CAHAYA YANG MENYENTUH LUKA

"Sekarang Max sudah tidur. Bagaimana caraku memindahkannya ke atas ranjang?" tanya Adriano dengan wajah yang bingung.

Jade mendekat lagi. Dia membantu pria itu memindahkan Maximo ke atas ranjang. Namun, tangannya tidak sengaja menyentuh lengan Adriano, membuatnya refleks menarik diri.

"Maafkan aku, Tuan," ucap Jade lirih.

"Ya," sahut Adriano dengan suara yang serak.

Akhirnya, mereka berhasil memindahkan Maximo ke atas ranjang, tanpa membangunkan bayi itu.

Namun, ketika Jade hendak berdiri, keningnya tidak sengaja berbenturan dengan kening Adriano.

Jade mengusap keningnya sambil bergumam pelan. "Kenapa sejak tadi seperti ini?"

Adriano sendiri tak mengatakan apapun. Dia hanya memandang Jade, sambil berdiri dari duduknya.

"Jaga putraku, aku akan kembali ke kamarku," perintahnya.

"Baik, Tuan," jawab Jade.

Adriano menatapnya sebentar sebelum berkata, "Jika kau butuh sesuatu, panggil pelayan. Kau juga tidak boleh kekurangan makan."

"Ya, aku tidak kekurangan makan. Pelayan Anda selalu mengantarkan makanan padaku tepat waktu," ucap Jade. Adriano hanya mengangguk, kemudian melangkah keluar dari kamar itu.

Setelah pria itu meninggalkan kamar tersebut, Jade langsung bernafas lega. Dia duduk di tepi ranjang, menatap Maximo.

Sejenak, ada rasa bersalah dalam hatinya karena merawat bayi lain. Namun, melihat Maximo yang tak memiliki seorang ibu di sisinya, Jade merasa tak tega mengabaikan pria itu.

Tiba-tiba, ponsel yang ada di dalam tas Jade berbunyi. Wanita itu bangkit perlahan dari ranjang dan segera mengambil ponselnya. Nama Eric muncul di layar, membuatnya merasa jengkel.

"Untuk apa dia menelponku?" gumam Jade bertanya.

Jade akhirnya menjawab panggilan itu setelah Eric menelponnya untuk yang ketiga kalinya.

"Lama sekali kau mengangkat teleponku!!" Suara pria itu begitu kasar di ujung telepon.

"Aku sedang sibuk. Kau pikir pekerjaanku sangat santai!?" balas Jade.

Eric berdecak pelan. "Sibuk!? Ingat baik-baik, kau tidak boleh menggoda Tuan Adriano. Jangan sampai dia jatuh cinta padamu! Tugasmu di sana hanya menyusui bayinya!"

"Jangan urus aku. Aku tahu apa yang harus kulakukan di sini," ucap Jade tegas.

"Bagus, jika kau berani bermain gila dengan Tuan Adriano, aku akan membuatmu menyesal!"

Jade tidak menjawab. Dia hendak mematikan panggilan itu. Namun, ucapan Eric menghentikannya.

"Jika ada kesempatan, kau harus manfaatkan untuk mengambil uang Tuan Adriano. Dia sangat kaya, ambil sebanyak-banyaknya!"

"Kau sungguh gila!" sentak Jade. "Aku tidak mau melakukan hal seperti ini!"

"Kau berani membantahku sekarang, hah!? Kau mau—"

Tanpa menunggu Eric selesai bicara, Jade langsung memutuskan sambungan telepon. Dia juga mematikan ponselnya supaya Eric tak bisa menghubunginya sekarang.

Jade duduk di sofa, mengusap kasar wajahnya. "Eric sangat keterlaluan. Dia berani sekali menyuruhku mengambil uang Tuan Adriano? Di mana otaknya!?" gumamnya dengan geram.

Jade lalu memandang ke ranjang, menatap lama Maximo. "Sebenarnya aku penasaran di mana ibunya? Apa sudah meninggal? Atau dia berpisah dengan Tuan Adriano?"

**

Keesokan harinya..

Pagi hari, saat matahari masih memancarkan sinar yang hangat, Jade membawa Maximo jalan-jalan di sekitar taman mansion. Bayi mungil itu berada di dalam stroller, dan tampak senang memandang ke langit.

"Sepertinya kau jarang keluar dari kamar, ya?" tanya Jade dengn lembut.

Mereka berhenti di dekat kolam ikan. Jade menggendong Maximo keluar, lalu berbicara padanya tentang ikan-ikan di kolam.

"Pasti semua ini ikan yang dipelihara oleh ayahmu," katanya. Namun, Maximo hanya merespon dengan erangan halus khas bayi.

"Kita berjemur dulu, ya. Ini tidak panas, mataharinya masih hangat," bisik Jade.

Maximo menyipitkan matanya saat sinar matahari pagi menyentuh wajah mungilnya.

Udara taman terasa segar, membawa aroma bunga mawar yang baru disiram. Burung-burung kecil berkicau di antara pepohonan, dan kini Jade duduk di bangku kayu sambil menggendong bayi itu dengan hati-hati.

"Cahaya pagi tidak menyakitimu, kan?" bisiknya lembut sambil menunduk, membenarkan selimut kecil yang menutupi kaki Maximo.

Bayi itu membuka matanya perlahan, lalu tersenyum samar, seolah memahami suara lembut yang memanggilnya kembali pada dunia.

Pada saat yang sama, Adriano menghampiri mereka. Pria itu terlihat marah karena Jade menjemur bayinya.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau biarkan bayiku kepanasan di sini!?" Suara berat Adriano memecah keheningan di taman itu. Nadanya tajam, penuh kekhawatiran yang terselubung dalam kemarahan.

Namun, Jade hanya menoleh, dia menjawab dengan tenang. "Selamat pagi, Tuan," ucapnya dengan tenang. "Ini bukan panas yang berbahaya untuk bayi. Matahari pagi justru baik untuk bayi. Hanya pada waktu tertentu, antara pukul tujuh sampai sembilan, vitamin D dari sinar matahari membantu menguatkan tulang bayi."

Adriano terdiam sejenak, masih menatapnya dengan sorot mata tajam. Namun, Jade melanjutkan dengan tenang. "Aku tidak akan membiarkan bayi Anda terluka, Tuan. Lihat, aku juga melindungi wajahnya dengan kain tipis ini. Lagipula, aku hanya berhenti sebentar, setelah ini aku akan membawa bayi Anda jalan-jalan di sekitar taman. Bayi juga butuh udara segar, tidak bayi hanya terus berada di dalam kamar yang dilengkapi dengan pendingin ruangan."

Jade lalu menunjuk selimut kecil dan tipis yang menutupi sebagian tubuh Maximo. Bayi itu menguap kecil, tampak sangat nyaman berada dalam pelukannya.

Adriano mengerjap pelan. Nada marahnya perlahan mereda. "Bagaiman kau tahu tentang semua ini? Kau bahkan belum sempat merawat lama bayimu, bukan?"

Pertanyaan itu tentu langsung menusuk ke dalam hati Jade. Sakit, tapi tak berdaya. Dia masih bisa menjawab dengan tenang. "Meskipun tidak merawat untuk waktu yang lama, aku pernah merawatnya beberapa hari. Dulu, aku juga seorang perawat di klinik bersalin. Aku menyukai anak-anak, dan selalu mencari tahu apapun yang terbaik untuk anak kecil."

Ada jeda panjang di antara mereka, yang hanya dihiasi oleh kicau burung yang terbang di atas.

"Maaf," ucap Adriano akhirnya. "Aku hanya khawatir."

Jade menatapnya, lalu tersenyum hangat. "Aku mengerti, Tuan. kekhawatiran Anda bukanlah hal yang buruk. Itu berarti Anda sangat peduli pada bayi Anda."

Adriano menunduk, bibirnya bergerak tapi tak mengeluarkan suara. Dia menatap Maximo yang tertidur di pelukan wanita itu, lalu pada wajah Jade yang diterangi lembut oleh cahaya matahari. Ada kehangatan yang sulit dia ungkapkan saat melihat wajah wanita itu.

Jade lalu meletakkan Maximo ke dalam stroller dengan hati-hati. "Tuan, aku akan lanjut membawa Maximo jalan-jalan."

Adriano hanya menanggapi dengan anggukan. Sedangkan Jade membungkuk kecil padanya sebelum mendorong stroller itu.

"Andai saja istriku seperti dia. Sayangnya wanita yang pernah kunikahi lebih mementingkan kebebasan, dan bermain-main dengan pria lain, mengkhianatiku sampai sesaki ini," gumam Adriano pelan. "Eric benar-benar beruntung bisa memiliki istri yang lembut seperti Jade."

...****************...

Terpopuler

Comments

Ny. Lutolf

Ny. Lutolf

gak papa Adriano kau rebut aja Jade aku ikhlas kok, dari pada sama si kecebong Eric mata duitan itu dia jahat sekali.

2025-10-23

0

yunidarwanti2

yunidarwanti2

𝘚𝘪 𝘌𝘳𝘪𝘤 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘨𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢𝘣 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘣𝘬𝘪𝘯 𝘴𝘢𝘬𝘪𝘵 𝘫𝘪𝘸𝘢 𝘳𝘢𝘨𝘢 𝘑𝘢𝘥𝘦 𝘵𝘶𝘬𝘦𝘳 𝘢𝘫𝘢 𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘥𝘳𝘪𝘢𝘯𝘰 𝘴𝘶𝘢𝘮𝘪 𝘑𝘢𝘥𝘦 𝘱𝘴𝘵𝘪 𝘩𝘢𝘱𝘱𝘺 𝘣𝘨𝘵 deh🤗🤗🤗

2025-10-08

0

yunidarwanti2

yunidarwanti2

𝘪𝘴 𝘥𝘶𝘥𝘢 𝘬𝘶𝘭𝘬𝘢𝘴 10 𝘱𝘪𝘯𝘵𝘶 𝘯𝘪𝘩 𝘫𝘨𝘯 𝘥𝘦𝘣𝘢𝘵 𝘴𝘮𝘢 𝘑𝘢𝘥𝘦 𝘵𝘩𝘶 𝘢𝘱𝘢 𝘺𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶𝘪𝘯 😌😌

2025-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!