama itu justru ikut serta dalam setiap perlombaan perwakilan sekolah. Apa tidak jadi keributan karena sebelumnya belum ada yang berani mengalahkan Khalil?
“Gunawan Hariadi tuh siapa?”
“Satpam sekolah kita, terus kenapa dari sekian banyak topik pembicaraan yang bisa kita bahas, lo justru milih nanya soal Pak Gunawan?”
Khalil bersedekap dada, mengamati pergerakan samar pada ekspresi yang Aletha tunjukkan. Benar-benar halus dan sulit untuk ditebak. Berbeda dengan lawan bicaranya yang justru lebih berekspresi dan jiwa penasarannya tinggi. Seperti Wednesday dan Enid, dua kepribadian yang bertolak belakang. Angkasa ada benarnya, bahwa gadis itu seperti Wednesday dikehidupan nyata.
To Be Continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments