03. Lamaran dan Menikah

Sore itu, rumah keluarga Arshanti ramai tak biasa. Aroma masakan memenuhi udara, tawa orang-orang terdengar dari ruang tamu, dan entah kenapa, ibu Nadin terlihat terlalu sibuk dandan.

“Bu, ini acara apa sih? Kayak mau lamaran aja,” tanya Nadin sambil memandangi ibunya yang mengenakan kebaya hijau pastel dan lipstik merah muda.

Rani tersenyum misterius. “Ya siapa tahu memang lamaran.”

“Hah?” Nadin hampir menjatuhkan gelas jus yang baru dia tuang. “Siapa yang mau dilamar? Jangan bilang aku, Bu. Aku baru kerja tiga hari!”

“Ya, kalau rezeki datang cepat, kenapa ditolak?” jawab ibunya santai.

Ayah Nadin, Damar, muncul dari belakang dengan senyum lebar. “Sudah siap, Nad? Nanti Tuan Alexander dan keluarganya datang.”

Nadin membelalak. “Tuan Alexander? Maksudnya ... tetangga sebelah?”

“Iya,” jawab Rani ringan sambil merapikan antingnya.

“Katanya mau ngobrol soal kerjaan Marvin dan rencana perusahaan mereka buka cabang baru. Eh, siapa tahu sambil silaturahmi.”

“Tapi kenapa Ibu dandannya kayak mau resepsi?”

Rani cuma tersenyum penuh rahasia. “Perempuan harus selalu siap untuk kejutan.”

Setengah jam kemudian, suara mobil hitam berhenti di depan rumah. Tuan Alexander keluar lebih dulu, tinggi, karismatik, dengan senyum yang selalu ramah. Di sampingnya, Araya, anggun dalam balutan dress biru muda. Dan tentu saja, Marvin ikut di belakang dengan wajah datar seperti biasa. Begitu pintu dibuka, suasana langsung berubah hangat.

“Wah, keluarga Arshanti! Sudah lama sekali!” seru Tuan Alexander sambil menyalami Damar. “Sayur dari kebunmu masih segar seperti dulu, saya selalu suka.”

“Terima kasih, Tuan. Kalau butuh, tinggal bilang saja,” jawab Damar sopan. “Kami juga senang sekali bisa bertemu lagi.”

Rani datang membawa teh dan kue, sementara Nadin berdiri di tangga, memperhatikan semuanya. Dia bisa melihat bagaimana ibunya tersenyum canggung setiap kali menatap Araya, cemburu kecil yang belum benar-benar padam meski sudah bertahun-tahun berlalu.

“Silakan duduk, Araya,” kata Rani dengan nada setengah ramah, setengah penuh kontrol emosi. Araya membalas senyum lembut.

“Terima kasih, Rani. Aku senang sekali akhirnya bisa main ke sini lagi.”

Marvin duduk bersebelahan dengan ayahnya, menatap lurus ke depan tanpa ekspresi. Namun matanya sempat menatap Nadin sekilas di tangga, pandangan singkat yang entah kenapa membuat jantung Nadin berdebar.

Setelah basa-basi yang terlalu panjang tentang sayur, cuaca, dan kinerja perusahaan, tiba-tiba Tuan Alexander menatap Nadin dengan senyum serius.

“Ngomong-ngomong, Nadin sudah bekerja di perusahaan kami sekarang, ya?”

“Iya, Om,” jawab Nadin sopan. “Masih belajar banyak.”

“Marvin bilang kamu cepat tanggap,” lanjutnya. “Jarang anak muda seperti itu.”

Marvin tersedak pelan. “Saya ... tidak bilang begitu, Pa.”

Tuan Alexander tertawa. “Kau terlalu malu mengakuinya.”

Araya menimpali lembut, “Sebenarnya, kami datang bukan cuma ingin silaturahmi, tapi ... ingin membicarakan sesuatu yang penting.”

Semua orang langsung menatapnya, Damar mengernyit. “Penting seperti apa, Bu Araya?”

 Araya saling berpandangan dengan suaminya, lalu tersenyum hangat. “Kami ingin menjodohkan Marvin dengan Nadin.”

Seketika suasana hening, suara jangkrik mungkin terdengar kalau tak ada Nadin yang spontan berteriak, “APA?!”

Rani menjatuhkan sendok, sementara Marvin langsung menegakkan punggungnya.

“Ma!” serunya pelan tapi tegas. “Kita belum bicara soal...”

Tuan Alexander menepuk bahu putranya dengan lembut.

“Anakku, aku tahu kamu tidak suka kejutan, tapi ini kesempatan bagus. Dua keluarga sudah saling mengenal sejak lama, dan Papa selalu ingin punya anak perempuan. Kalau Nadin jadi bagian keluarga kita, Papa akan senang sekali.”

Rani yang dari tadi menahan diri akhirnya ikut bicara. “Eh, tunggu dulu. Jangan mendadak begini, Tuan. Nadin itu masih muda, baru kerja. Lagian ... masa iya Marvin mau dijodohkan begitu saja?”

Araya tersenyum lembut. “Kami sudah bicara panjang lebar. Marvin tidak keberatan, bukan?”

Semua mata menatap pria itu. Marvin terdiam lama. Tatapannya beralih pada Nadin yang masih melongo dengan wajah merah padam. Ada perasaan campur aduk di matanya, kaget, bingung, tapi juga ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Akhirnya, Marvin berkata pelan, “Kalau itu yang terbaik untuk keluarga.”

Nadin menatapnya tajam. “Kamu serius?!”

Marvin menatap balik tanpa ekspresi. “Aku selalu serius dalam hal keputusan.”

Nadin mendengus, menatap orang tuanya satu per satu.

“Bu, Pak, aku nggak setuju. Aku nggak mau menikah tiba-tiba kayak ini drama China yang viral itu! Aku baru kerja, baru adaptasi, baru...”

“Baru ketumpahan kopi di baju calon suami,” sela Rani sinis.

“Bu!”

Semua tertawa kecil, termasuk Tuan Alexander. “Nadin, ini bukan paksaan. Tapi kami berharap kalian bisa saling mengenal lebih dekat. Kalau ternyata cocok, kita lanjutkan ke pernikahan.”

Seminggu kemudian, dua keluarga kembali berkumpul. Kali ini tanpa basa-basi. Tuan Alexander tampak bahagia, sementara Araya tersenyum lega.

Rani masih sedikit ragu, tapi melihat bagaimana suaminya setuju, ia tak kuasa menolak.

“Nadin, Marvin,” ucap Tuan Alexander pelan, “kalau kalian berdua siap, kita bisa buat pernikahan kecil dulu. Sederhana saja, hanya keluarga.”

Nadin menatap Marvin. “Kamu beneran mau ini?”

Marvin menatap balik, tenang tapi tegas. “Aku tidak pernah melakukan sesuatu setengah hati.”

Dan dengan itu tanpa pesta mewah, tanpa foto viral, hanya dua keluarga dan beberapa saksi, pernikahan itu berlangsung diam-diam.

Nadin mengenakan dress putih sederhana, sementara Marvin mengenakan jas abu-abu muda yang membuatnya terlihat seperti versi ‘bos cool tapi lembut’. Semua berjalan cepat terlalu cepat untuk dicerna

Begitu cincin melingkar di jari manisnya, Nadin masih belum yakin apakah ini nyata.

Malam itu, di luar rumah, setelah semua orang pulang, Nadin bersandar di pagar rumah sambil memegang cincin itu. Marvin berdiri di sampingnya, diam seperti biasa.

“Marvin,” katanya pelan, “aku cuma mau satu hal.”

“Apa?”

“Pernikahan ini ... jangan ada yang tahu dulu. Aku nggak mau jadi bahan gosip di kantor.”

Marvin menatapnya lama. “Kamu malu jadi istriku?”

“Bukan gitu, aku cuma … mau waktu. Kita bahkan nggak sempat saling tanya warna kesukaan satu sama lain!”

Hening beberapa detik, lalu Marvin tersenyum tipis senyum yang jarang sekali muncul.

“Baik, ini akan jadi rahasia kita.”

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Nadin melihat sisi Marvin yang berbeda. Tidak sekaku yang ia kira. Tidak sedingin yang semua orang bilang. Hanya pria yang diam-diam, selama ini, menyimpan rasa jauh sebelum kopi itu tumpah.

Terpopuler

Comments

sum mia

sum mia

sek ....sek.... sek.... ini gimana konsepnya thor , katanya tetangga lima langkah , trus kenapa datang pakai mobil mewah .
trus satu lagi , sebenarnya rumah Marvin depan rumah apa sebelah rumah , beda lho thor....depan sama sebelah 🤭🤭🤭😂😂😂🙏

lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍

2025-10-07

3

Watini Salma

Watini Salma

kok turun dari mobil, bilang nya tetangga , maksud nya gimana ini Thor /Casual/

2025-10-07

1

Eva Karmita

Eva Karmita

suka sama gaya Marvin satset langsung saaaahhh...😍😍

2025-10-06

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!