3

“Tuan, maafkan Saya. Tapi Tuan Muda tidak mau minum susu. Sejak tadi malam dia menolak minum dan terus menangis. Jika Tuan Muda terus tidak makan… mungkin… maafkan Saya, Tuan,” lapor seorang pelayan dengan kepala tertunduk.

Trevor segera bangkit dan melangkah cepat ke kamar anaknya. Saat tiba, ia mendapati Arnold menangis keras.

“Tuan, Tuan Muda masih belum mau makan. dia menolak susu,” ujar pelayan lain, panik.

Trevor meraih botol susu dan mencoba memberikannya pada Arnold, tapi bayi itu terus menggeleng sambil menangis makin kencang.

“Sialan! Kau harus makan atau kau akan mati!” bentak Trevor, frustrasi. Namun tangisan Arnold sama sekali tak berhenti.

“T-Tuan… mungkin Tuan Muda sudah terbiasa disusui langsung oleh ibunya,” usul salah seorang pelayan ragu.

“Kalau begitu, susui dia!” perintah Trevor garang.

Seorang pelayan wanita maju dan mencoba menyusui Arnold, tapi bayi itu tetap menolak. Akhirnya ia menyerah dan mengembalikannya ke tempat tidur.

“Tuan Muda tetap tidak mau,” lapor pelayan itu cemas.

“Jadi kau mencoba bunuh diri dengan kelaparan, hah?” geram Trevor pada bayinya.

“Tenang, bro.” Suara lain tiba-tiba terdengar. Edwin, sahabat Trevor, muncul dengan senyum santai. “Mungkin anakmu sudah terbiasa dengan ibunya sendiri. Ayahnya pintar, ibunya pintar, jadi anaknya jelas pintar juga. Bayi ini tahu apa yang boleh dan tidak boleh ia minum. Singkatnya, anakmu pemilih. Aku tidak heran sama sekali, karena dia punya keturunan bagus.”

Trevor menggeram rendah. “Sialan! Butuh waktu seharian untuk mencari pengganti ASI buatan yang cocok. Dia tidak makan sejak kemarin! Kalau dia tetap tidak makan hari ini, dia bisa mati. Aku harus menemukan perempuan itu untuk memberi makan anak sialan ini!”

“Tidak perlu. Karena dia sedang dalam perjalanan ke sini,” sahut Edwin santai. “Aku melihatnya di jalan tadi.”

Benar saja, teriakan terdengar dari luar. “Argh, lepaskan aku! Aku di sini untuk anakku! Panggil bos kalian yang iblis itu!”

Trevor segera keluar. “Biarkan dia masuk.”

Cherry muncul, wajahnya penuh amarah dan mata berkaca-kaca. “Di mana anakku?” tanyanya tajam.

Trevor memberi isyarat. Seorang pelayan segera membawa Arnold keluar.

“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Trevor dingin.

Cherry melempar dua tas ransel ke hadapannya. Trevor mengerutkan dahi.

“Lima miliar. Tidak kurang sepeser pun. Aku mengembalikan uangmu, jadi kembalikan anakku,” ucap Cherry tegas.

“Kau pikir aku orang bodoh?” balas Trevor sinis.

Cherry segera membuka tas-tas itu. “Hitunglah. Itu tepat lima miliar. Jadi tolong… kembalikan anakku.”

Edwin melangkah maju dengan senyum ramah. “Ehem, hai nona cantik… Cherry, kan namanya? Kenapa tidak duduk dulu, tenangkan dirimu? Jangan buat suasana tegang di Masion megah temanku ini.”

Cherry menatapnya penuh harap. “Kau temannya? Tolong… bujuk dia untuk mengembalikan anakku.”

“Duduklah dulu. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin,” ujar Edwin lembut.

Akhirnya Cherry duduk. Trevor pun menuruti Edwin dan ikut duduk di sofa seberang.

“Bawa anakku keluar,” pinta Cherry.

Pelayan masuk dengan menggendong Arnold. Bayi itu langsung berhenti menangis begitu melihat Cherry dan mengulurkan tangan mungilnya. Hati Cherry meledak dengan rasa haru.

“Arnold Spencer… anakku,” bisiknya gembira. Ia hampir meraih Arnold, namun pelayan menyerahkannya pada Trevor.

“Dia berhenti menangis, ya?” celetuk Edwin pelan.

“Uangmu sudah ada di sana, jadi kembalikan anakku,” pinta Cherry lagi.

“Tidak.” Jawaban Trevor tegas dan dingin.

Cherry menghela napas. “Aku hanya ingin anakku. Kami akan pergi jauh, aku janji takkan pernah muncul lagi di hadapanmu.”

“Aku juga menginginkannya. Dia pewarisku,” jawab Trevor keras.

“Kau bisa mencari ibu pengganti yang lain,” balas Cherry putus asa.

Edwin tersenyum miring. “Iya juga sih… bisa.”

Trevor melirik tajam hingga Edwin buru-buru diam.

“Aku bisa carikan ibu pengganti baru untukmu. Aku akan lakukan apa saja, asal kembalikan anakku,” pinta Cherry lagi.

“Tidak.”

“Bagaimana kalau kalian berdua saja yang membesarkan anak itu?” usul Edwin tiba-tiba.

Trevor dan Cherry sama-sama mengerutkan kening.

“Apa maksudmu, brengsek?” bentak Trevor.

“Bodoh! Maksudku begini, kenapa kalian harus berebut? Bayi ini butuh kalian berdua. Cherry, kau tahu tidak, anak ini sejak kemarin malam tidak mau minum apapun? Dia hanya mau ASI-mu. Itu artinya dia butuh kau. Dan Trevor bayi ini juga butuh perlindunganmu. Semua musuhmu sudah tahu bayi ini pewarismu, jadi mereka akan memburunya. Dia butuh kalian berdua. Jadi, bersatulah demi anak ini.”

Cherry menatap Trevor dengan emosi campur aduk. “Jadi maksudmu… anakku tidak makan sejak kemarin malam? Kau tidak memberinya makan?”

“Dia tidak mau makan! Apa yang harus kulakukan?” balas Trevor sengit.

“Trevor, berikan dia pada Cherry. Biar dia bisa menyusui bayinya,” bujuk Edwin.

Akhirnya Trevor menyerahkan Arnold pada Cherry. Tangis bayi itu langsung mereda di pelukan ibunya.

“Baby Arnold… mama sudah di sini,” ucap Cherry penuh kasih.

“Kenapa Arnold?” Edwin menggoda.

“Karena dia malaikatku,” jawab Cherry.

“Itu cringe sekali,” komentar Trevor.

“Arnold… kedengarannya bagus,” Edwin terkekeh.

“Tsk. Cepat susui dia!” perintah Trevor ketus.

“Di sini?” Cherry melirik sekeliling, merasa canggung dengan banyak pria yang memperhatikan.

“Bi, antar Nona Cherry ke kamar Baby Arnold." Edwin memberi instruksi pada pelayan.

Cherry pun pergi bersama pelayan itu. Sementara itu, Trevor memanggil anak buahnya. “Kau memukulnya?”

“Tidak, Bos. Kami hanya menyuntiknya dengan obat tidur seperti perintah Anda,” jawabnya.

Trevor mengerutkan dahi. Kalau begitu, dari mana luka di wajahnya?

“Kasihan sekali gadis itu,” celetuk Edwin. “Dia baru dua puluh tahun, masih mahasiswa. Kau dua puluh tujuh, bro. Selisih tujuh tahun. Dari sekian banyak perempuan, kenapa harus dia? Memang cantik dan seksi, tapi tetap saja terlalu muda.”

“Seolah aku punya pilihan?” dengus Trevor.

“Tapi aku kagum padanya. Dia berani menentangmu, bro. Perempuan lain pasti sudah gemetar. Anak muda sekarang biasanya memilih aborsi demi menjaga nama baik, tapi dia tidak. Dia mempertahankan bayinya. Dan lihat, dia bahkan memilih bayinya daripada uang lima miliar! Aku sendiri bisa hidup tenang selamanya dengan uang segitu. Eh… boleh tidak uangnya buat aku saja?” candanya.

“Kau itu miliarder, brengsek! Diam, atau akan kutendang keluar sekarang juga!” bentak Trevor.

“Santai, bro. Aku bahkan barusan menolongmu. Dan ini balasannya?” Edwin mendengus kesal.

“Memangnya aku minta?”

“Minimal resort satu lah… atau mobil.”

“Kau punya uang sendiri. Pergi sebelum kulempar bola matamu ke luar!” ancam Trevor.

“Baiklah, baiklah. Tsk, tidak tahu terima kasih,” gumam Edwin sambil pergi.

Trevor akhirnya menuju kamar bayinya. Saat membuka pintu, ia mendapati Cherry tertidur di ranjang sambil masih menyusui Arnold. Wajahnya tampak lelah, namun kecantikannya tetap terpancar, bahkan makin menyentuh hati.

Arnold membuka mata, menatap Trevor, lalu tersenyum kecil. Trevor memberi isyarat agar bayi itu tetap diam. Ia perlahan mengulurkan tangan untuk mengambil Arnold, namun Cherry tiba-tiba menggenggam tangannya erat.

“Jangan sakiti anakku,” ucapnya lirih, tapi penuh ketegasan.

Mata Cherry memohon, sekaligus menantang. Seolah bersujud tanpa benar-benar berlutut, ia hanya ingin satu hal: jangan sampai Trevor menyakiti darah dagingnya.

Trevor berdiri tegak. Cherry akhirnya melepaskan genggamannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!