Cherry berjalan menuju kamar Arnold untuk menyusuinya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat bibir mungil anaknya mulai membiru.
“Arnold…” Cherry segera membangunkannya, tapi bayi itu tidak merespons.
Panik, ia langsung berteriak. “Tolong! Tolong bantu aku!” Ia menggendong Arnold erat dan berlari keluar kamar.
“Nyonya, ada apa?” tanya seorang pelayan kaget.
“Tolong aku, kita harus bawa anakku ke rumah sakit sekarang!” suara Cherry bergetar, wajahnya pucat.
“Ikut saya, Nyonya,” jawab pelayan itu cepat. Ia segera memanggil seorang sopir, dan mereka pun bergegas masuk ke mobil.
***
Sesampainya di rumah sakit, Cherry langsung meletakkan Arnold di ranjang kecil. Para tenaga medis sigap menanganinya.
“Siapa orang tua bayi ini?” tanya seorang perawat.
“Saya, saya ibunya,” jawab Cherry sambil terisak.
“Tolong rawat bayinya, Suster. Dia anak Tuan Trevor,” tambah pelayan.
Mata perawat membelalak. “Anak Tuan Trevor?”
Ia segera melapor pada dokter. “Dok, dahulukan bayi ini. Ini anak Tuan Trevor.”
Dokter langsung bergerak cepat. Arnold dibawa ke UGD.
Cherry menggenggam dadanya. Kalau saja Arnold bukan anak pria itu, apa mereka tetap akan secepat ini menanganinya? Apa nasib anakku kalau begitu?
Air matanya tak berhenti jatuh. Seluruh tubuhnya gemetar menunggu di luar.
“Tenanglah, Bu. Tuan Muda pasti akan baik-baik saja. Saya sudah menelepon Tuan, beliau dalam perjalanan,” ucap pelayan mencoba menenangkan.
***
“Di mana anakku?!” Trevor datang terburu-buru, wajahnya tegang.
“Di dalam UGD, sedang ditangani dokter,” jawab pelayan.
Tak lama, dokter keluar. Trevor dan Cherry langsung menyergapnya dengan pertanyaan.
“Bagaimana kondisi anakku, Dok?” tanya Cherry cemas.
“Bagaimana anakku?” tanya Trevor hampir bersamaan.
Dokter menghela napas. “Tuan Trevor, anak Anda sudah tidak dalam bahaya. Dia mengalami serangan penyakitnya. Sepertinya ada masalah pada darahnya—sangat sensitif. Anda sehat, Tuan, mungkin dia mewarisi ini dari ibunya.”
Cherry membeku. Lututnya lemas hingga ia jatuh terduduk. “Ini salahku… karena aku, anakku jadi sakit-sakitan…” tangisnya pecah.
Trevor membantunya berdiri. “Bangunlah.”
Cherry menatapnya dengan mata merah. “Seharusnya kau marah padaku… menyalahkanku. Karena aku, anakmu jadi begini…”
“Untuk apa? Meski aku memarahimu, tidak akan mengubah apa pun,” jawab Trevor tenang.
Cherry tak mampu menahan diri. Ia langsung memeluknya erat, terisak di dadanya. Dan entah kenapa, ia merasa semakin tidak tahu malu.
***
Sesampainya di rumah, Cherry dan Arnold ikut mobil Trevor, sementara pelayan pulang dengan mobil lain.
Setelah meletakkan Arnold di tempat tidurnya, Cherry mengecup keningnya penuh kasih.
“Pakai ini.” Trevor menyodorkan sebuah ponsel padanya. “Aku bisa menghubungimu kapan saja. Kalau terjadi sesuatu, segera telepon aku. Aku juga sudah menyewa dokter pribadi untuknya. Dia akan memeriksa anakku setiap hari.”
Cherry menggenggam ponsel itu, hatinya hangat. “Terima kasih.”
“Aku pergi,” ujar Trevor singkat lalu meninggalkan kamar.
***
Keesokan paginya, Cherry bangun lebih awal dan langsung mengurus Arnold. Saat itu, Trevor masuk.
“Bagaimana dia?” tanyanya.
“Baik-baik saja. Penyakitnya tidak kambuh,” jawab Cherry lembut.
“Kau tidak perlu khawatir. Dia pemberani dan kuat,” ujar Trevor.
Cherry tersenyum tipis. Semoga Arnold mewarisi keberanian ayahnya, bukan kelemahanku.
“Dia satu-satunya yang kumiliki. Aku tidak akan sanggup kalau dia juga hilang dariku,” ucap Cherry lirih.
“Jadi karena itu kau memilih kabur daripada memberikannya langsung padaku,” sahut Trevor datar.
“Aku kira dia lebih aman bersamaku,” jawab Cherry pelan.
“Anggaplah ini pelajaran untukmu,” kata Trevor. Cherry hanya mengangguk.
**
“Selamat pagi semuanya!” suara riang memecah suasana.
Edwin masuk begitu saja.
“Apa yang kau lakukan di sini, Edwin?” tanya Trevor ketus.
“Aku berkunjung, bro. Aku bawa oleh-oleh untuk anak baptisku,” ujarnya santai.
“Anak baptis?” Trevor mengerutkan kening.
“Ya. Anakmu akan jadi anak baptisku. Jadi, kapan kalian akan membaptisnya?” tanya Edwin penuh semangat.
Cherry menimpali, “Kalau situasi di luar sudah mereda. Saat tidak terlalu berbahaya lagi.”
“Itu bisa bertahun-tahun, Cherry. Bagaimana kalau kita panggil pastornya ke sini saja?” usul Edwin.
“Itu… ide bagus,” jawab Cherry ragu. Sebenarnya, ia ingin Arnold dibaptis di gereja, tapi ia tahu situasi tak memungkinkan.
“Kalau begitu sudah diputuskan. Aku akan bicara dengan pastor. Besok, anakmu akan dibaptis,” ujar Edwin mantap.
“Kalau dia setuju,” Cherry melirik Trevor.
“Tentu saja dia setuju. Siapa yang tak mau anaknya dibaptis?” jawab Edwin percaya diri.
Cherry pun mengangguk.
**
Keesokan harinya, mereka benar-benar membaptis Arnold di gereja. Rencananya semula di rumah, tapi tiba-tiba Trevor membawa mereka ke gereja. Cherry bahagia doanya terkabul.
Kini mereka dalam perjalanan pulang. Trevor menyetir di kursi depan, sementara Cherry duduk di belakang bersama Arnold yang tertidur di pangkuannya. Pengawal mengikuti dengan mobil lain.
Mobil berhenti di lampu merah. Cherry melamun, menatap sekumpulan mahasiswa yang tertawa riang. Aku rindu Kuliah.
Dulu, ia selalu mendapat nilai sempurna dan membuat ayahnya bangga. Ia berjanji menyelesaikan kuliah, itulah sebabnya ia menerima pekerjaan sebagai ibu pengganti Trevor, agar bisa melunasi biaya pendidikan. Ia ingin membalas pengorbanan ayahnya dengan ijazah.
Kini semua janji itu hancur. Tapi Cherry menatap anaknya dengan penuh cinta. Arnold adalah prioritas utamaku, lebih dari masa depan atau cita-cita apa pun.
Saat ia melirik kaca spion, ia mendapati Trevor juga menatapnya.
“Dia masih tidur nyenyak,” ucap Cherry, menebak pikirannya.
“Begitu,” balas Trevor singkat, kembali fokus menyetir.
***
Sesampainya di mansion, Cherry menidurkan Arnold lalu turun untuk minum. Ia terkejut menemukan Edwin baru datang dengan banyak kantong belanja.
“Cherry!” serunya sambil berlari menghampiri. Ia menarik Cherry ke ruang tamu.
Trevor datang tak lama, menatap keduanya dengan dahi berkerut.
“Ada apa Tuan?” tanya Cherry bingung.
“Jangan formal begitu. Panggil aku Edwin saja,” ujar Edwin.
“Baiklah,” jawab Cherry pelan.
“Aku agak lama karena beli barang-barang untuk anak baptisku,” Edwin tersenyum bangga.
“Kau tak perlu repot-repot,” kata Cherry.
“Harus! Aku wali baptis pertama dan satu-satunya Baby Arnold Spencer. Jadi ini tugasku,” balas Edwin mantap.
Cherry penasaran. “Apa yang kau beli?”
“Baju dan mainan. Dia pasti suka.”
Cherry menatap kantong belanja itu, hatinya terharu. Banyak sekali untuk anakku. “Terima kasih.”
“Akhirnya kau tersenyum juga,” kata Edwin.
“Itu bukan hal besar,” sahut Cherry.
“Kau lebih cantik kalau tersenyum. Sering-seringlah begitu. Siapa tahu Trevor jatuh hati padamu,” godanya.
“Itu bukan prioritas bagiku,” balas Cherry datar.
“Kalau begitu, jadi pacarku saja,” Edwin semakin menggoda.
“Aku sudah punya anak,” jawab Cherry.
“Tapi belum punya suami,” Edwin tersenyum nakal.
“Apa yang kau lakukan di sini, Edwin?” suara dingin Trevor memotong.
“Aku bawakan sesuatu untuk anakmu. Lihat? Aku wali baptis yang bertanggung jawab,” Edwin terkekeh.
“Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Pergi dari rumahku,” perintah Trevor tegas.
“Sebentar, bro. Aku mau ngobrol sama Cherry dulu,” elak Edwin.
“Ngobrol atau merayu? Rumahku bukan tempat merayu. Pergi sekarang sebelum kutendang keluar,” ancam Trevor.
Edwin mengangkat tangan tanda menyerah. “Baiklah, aku pergi. Cherry, jangan senyum ke Trevor, ya. Simpan senyummu untukku.”
Cherry tak bisa menahan senyum tipis.
Setelah Edwin pergi, Cherry melirik Trevor yang juga menatapnya. Saat Trevor berbalik hendak pergi, Cherry memanggilnya.
“Boleh aku keluar sebentar? Mau ambil barang-barang penting di rumah.”
“Seperti apa?” tanya Trevor.
“Pakaianku. Selama ini aku hanya pinjam dari pelayan.”
Trevor menatapnya sebentar, lalu berucap singkat. “Ikut aku.”
Cherry menurut hingga mereka tiba di kamar Trevor.
“Apa yang kita lakukan di kamarmu?” tanya Cherry heran.
“Di atas meja kecil itu ada kantong belanja,” jawab Trevor.
Cherry menoleh. Benar, ada beberapa kantong mewah di sana. Ia mendekat dan membukanya satu per satu.
Pakaian. Celana pendek. Dan… pakaian dalam.
Cherry menelan ludah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments