Malam itu, Pesantren Al-Ikhlas bersinar lebih terang dari biasanya. Gemerlap lampu hias menghiasi setiap sudut, menciptakan suasana meriah yang berpadu dengan aroma melati dan dupa. Festival Seni dan Budaya Islam tingkat Jawa Timur telah tiba, dan puncak acaranya adalah perlombaan hadroh yang diselenggarakan di panggung utama, lapangan pesantren. Seluruh keluarga besar Al-Hasyimi berkumpul di barisan terdepan, lengkap dengan Kyai Ahmad Ghozali dan Nyai Afiqah, serta kesembilan putra mereka yang kini telah kembali.
Gus Ahmad Hilman Al-Hasyimi, sang sulung yang hari itu berulang tahun, duduk di antara adik-adiknya. Meskipun wajahnya tetap datar, ada sebersit kebanggaan melihat pesantrennya menjadi tuan rumah acara sebesar ini. Gus Salman dan Gus Farhan, yang biasanya dingin dan cuek, tampak ikut menikmati suasana, meski sesekali melirik ke arah panggung dengan tatapan tajam, seolah mencari sesuatu.
Di tengah riuhnya penonton, tidak ada yang menyadari bahwa di balik panggung, seorang gadis dengan wajah pucat namun mata penuh tekad sedang bersiap. Ning Azzahra Ghaniyyah Al-Hasyimi, yang seharusnya masih dalam masa pemulihan di rumah sakit, diam-diam telah melarikan diri beberapa jam sebelumnya. Dengan bantuan seorang teman dekatnya, ia berhasil menyelinap masuk ke area panggung, mengenakan seragam hadroh timnya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena sakit, melainkan adrenalin dan harapan.
"Selanjutnya, penampilan dari tim Hadroh Putri Pesantren Al-Ikhlas!" suara MC menggema, disambut tepuk tangan meriah.
Sorot lampu panggung menyala, menyoroti deretan gadis-gadis berseragam hijau toska yang melangkah anggun. Namun, ada satu sosok yang membuat seluruh keluarga Al-Hasyimi, terutama Kyai dan Nyai, terperanjat. Di posisi paling depan, dengan senyum tipis namun penuh semangat, berdiri Ning Azzahra.
"Azzahra!" bisik Nyai Afiqah, tangannya refleks menutup mulut. Kyai Ghozali hanya bisa menggelengkan kepala, antara terkejut dan sedikit bangga melihat keberanian anaknya. Gus Hilman, Gus Salman, dan Gus Farhan, yang tadinya tegang, kini menatap panggung dengan tatapan tak percaya, bercampur amarah yang tertahan. Bagaimana bisa adik mereka yang masih sakit, berani melakukan ini?
Alunan shalawat menggema, diiringi tabuhan rebana yang rancak. Ning Azzahra memimpin dengan suara merdu dan gerakan yang lincah, seolah tak ada jejak sakit di tubuhnya. Ia menari, melantunkan pujian, dan memancarkan aura yang memukau. Para santriwan dan santriwati, baik dari Al-Ikhlas maupun pesantren lain, bersorak kagum. Para pengagum Ning Azzahra, yang selama ini hanya bisa melihatnya dari jauh, kini terhipnotis oleh penampilannya yang luar biasa.
Namun, di tengah puncak penampilan yang memukau itu, entah dari mana, sebuah kabel listrik di atas panggung terlihat berkedip. Sebuah lampu lighting besar yang menggantung tinggi di atas kepala Ning Azzahra mulai berderit. Tidak ada yang menyadari bahaya yang mengintai, semua mata terpaku pada sang bintang panggung.
Tiba-tiba, dengan suara brak yang memekakkan telinga, lampu lighting itu lepas dari gantungannya. Waktu seolah berhenti. Dalam sepersekian detik, bayangan hitam besar melesat ke bawah, tepat ke arah Ning Azzahra yang sedang melantunkan shalawat dengan mata terpejam penuh penghayatan.
"AZZAHRA!!!"
Teriakan histeris memecah keheningan. Gus Hilman adalah yang pertama bereaksi, bangkit dari kursinya dengan wajah pias. Namun, semuanya terjadi terlalu cepat. Lampu lighting itu menghantam Ning Azzahra, membuatnya terhempas ke belakang, tak sadarkan diri. Darah segar mulai merembes dari kepalanya, membasahi seragam hadrohnya yang indah.
Panggung yang tadinya penuh sorak-sorai kini berubah menjadi lautan kepanikan. Para anggota tim hadroh yang lain berteriak, sebagian menangis histeris. Kyai Ghozali dan Nyai Afiqah bergegas maju, wajah mereka pucat pasi. Gus Hilman, Gus Salman, Gus Farhan, dan semua kakak laki-laki Ning Azzahra menerobos kerumunan, mata mereka memancarkan kemarahan dan ketakutan yang luar biasa.
"Panggil ambulans! Cepat!" teriak Gus Hilman, suaranya menggelegar.
Ning Azzahra segera dilarikan ke rumah sakit. Seluruh keluarga besar Al-Hasyimi, termasuk para santriwan dan santriwati yang menyaksikan kejadian mengerikan itu, berbondong-bondong menyusul. Di mobil, Nyai Afiqah tak henti-hentinya menangis, memeluk kepala anaknya yang bersimbah darah. Gus Hilman menyetir dengan kecepatan tinggi, wajahnya mengeras menahan emosi.
Di ruang gawat darurat, dokter dan perawat bergerak cepat. Keluarga hanya bisa menunggu di luar, dengan hati yang hancur. Kabar pendarahan hebat pada kepala Ning Azzahra membuat semua orang syok.
Para santriwan, terutama mereka yang mengagumi Ning Azzahra, tampak terpukul. Wajah-wajah mereka menunjukkan kesedihan mendalam, tak menyangka bahwa idola mereka akan mengalami nasib tragis seperti itu. Malam ulang tahun Gus Hilman, yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini berubah menjadi malam paling kelabu dalam sejarah Pesantren Al-Ikhlas. Semua orang bertanya-tanya, apakah ini harga yang harus dibayar Ning Azzahra karena melanggar larangan keluarga? Dan bagaimana nasibnya setelah ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments