Bab 5

Baju pengantin warna putih yang tergeletak di lantai menjadi saksi bisu pernikahan yang tidak Shindy harapkan. Ia bersihkan air mata yang tidak mau berhenti sejak sah menjadi istri Arkan.

Shindy merenungi nasibnya yang sejak bayi tidak mendapat pelukan dari kedua orang tuanya. Satu-satunya harapan Shindy Ivan pria baik dan akan membebaskan dirinya dari belenggu bude, tapi harapan tinggal harapan.

 Ia lagi-lagi berlinang air mata ketika ingat cerita almarhumah nenek. Mama dan papanya mengalami kecelakaan mobil ketika hendak keluar kota hingga meninggal dalam keadaan mengenaskan.

Flashback On.

Sejak bayi, Shindy dibesarkan oleh nenek yang sangat menyayanginya, tapi hanya sampai 12 tahun. Ketika hendak masuk SMP, nenek sudah tua dan tidak bisa membiayai sekolah Shindy. Nenek terpaksa minta bantuan menantunya. "Tolong pinjami Ibu uang Warni" nenek sengaja datang ke Jakarta, terpaksa pinjam uang menantunya itu.

"Daripada Ibu pinjam uang, biar sekolah Shindy saya yang membiayai, Bu"

"Benarkah?" Nenek berbinar-binar.

"Iya, tapi Shindy harus tinggal di Jakarta bersama saya" pinta Warni.

"Tinggal bersama kamu ya?" Nenek melirik Shindy, ia tidak mau berpisah dengan cucunya itu.

Shindy hanya diam saja, gadis kecil itu pun sebenarnya tidak mau berpisah dengan nenek.

"Shindy, jika kamu ingin tetap sekolah, tinggalah bersama bude."

Intinya Warni tidak mau membiayai Shindy jika tidak tinggal bersamanya. Dengan berat hati nenek melepas cucunya.

Flashback Off.

Saat itulah penderitaan Shindy bermula. Bude Warni menyuruh tinggal di rumahnya, tapi Shindy dipaksa mengerjakan pekerjaan rumah. Padahal usia Shindy belum waktunya untuk bekerja seperti itu.

Masih gamblang dalam ingatan Shindy, ketika nenek bertanya keadaannya. Shindy terpaksa berbohong baik-baik saja karena diancam bude untuk tidak bercerita kepada nenek jika diperlakukan seperti itu. Shindy pun berpura-pura bahagia hingga nenek belum lama ini menyusul kedua orang tuanya.

"Papa... Mama... Nenek... Shindy mau ikut sajaaa..." Shindy terisak-isak hingga tidak mendengar ketika pintu kamar ada yang membuka.

"Mau sampai kapan kamu menangis? Bukankah kamu senang sudah menjadi istri Ivan?" Arkan ternyata sudah berada di atas tempat tidur.

"Nyatanya kamu bukan Ivan, tapi Arkan pria yang tidak punya perasaan!" Shindy mendelik dengan mata merah khas sedang menangis.

"Halaaah... jangan sok kamu Cupu, jika bukan aku, tidak ada pria yang mau menikahi kamu!" Arkan meremehkan.

"Terserah apa kata kamu" Shindy membersihkan air matanya lalu membawa baju hendak keluar dari kamar.

"Mau kemana kamu?" Arkan menghentikan langkah Shindy.

"Pijat kaki saya" perintah Arkan lalu tengkurap.

"Tidak mau!" Shindy menolak tegas.

"Mana ada, Istri menolak ketika di suruh suaminya."

Shindy menjatuhkan baju pengantin di lantai dengan keadaan kesal, kemudian mendekati Arkan yang hanya menggunakan celana boxer, bahkan tanpa kaos.

"Pakai baju dulu" Shindy tidak mau memperhatikan badan Arkan yang putih bersih itu.

"Cepat Cupu, mana ada orang urut pakai baju, atau kamu ingin saya membuka boxer sekalian..." Arkan balik badan hingga terlentang hendak menurunkan celana pendek tersebut.

"Jangaaan!" Shindy berteriak lalu menutup wajahnya dengan dua telapak tangan.

"Cepat urut makanya, kamu pikir anu saya akan bangun gara-gara disentuh sama kamu" Arkan kembali tengkurap.

"Benar saja, keluar dari kandang Ular, masuk ke kandang Buaya" gerutu Shindy ketika naik ke atas kasur.

"Apa kamu bilang?" Arkan menoleh Shindy.

"Tidak apa-apa, mau diurut nggak?!" Shindy pun memijit kaki Arkan yang berbulu jarang-jarang.

Kamar menjadi hening, entah apa yang dirasakan Arkan. Mungkin saja pijatan Shindy memang enak. Sebab, pria itu tampak menikmati sekali, walaupun Shindy melakukan tidak ikhlas.

Shindy kesal, ketika di rumah bude hampir setiap malam disuruh mengurut, dan sekarang punya suami pun hanya dijadikan tukang pijat.

Shindy menghentikan mengurut, lalu merangkak maju memandangi wajah Arkan yang sedang tidur. Kesempatan itu digunakan Shindy untuk turun, tapi baru satu kaki yang memijak lantai, tangannya ditahan Arkan.

"Mau kemana? Badan belum kamu urut."

"Jadi, kamu menikahi saya hanya kamu jadikan tukang urut!" Ketus Shindy lalu mengurut punggung Arkan.

"Lalu mau kamu apa, Cupu? Mau aku buat perutmu buncit?"

Buk!

"Aow" Arkan berteriak kerena bahunya ditinjau Shindy.

"Keterlaluan!" Shindy marah lalu memijit dengan kencang.

"Ini baru babak awal, Cupu" jawab Arkan entah apa maksudnya.

Shindy tidak menghiraukan lagi ucapkan Arkan, hatinya sudah cukup lelah hingga beberapa hari ini. Ia melanjutkan mengurut hingga terdengar dengkuran Arkan. Menandakan bahwa pria itu benar-benar sudah lelap.

Shindy turun dari tempat tidur lalu keluar kamar. Ia pandangi lantai dua yang sangat luas itu dari tangga. Tiba di lantai bawah tampak sepi, hanya terdengar denting sendok dan piring dari dapur.

"Assalamualaikum..." ucap Shindy kepada wanita yang sedang mencuci piring.

"Waalaikum sallam..." wanita yang tak lain bibi tersenyum menatap Shindy. Lalu ambil alih baju pengantin yang Shindy pegang.

"Biar saya cuci Bi... dimana tempatnya?"

"Ini sudah tugas saya Non" bibi tidak membolehkan Shindy menaruh pakaian kotor pun.

Shindy bersyukur, walaupun Arkan hanya menjadikan dirinya sebagai tukang urut, tapi bibi dan mertuanya memperlakukan dirinya sangat baik.

Selama tiga hari Shindy tinggal di rumah mewah itu. Ia tetap ke kampus walaupun tidak bersama Arkan. Karena Arkan belum pernah masuk setelah menikah.

Selain ke kampus, Shindy membantu bibi memasak. Malam ini ke empat kalinya Shindy makan malam bersama keluarga Alexander. Selesai makan seperti biasanya keluarga itu berbincang-bincang di ruang keluarga.

"Sekarang kamu sudah punya Istri Ar, mulai besok harus ke kantor" Alexander selama ini sudah dibuat pusing oleh Arkan. Padahal Alex tidak memaksa putranya agar bekerja secara total. Hanya sesekali hadir bila ada rapat penting karena Arkan sebagai Ceo di perusahaan.

"Benar kata Papa Ar, sekarang kamu sudah menjadi imam, berarti harus mencari nafkah untuk istrimu" mama Adisty melanjutkan nasehat suaminya.

"Iya Pa" Arkan sebenarnya tidak mau dinasehati di depan Shindy, karena harga dirinya merasa jatuh.

"Alta, jika Arkan tidak mau memberi kamu nafkah, jangan sungkan mengingatkan" Adisty beralih menatap Shindy.

Shindy hanya tersenyum saja, ia tidak akan berharap kepada Arkan, karena tujuan Arkan menikahinya pun rupanya hanya disuruh memijit, mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.

Seperti suami istri pada umumnya, mereka ke kamar bersama-sama. Tiba di kamar, Shindy shalat isya, tapi hanya sendirian. 10 menit kemudian, ia berdiri melipat mukena. Melongok laptop Arkan dari belakang, rupanya pria itu lagi-lagi main game.

Shindy membiarkan saja, lalu duduk di sofa memangku laptop. Tangannya mengetik tugas dengan cepat. Sebenarnya ada meja belajar milik Arkan, tapi mana berani.

"Memang tugas kamu sudah selesai, jika kamu menyuruh saya lagi saya tidak mau. Mulai malam ini kita mengerjakan tugas masing-masing" tegas Shindy, bukan ia ingin membantah perintah suami, tapi urusan tugas kampus seharusnya di kerjakan masing-masing. Sekarang tugas Shindy hampir selesai, tapi Arkan masih juga main game. Walaupun Arkan tidak masuk kuliah, tugasnya selalu dikirim Marsel.

"Jangan bawel, lagi seru ini. Lagi pula ada kamu yang akan mengerjakan tugas saya."

"Enak saja! Ogah!"

Pungkas Shindy tidak mau membuang waktu untuk berdebat, memilih melanjutkan membuat tugas hingga jam sembilan malam. Begitu selesai, Shindy merebahkan tubuhnya di sofa kamar itu. Karena lelah, Shindy pun terlelap.

 Dini hari Shindy bangun untuk menjalankan shalat sunah tahajud, rupanya Arkan masih juga main game. Shindy tidak mau mengingatkan, lebih baik ke kamar mandi ambil air wudu.

Adzan subuh terdengar, Shindy sudah selesai mandi hendak shalat subuh. Lagi-lagi ia shalat sendiri karena Arkan masih mendengkur. Namun, hingga jam enam pagi Arkan masih juga belum bangun.

"Jangan-jangan, pria ini tidak pernah shalat" gumam Shindy, karena ia belum pernah melihat Arkan shalat magrib, Isya, hingga subuh. Shindy bertekat mulai hari ini akan bersikap tegas.

"Arkan, bangun" Shindy menggoyang kaki Arkan, tapi pria itu terus mendengkur.

Begitu sulitnya Shindy membangunkan Arkan, padahal waktu subuh hampir habis. "Jika kemarin saya selalu diam, mulai hari ini saya akan tegas" Shindy ke kamar mandi ambil air menggunakan gayung, dengan telapak tangan ia menyiprat wajah Arkan hingga basah.

"Banjiiiirrr... Banjiiiirrr..." Arkan lompat dari tempat tidur.

...~Bersambung~...

Terpopuler

Comments

Lia siti marlia

Lia siti marlia

bener tuh sin sebagai seorang istri kita harus mengingatkan pada suami untuk semua hal tentang kebaikan

2025-09-26

2

Erina Munir

Erina Munir

bagus tuh syn...guyur aja buar basah langsung mandi deh sekalian

2025-10-04

1

Zeni Supriyadi

Zeni Supriyadi

betul Sin jgn mau ditindas Arkan. buat Arkan buncin ke Kamu

2025-09-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!