Suasana ruang makan malam ini sedikit berbeda. Radit bisa merasakannya dengan jelas, suasana makan malam yang memang biasanya tidak pernah diarnai keceriaan, kini terasa lebih buruk dari biasanya. Herman, sang papa terus menatapnya dengan pandangan intimidasi. Walau awalnya bersikap tidak peduli, tapi pada akhirnya Radit terganggu juga.
“What’s wrong?” Radit bertanya sambil menghentikan suapan nasi ke mulutnya.
Mungkin memang pertanyaan itu yang Herman tunggu dari putra sulungnya, karena tiba-tiba saja dengan gerakan santai dia mengeluarkan kertas ulangan Radit bulan lalu yang dapat nilai 20. “Bagaimana hal memalukan seperti ini bisa terjadi?!”
Sedangkan Radit tercengang, dia tidak mengira hasil ujian Matematika yang memang dengan sengaja dia sembunyikan akhirnya sampai juga ketangan orang tuanya.
Herman menarik napas panjang, “Kelihatannya kegiatan melukis kamu sangat mengganggu belajar kamu,” ungkapnya.
“Itu salah!” cepat-cepat Radit mengelak. Dia tidak mau ditengah puncak kesuksesannya dibatasi atau malah dilarang berkarya. “Ini bukan kesalahan aku! gurunya saja yang tidak pernah mengerti keadaan anak didiknya. Memberikan nilai 20 dan tidak melihat prestasi lain yang diberikan anak didiknya!”
“Bagi papa, menjadi pemenang kejuaraan melukis bukan hal yang bisa disebut prestasi!” ucap Herman dingin. “Pulang pergi Surabaya-Jakarta hanya untuk menghadiri wawancara tidak jelas, promosi lukisan dan seluruh hal yang seharusnya kamu fokuskan pada belajar.”
Radit diam, sama sekali tidak menyangkal ucapan Herman, beberapa bulan terakhir ini dia memang sangat disibukkan dengan pulang pergi Surabaya-Jakarta karena berbagai undangan, terutama yang terbanyak adalah berasal dari acara infotaiment yang memang sengaja meliputnya.
Sejujurnya, Radit juga tidak mengerti bagaimana dirinya bisa disejajarkan dengan artis ibu kota dan beberapa kali digosipkan dekat dengan mereka.
“Kamu sudah harus memikirkan masa depan kamu Radit. Melukis tidak akan menjamin masa depan kamu. Menjadi dokter…,”
Belum selesai Herman bicara, Radit dengan cepat memotongnya “Dan bukankah seharusnya papa juga tahu, aku berada dititik ini bukan dengan hanya mengandalkan keberuntungan. Kerja keras dan bakat adalah segala hal dalam pencapaian impian aku sekarang!” ungkap Radit dengan nada yang tak kalah dingin.
“Ada apa dengan kamu? Kenapa susah sekali diatur? Dengar Radit! Tanpa kamu menjadi pelukis atau apalah itu, papa sama bunda masih bisa membiayai kehidupan kamu dan Rafi sampai kalian tua nanti. Tanpa kamu melakukan pekerjaan yang tidak penting seperti ini,” ujar Harman.
“Apa itu artinya papa memaksa kami menjadi dokter seperti papa?”
“Apa kamu pikir papa membangun rumah sakit sampai sebesar ini bukan untuk masa depan kalian? Papa sudah berusaha menyiapkan masa depan yang terbaik untuk kalian!”
“Bukankah seharusnya papa bertanya apa yang aku inginkan saat menyiapkan apa yang berhubungan dengan masa depan aku?!” Radit mulai menaikkan nada bicaranya.
Herman menggeram marah. Dia tahu, pembahasan ini bukan pembahasan pertama mereka dan ini adalah salah satu pembahasan yang sampai detik ini tidak pernah ada jalan tengahnya. “Apa susahnya belajar dengan sungguh-sungguh?!”
Resti. Bunda Radit mengerti, kalau pembahasan ini diteruskan akan terjadi pertengkaran besar ditengah-tengah meja makan. Tapi untuk menghentikanpun dia tidak memiliki keberanian.
“Coba kamu contoh Rafi! Rajin belajar, nilainya tidak ada yang 8, semuanya 9 atau 10,” Harman membatidakan putra bungsunya.
Radit melirik adiknya. Dengan dandanan aneh, kacamata minus tebal bulat mirip kaca mata yang dipakai pemeran utama film Harry Potter, rambut klimis dan selalu bicara dengan gaya sok pintar. Sangat menyebalkan menurut Radit.
“Kutu buku!” gumam Radit sambil membuang muka.
“Papa sudah putuskan,” cetus Herman pada akhirnya.
Radit mengernyitkan dahinya. Bingung. Ada apa lagi ini?!
“Papa sudah menyuruh teman papa mencarikan guru private terbaik untuk kamu dan besok sore dia akan mulai mengajar!”
Radit menatap papanya tidak percaya, “Kenapa mendadak begini? Dan untuk hal sebegini pentingnya bagaimana mungkin aku tidak diajak diskusi terlebih dahulu. Papa tahu sendiri bagaimana sibuknya aku digaleri.”
Herman menarik nafas panjang, berusaha menekan emosi yang kian ingin meledak akibat sikap arogan putra sulungnya. “Private atau tidak ada melukis lagi dalam hidup kamu?”
“This isn’t fair! Aku tinggal Negara bebas, kenapa dipaksa dinegara aku sendiri? Lagi pula, aku tidak akan pernah jadi dokter. Masih ada Rafi, biar dia yang meneruskan rumah sakit papa. Aku lebih nyaman jadi pelukis!”
“Radit!” Herman kembali menggeram menahan amarah.
“Ini bukan hal yang bisa diputuskan dengan cepat, kita bisa memulainya bulan depan atau setelah tahun ajaran baru!” Radit yang mengerti jika dirinya tidak akan menang dalam perdebatan kali ini dan mulai berusaha tawar menawar.
“Ini sudah diputuskan dan papa juga tidak mau mendengar kamu membuat guru private kamu mengundurkan diri atau apa pun yang membuat dia keluar dari pekerjaannya, itu sama artinya kamu juga harus meninggalkan dunia yang sedang kamu agung-agungkan itu!” ancam Herman tegas.
“Radit, sudah sayang! papa sama bunda cuma minta 2 jam waktu kamu untuk belajar,” tutur Resti.
“Iya, tidak pernah belajar sih, makanya dapat 20!” celetuk Rafi.
Radit tidak bereaksi, dia merasa seluruh keluarganya seakan sudah sepakat memojokkan dirinya.
“Besok jam 3 kamu sudah harus sudah siap dirumah!”
“Besok aku ada janji sama calon pembeli lukisan jam 3, Pa. Kenapa mendadak begini?”
“Papa sudah minta Rangga, asisten kamu untuk mengosongkan jadwal kamu disetiap jam khusus private!”
Ini seperti kutukan bagi Radit, membuang waktu untuk belajar adalah sesuatu pemikiran kolot dan membosankan.
Kali ini, bahkan Resti yang biasanya selalu berpihak kepadanya pun kelihatannya setuju dengan Herman.
Tanpa banyak kata lagi, Radit berlalu meninggalkan meja makan, meninggalkan ruang makan yang seperti pembantaian yang terencana baginya.
***
Seperkian detik, Radit menatap gambar tak beraturan dalam lembar lusuh ditangannya, satu gambar tidak jelas dan juga tidak bisa dikatakan gambar abstrak, lebih terkesan seperti gambar kepala singa tak berbentuk.
Sebentar kemudian Radit melirik setoples penuh lollipop dimeja samping ranjangnya, kemudian bergegas meraih satu lollipop dan membukanya kasar. Kebiasaan teraneh Radit, akan tenang dengan hanya makan sebatang lollipop.
Samar-samar, Radit mendengar langkah kaki mendekati kamarnya. Saat semakin yakin seseorang sedang mendekati kamarnya, secepat mungkin Radit memasukkan gambar tak beraturan tadi kedalam kotak kecil kemudian berbaring dan menutup tubuhnya sampai leher dengan selimut tebal, namun saat tersadar dimulutnya masih memakan lollipop, bergegas dirinya melempar lollipop itu ketampat sampah. Disaat seperti ini aksi pura-pura tidur adalah jalan terbaik untuk merendam kedongkalan hatinya.
Seseorang membuka pintu kamar dan duduk disisi ranjang Radit. Tanpa kata orang itu membelai rambut Radit yang memejamkan mata. Sebenarnya Radit tahu betul pemilik tangan itu, namun sepertinya Radit memang sungguh enggan membuka kembali matanya.
“Bunda tahu kamu belum tidur,” ungkap wanita yang ternyata adalah bunda Resti.
Radit sama sekali tidak bergeming, dia masih meneruskan aksi pura-pura tidurnya.
“Masih ingin membohongi bunda?”
Radit mendesah kesal, akhirnya dengan jengah dia bangun juga. “Ada apa lagi, Bun?!”
Resti tersenyum kecil melihat perilaku putra sulungnya. “Kamu tidak kegaleri?”
“Malas!”
“Kok malas? Katanya ingin jadi pelukis terkenal.”
Wajah Radit semakin memberengut kesal, “Sekarang juga sudah terkenal. Lagi pula mana mungkin bisa melukis dengan mood seperti ini!”
“Masih marah?” tanya Resti masih mencoba mengerti putranya.
Radit langsung turun dari ranjang dan membuka lemari es ukuran sedang dikamarnya, mengeluarkan minuman kaleng dan menghabiskannya dalam sekali teguk, cuma dengan harapan dinginnya minuman itu bisa mendinginkan kepalanya. “Aku tidak mau jadi dokter, bunda…” ujarnya sambil duduk disebelah bundanya.
“Biarpun tidak jadi dokter, kamu tetap harus pintar kan?” tanya Resti dengan sabar, mencari pengertian putranya.
“Kenapa yang ada dirumah ini semuanya harus? Bagi aku, papa adalah orang tua yang paling tidak masuk akal dan suka memaksa putranya!”
Jiwa muda! Pikir Resti sambil tersenyum melihat tingkah putra pertamanya.
Sesekali Radit melirik handphone nya yang sudah entah berapa ratus kali bergetar. Dari Rangga. Dia pasti bingung mencari pemilik galeri yang menghilang.
“Rangga pasti bingung gara-gara kamu tiba-tiba tidak ada kabar!”
“Kita tidak sedang membahas Rangga bun, bunda merasa tidak sih? Papa itu terlalu dictator, memaksa kehendak sendiri tanpa peduli orang lain.”
Resti menggeleng keras, “Kamu salah, sayang! Papa bukan orang seperti itu, ini kan demi masa depan kamu juga,” Resti berusaha meluruskan.
“Bukannya kak Radit dari dulu bodoh ya bun?!” sahut Rafi yang entah dari kapan sudah bersandar pada pintu Radit.
Anak kelas 3 SMP ini memang hampir tidak pernah akur dengan kakaknya.
“Mahluk aneh dari planet Mars seperti kamu mana faham yang namanya seni?!” ejek Radit.
“Radit Rafi, sudah!” lerai Resti pada kedua putranya.
Mendapati sikap Resti yang tidak membelanya, Radit semakin memberengut kesal dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, tidak ingin berinteraksi kembali dengan orang rumahnya, setidaknya untuk saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
cabe2an
melawak ini Radit, dapat nilai 20 yang disalahin gurunya, khas anak muda masa kini yang selalu benar
2021-01-15
1