“Aku mohon padamu… lindungi anakku,” pinta Cherry pada Trevor.
Mereka berdiri di luar kamar Arnold. Bayi itu sudah tertidur lelap, jadi mereka memilih keluar agar tidak mengganggunya.
Trevor menatap Cherry yang menunduk, bahunya bergetar menahan tangis. “Apa?” tanyanya dingin.
“Setelah kau menyerbu rumahku kemarin, ada kelompok lain yang juga datang. Awalnya kukira mereka anak buahmu, tapi ternyata bukan. Mereka mengincar anakku… mereka ingin membunuhnya. Mungkin kalau kau tidak datang duluan, anakku sudah dibawa pergi.” Cherry menahan sesak di dadanya, air matanya jatuh. “Aku tidak bisa melindunginya, jadi kumohon… lindungi dia untukku.”
Trevor sempat terpaku. Dari cara Cherry bicara, terlihat jelas betapa masih mudanya ia. Menjadi ibu muda memang bukan perkara mudah.
“Sial!” umpat Trevor saat Cherry tiba-tiba limbung dan pingsan. Ia sigap menangkapnya, lalu menggendong tubuh rapuh itu ke kamar kosong dan segera memanggil dokter.
Beberapa menit kemudian, dokter datang dan langsung memeriksa Cherry.
“Tuan Trevor,” ujar dokter serius. “Kondisinya tidak baik. Ia kelelahan, stres berat, dan itu membebani tubuhnya. Luka-lukanya juga mulai terinfeksi, memengaruhi darahnya yang sensitif. Apakah Anda tahu ada sesuatu yang disuntikkan padanya?”
Trevor terdiam. Itu pasti obat tidur yang kemarin ia perintahkan.
“Tubuhnya bereaksi cepat terhadap obat berbahaya. Untung segera ditangani. Kalau terlambat, bisa fatal. Bahkan infeksi kecil saja membuatnya sulit bernapas,” jelas dokter.
“Dia baik-baik saja sekarang, kan, Dok?” tanya Edwin, yang ikut menonton dari belakang.
“Ya, kondisinya stabil. Tapi dia harus benar-benar istirahat,” jawab sang dokter.
**
Cherry terbangun. Langit-langit putih menyambut pandangannya. Ia sadar ada alat medis terpasang di tangannya. Panik, Cherry buru-buru melepaskannya dan bangkit. Ia berjalan menuju kamar Arnold dengan langkah lemah, membuka pintu perlahan agar tidak membangunkannya.
Cherry mendekat, menyentuh wajah mungil putranya.
“Nak… maafkan Mama. Mama tidak bisa menepati janji untuk melindungimu. Mama terlalu lemah. Kau akan lebih aman di tangan ayahmu daripada di tanganku,” bisiknya lirih, sambil terisak.
Dengan sisa tenaga, Cherry bangkit dan berjalan keluar kamar. Meski tubuhnya sakit, ia tak menoleh lagi. Kalau ia menoleh, hatinya akan hancur berkeping-keping. Ia harus kuat, demi anaknya.
Setiap kali ia teringat mimpinya, sedikit ketenangan datang—meski pahit.
[Mimpi]
“Lepaskan anakku! Kumohon, kembalikan dia padaku!” Cherry berteriak histeris pada pria yang menggendong Arnold.
Anaknya menangis kencang, wajah mungil itu penuh ketakutan. Hati Cherry tercabik melihatnya.
“Hahaha…” tawa pria itu seperti iblis.
“Tenanglah, Nak… Mama akan menyelamatkanmu,” Cherry berusaha menenangkan putranya.
“Hahaha, semangatmu kuat juga ya? Mari kita lihat… apakah semangatmu masih sekuat ini setelah aku melakukan ini.”
Suara tembakan memekakkan telinga. Dunia Cherry seakan berhenti.
Tidak!
Pria itu melempar Arnold ke lantai. Cherry berlari secepat kilat, berhasil menangkap tubuh kecil itu.
“Arnold? Nak, bangun… Mama di sini. Jangan tinggalkan Mama…” Cherry menangis memeluk putranya yang berlumuran darah.
“Terima kasih, perempuan,” ucap pria itu dingin. “Karena kau yang menggendong bayi itu, pekerjaan kami jadi lebih mudah. Kalau Trevor yang melakukannya, akan lebih sulit. Jadi, terima kasih.”
Ia tertawa, lalu menghilang.
[Kembali ke kenyataan]
Setiap kali mimpi itu kembali, Cherry semakin yakin—meninggalkan Arnold bersama Trevor adalah keputusan terbaik. Ia tidak bisa menjamin keselamatan anaknya.
Aku ibu yang tidak berguna.
Cherry hanya berharap satu hal: semoga Trevor tidak memperlakukan Arnold hanya sebagai pewaris. Anaknya pantas dicintai. Meski ia tidak ada, semoga Arnold merasakan cinta itu dari ayahnya.
***
“Apa yang kau lakukan di luar?” suara dingin itu menghentikan langkah Cherry. Ia tahu, itu suara Trevor.
“Aku akan pergi,” jawab Cherry tanpa menoleh.
“Hadap aku. Aku tidak suka orang bicara tanpa menatapku.”
Cherry menghela napas, lalu menoleh. “Aku akan pergi,” ulangnya.
“Kau mau pergi dalam kondisi begitu?” Trevor menatapnya tajam.
“Aku sudah baikan,” jawab Cherry singkat.
“Kau meninggalkan dia?”
“Kalau itu yang terbaik untuk anakku, akan kulakukan. Aku tidak bisa melindunginya, jadi kuserahkan padamu.”
“Kau meninggalkannya begitu saja?”
“Kalau itu yang terbaik untuknya.”
“Meski itu menyakitimu?”
Cherry mulai kesal. “Kenapa kau terus bertanya? Bukankah kau juga ingin aku menjauh? Jadi biarkan aku pergi.”
“Kenapa memilih pergi daripada tinggal?”
“Karena kau ingin aku pergi. Kau urus anakku. Jadi berhenti bertanya!”
“Kalau begitu berhenti menjawab pertanyaanku,” balas Trevor cepat.
“Aku tidak bisa. Itu masalahku,” sahut Cherry keras kepala.
“Tsk.” Trevor menatapnya tajam. “Kau tidak perlu pergi. Tinggallah di sini. Rawat anakku.”
Cherry terdiam. Ia menatap Trevor lekat-lekat. Dia serius?
“B-benarkah?” tanyanya terbata.
Trevor mengangguk.
Tanpa bisa menahan diri, Cherry langsung memeluknya erat. Trevor sempat terkejut, tubuhnya kaku, tapi Cherry segera melepas pelukan itu dan berlari kembali ke kamar Arnold.
Bayi itu menangis dalam gendongan pelayan. Cherry segera mengambilnya.
“Saya kira Ibu sudah pergi. Kami tak menemukan Ibu di kamar. Saya benar-benar mengira Tuan Muda akan kasihan,” ucap pelayan itu lega.
Cherry menatap putranya lembut. “Tenanglah, Nak. Mama tidak akan meninggalkanmu lagi, oke?”
Arnold pun kembali tenang dan tertidur. Cherry meletakkannya di tempat tidur, menyelimuti tubuh kecil itu.
Tak lama, seorang pelayan mengetuk pintu. “Nyonya, Tuan memanggil Nyonya. Katanya Nyonya diminta datang ke ruang makan.”
Cherry terdiam. Apa dia berubah pikiran? Apa dia akan mengusirku lagi?
Dengan hati berdebar, ia menuju ruang makan. Trevor sudah duduk, menatapnya dengan dahi berkerut.
“Majulah. Duduk,” perintahnya.
Meski gemetar, Cherry menurut dan duduk berhadapan dengannya.
“Kenapa kau memanggilku?” tanyanya hati-hati.
“Makan.” Trevor menjawab singkat.
Cherry tidak punya pilihan selain makan. Kebetulan perutnya memang kosong sejak kemarin. Selama ini ia hanya memikirkan Arnold.
Saat hampir selesai, Cherry memberanikan diri menatapnya. “Tidak ada yang mau kau katakan?”
Trevor balik menatap. “Apa yang kau harapkan?”
“Kalau kau akan mengusirku…” Cherry menunduk.
“Kenapa kau pikir aku akan berkata begitu?”
“Mungkin… kau berubah pikiran. Lagipula kau moody,” jawab Cherry jujur.
“Apa?” Trevor menyipitkan mata.
“Benar kan? Tadi kau marah, lalu tiba-tiba baik.”
“Tsk. Aku bukan orang yang menarik kembali ucapannya. Mari kita bicara tentang anakku. Kita buat kesepakatan.”
“Jangan suruh aku memilih antara uang atau anakku. Aku tidak akan menukar anakku dengan apapun. Kalau memang demi kebaikannya, lebih baik kuberikan dia padamu dengan sukarela. Aku tak butuh bayaran.”
“Bukan itu,” Trevor menghela napas panjang. Kesabarannya jelas diuji. “Kesepakatannya lain. Kau tinggal di rumah ini. Rawat anakku dengan baik. Kau tidak boleh keluar, apalagi dengan anakku, tanpa izinku. Kalau butuh sesuatu, minta padaku. Jelas?”
Cherry terdiam. Kalau aku menurut, apa dia tidak akan memisahkan kami lagi? Perlahan ia mengangguk.
“Aku bekerja setiap pagi, pulang jam sembilan atau sepuluh malam,” ujar Trevor, lalu kembali melanjutkan makannya.
**
Keesokan harinya, Trevor bangun pagi dan bersiap berangkat kerja. Ia melewati kamar anaknya, membuka pintu pelan.
Arnold tertidur pulas di ranjang. Cherry, yang duduk di kursi, ikut terlelap sambil tetap menjaga anaknya.
Trevor mendekat dan menepuk bahunya, tapi Cherry tidak bangun. Akhirnya, tanpa banyak pikir, Trevor menggendongnya dan membawanya ke kamarnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments