Tangan Ajeng menggantung di udara. Dia meremas tangannya sendiri dengan perasaan sakit luar biasa.
“Apa mau di ji lat aja, hem?”
Tak hanya satu tangan Ajeng yang mengepal sempurna, tapi keduanya sudah siap menghantam dua sejoli di dalam sana. Sialnya, suara yang menyakitinya itu, juga semakin meningkatkan gai rahnya.
“Apa kamu berniat three--some dengan mereka?”
Suara berat seseorang mengalihkan perhatian Ajeng.
Tapi, karena dia sudah tahu siapa gerangan, Ajeng tak mau menoleh.
“Mas Doni!” Pekik pelan Ajeng, berniat mencari bantuan Doni.
“Doni asisten suamimu, hem?” Tanya Biantara santai, menghentikan pergerakan Ajeng. “Dia sedang mengobrol dengan asistenku.”
Merasa tak tahu lagi harus bagaimana, tiba-tiba Ajeng berjongkok dan menangis.
“Ibu…. Huhuhu…”
Menghela nafas panjang, Biantara ikut berjongkok. Lelaki itu ingin menyentuh Ajeng, tapi Ajeng mengelak lagi.
“Jangan sentuh saya! Huhuhu…”
“Kamu bisa mati, Ajeng.”
“Sebentar lagi, Mas Rendy pasti udah selesai.”
“Jangan tolol jadi perempuan. Memangnya, kamu nggak jijik dengan suamimu, hem? Dia baru saja menyentuh madumu. Kamu menangis disini saja dia tidak keluar. Padahal, seharusnya dia mendengarmu."
Ajeng menutup telinganya, tak mau mendengar provokasi Biantara. Wanita itu berlari menuju kamarnya, tapi sialnya Biantara masih mengikutinya dengan santai.
Ya, langkah sulit Ajeng, tak ada apa-apanya dibanding langkah lebar Biantara yang santai namun pasti.
Sampai di kamarnya, Ajeng membuka pintu kamarnya dengan susah payah. Namun, Biantara langsung mengambil kartu di tangan Ajeng dan membantunya.
“Sudah ku bilang, kamu tidak bisa sendiri, Ajeng.”
Ajeng terkejut. Dia hampir berteriak, tapi Biantara lebih dulu membekap mulutnya dan mendorong wanita itu masuk.
“Jangan sentuh saya!” Ajeng berteriak saat berhasil lolos dari bekapan tangan Bian.
“Jangan berteriak kalau kamu nggak mau malu.” lelaki itu mengungkung Ajeng di balik pintu.
“Keluar dari sini, Pak! Saya mohon!” Ajeng mulai menyerah. Dia hanya bisa menangis dengan penampilan yang sudah kacau.
Rambutnya acak-acakan, dengan keringat dan air mata bercampur jadi satu.
“Aku bisa membantumu, Ajeng.” lirih Biantara menyentuh ringan pipi Ajeng yang hampir tak punya tenaga untuk memberontak.
Ajeng hanya bisa menggeleng semakin lemah.
“Kamu cantik sekali. Tapi, kenapa suamimu bodoh menduakanmu?”
Merasa otaknya hampir gila, Ajeng menangkap tangan Biantara.
“Pergilah, Pak. Saya nggak apa-apa kalau harus mati.” Suara Ajeng hampir tak terdengar.
“Aku tidak akan membiarkan itu terjadi, Ajeng.”
Tanpa aba-aba, Biantara menci um bi bir Ajeng, hingga wanita itu terkejut. Sialnya, sekuat apapun dia menolak, tubuhnya justru menyukai itu.
“Apa ini lebih baik, hem? Bi birmu manis sekali.”
Ajeng merasa tak sanggup lagi. Sentuhan ringan dan suara Biantara—bohong kalau tidak membuatnya goyah.
“Sekali-kali melakukan kesalahan tidak apa-apa, Ajeng. Kamu ingat kan sudah berapa banyak kesalahan yang Rendy lakukan?”
“Berhenti bicara!” Lemah Ajeng.
“Aku mengatakan yang sebenarnya. Kalau Rendy tidak menyakitimu, pasti kamu tidak ingin meminta cerai.”
“Jangan ikut campur urusan saya, Pak!”
“Aku bisa bantu kamu lepas dari Rendy. Dia nggak mau kalian bercerai kan?”
“Jangan mengada-ada. Anda nggak tahu masalah saya.”
“Aku akan tahu kalau kamu cerita, sayang.”
“Anda benar-benar laki-laki mengerikan, Pak Biantara. Saya ini wanita bersuami. Saya nggak nyangka anda seperti ini.”
“Ya. Katai aku sesukamu, Baby. Tapi, jangan lupakan niat baikku ingin membantumu.”
“Anda tidak membantu. Tapi, anda memanfaatkan saya.”
“Kita saling memanfaatkan." Ralat Biantara." Aku yakin, kamu juga membutuhkanku.”
“Akh! Lepaskan tangan anda, Pak!” Sialnya, Ajeng malah mendesah.
“Apa ini enak, Ajeng?” Biantara menyentuh da da wanita itu dengan gerakan lembut.
“Anda brengsek, Pak Bian. Engh…” parahnya, Ajeng tak berusaha menjauhkan tangan itu.
“Aku bisa lebih brengsek dari ini.”
Biantara kembali menyerang Ajeng dengan ciu man. Ajeng sendiri sudah sangat kesulitan berperang dengan tubuhnya sendiri. Bahkan, otaknya saja hampir tidak bisa berpikir jernih.
“Balas aku, Ajeng. Aku yakin, kita akan sama-sama senang setelah ini.”
Ya, katakanlah Ajeng sudah hilang akal. Wanita itu benar-benar menuruti apa kata Biantara. Ajeng benar-benar membalas ciu man laki-laki itu dengan sangat bar-bar.
Merasa Ajeng sudah lepas kendali, Biantara mengimbangi. Dia juga menyentuh Ajeng dengan menggebu.
Dua orang itu, seperti sedang kehausan yang tak kunjung puas. Ciu man mereka ganas, sentuhan mereka cukup kasar.
Ya, apalagi kalau bukan karena pengaruh obat di tubuh Ajeng. Sementara Biantara, hanya sedang terpengaruh oleh rang sangan wanita itu, ditambah dengan rasa penasarannya kepada Ajeng. Perpaduan itu, membuat pria itu semakin membara.
“Tu buhmu indah, Sayang. Aku menyukainya.” Bisik Biantara di sela cum buannya.
“Jangan membual, Pak Bian. Cukup lanjutkan saja! Saya tidak percaya sama laki-laki manapun.”
“Baiklah… tapi, aku tidak berbohong. Kamu memang cantik sekali.”
Ajeng memilih tak menanggapi Biantara. Namun, dia membiarkan lelaki bangsat itu menyentuhnya, sementara dia menikmati seluruh rasanya.
Semua terasa menyenangkan, memabukkan dan menggemaskan. Hingga entah sudah berapa lama mereka beradu kehangatan, pakaian mereka sudah tanggal tak bersisa.
“Siap-siap, Ajeng. Rasakan bedanya dengan suamimu.”
“Akh, Pak. Sakit!”
“Maafkan aku. Dia hanya butuh beradaptasi dengan milikku. Dia sem pit sekali, sayang.”
“Bergeraklah, Pak. Jangan menyiksaku!” Ajeng menggelengkan kepalanya frustasi.
“Baiklah, aku anggap ini sebagai perintah.”
“Ah, Pak Bian…”
“Ya, sebut namaku, Baby. Aku menyukainya.”
*
Drrrttt drrrttt drrrttt.
Ajeng mengerjapkan matanya malas, saat sayup mendengar suara getaran ponsel entah dimana.
Semula, wanita itu hanya menyadari rasa remuk di badannya saja, tanpa berpikir macam-macam.
Ya, menurut Ajeng, rasanya dia seperti baru saja naik gunung, ditambah lari maraton, dan melakukan gerakan push up, sit up, squat jam dalam waktu satu hari full tanpa jeda.
Intinya dia lelah dengan badan pegal-pegal semua.
“Ya, dia masih sama gue. Kenapa?”
Barulah, saat dia mendengar suara seorang lelaki sangat dekat dengannya, Ajeng terkejut yang disusul rasa panik.
Hampir saja Ajeng terjatuh dari ranjang karena gerakan spontannya, untung saja, Biantara sigap menariknya hingga masuk ke dalam dekapan.
Rupanya, posisi tidur mereka memang menempel sejak tadi, tapi hanya berada di sisi ranjang bagian Ajeng saja. Jadi, pantaslah jika bergerak sedikit saja, Ajeng bisa terjatuh.
“Berhati-hatilah, sayang. Tidak perlu terkejut seperti itu.”
Ajeng melotot sempurna mendengar perkataan santai Biantara.
Dia memang sudah menyadari semuanya, makanya dia panik dengan panggilan sayang Biantara kepadanya. Terlebih, dia tahu Biantara sedang menerima panggilan entah dari siapa.
Tapi, apa Bian peduli? Tentu saja tidak. Lelaki itu tetap mendekap Ajeng tanpa rasa bersalah, tapi juga masih berbicara santai dalam sambungan teleponnya.
“Ya, bilang sama Rendy kita ketemu jam 11 saja.”
Kepanikan Ajeng semakin menjadi saat mendengar nama suaminya disebut. Tiba-tiba, Ajeng cemas bagaimana kalau tiba-tiba, Rendy mencari ke kamarnya.
“Lepasin saya, dan cepat pergi dari sini.” Ajeng meronta.
Rupanya, gerakannya yang semakin kencang, membuat Biantara terganggu.
“Oke, Nu. Lo bilang aja gitu sama Rendy. Gue mau nanganin wanita nakal ini dulu karena dia sulit sekali diatur.” Kata Biantara dengan santainya, kemudian menutup panggilan.
"Anda benar-benar tidak tahu malu, Pak!" Teriak Ajeng.
“Ayolah, Baby. Tidak perlu berlebihan seperti itu.”
“Lepaskan saya!
“Tenanglah, Ajeng. Jangan terlalu banyak bergerak. Sepertinya, milikmu terluka karena tidak sebanding dengan milikku.”
“Omong kosong! Jangan terlalu percaya diri! Saya sudah terbiasa dengan hal semacam itu.”
“Tapi, kamu sangat menikmati semalam, Ajeng.”
“Itu hanya karena reaksi obat setan itu.”
“Oh, jadi apa hanya aku yang menikmati disini?”
“Ya mungkin saja! Apalagi, anda benar-benar tidak bisa bertahan lama.”
“Kamu mengejekku, hem?” Biantara menghunus tatapan mengerikan.
“Ya. Memang benar kan?” Ajeng mendadak gugup, tapi pendiriannya masih sekokoh karang.
“Kamu kalah di permainan kedua, kalau kamu lupa.”
“Itu karena saya sudah lelah.”
“Tapi, kamu benar-benar agresif, Ajeng. Kalau boleh ku tebak, pasti kamu jarang bermain dengan Rendy.”
“Tidak perlu mencampuri urusan saya! Cukup lepaskan saya sekarang!”
Sialnya, sekuat apapun Ajeng memberontak, tapi dekapan Biantara lebih kuat.
“Tidak perlu buru-buru. Bersihkan seluruh tubuhmu dulu dari jejakku sebelum menemui suamimu.”
"Anda yang harus cepat pergi dari sini!"
"Aku masih lelah."
Ajeng mendadak berhenti memberontak, karena tiba-tiba teringat sesuatu. Dia menatap Biantara, yang juga tengah menatapnya dengan tatapan tak tahu malu.
“Saya tidak tahu apa maksud anda melakukan ini kepada saya, Pak Biantara. Tapi, saya mohon satu hal kepada anda, jangan sampai ada yang tahu apa yang sudah kita lakukan malam tadi, terutama Mas Rendy.” Ajeng terpaksa merendahkan dirinya lagi, demi kebaikannya.
Sayangnya, Biantara hanya menyeringai menanggapi permohonannya.
“Semua ada konsekuensinya, Baby. Menurutlah, kalau kamu nggak mau Rendy tahu apa yang kita lakukan.”
“Jangan mengada-ada, Pak. Saya sudah menyerahkan diri kepada anda. Seharusnya, anda tidak menekan saya lagi.”
“Kenapa, hem?” Karena dekatnya jarak mereka, Biantara hampir mencium Ajeng lagi.
Meskipun sia-sia dia bersikap jual mahal, tapi Ajeng tetap mengelak saat Biantara menyasar bi birnya.
Ya, jelas sia-sia apa yang Ajeng lakukan, karena pada dasarnya, tu buh polos mereka saja masih saling bersentuhan.
“Anda benar-benar tidak tahu diri!” Ajeng geram.
“Tidak masalah apa katamu, yang penting aku senang.”
“Saya bisa melaporkan anda.”
“Kamu pikir saya takut, hem? Saya bisa melakukan apapun, Baby. Hanya laporan saja, tidak akan membuat saya gentar untuk mendesakmu.”
Tatapan tajam Biantara, turun menuju bi bir yang sedang dia sentuh.
"Jadi, menurutlah, Ajeng. Aku janji rahasia kita akan aman kalau kamu mau bekerjasama."
"Dasar manusia brengsek!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments