Pagi itu suasana sekolah masih seperti biasa. Lorong dipenuhi suara langkah kaki, tawa-tawa kecil, dan celoteh siswa yang belum masuk kelas. Di antara hiruk-pikuk itu, Anara sudah duduk di bangkunya lebih pagi dari biasanya.
Bagas mendekat sambil mengernyit.
"Tumben, Nar. Kesambet apa pagi-pagi udah nongkrong di kelas?"
Anara mendesah lelah. "Lagi males, Gas."
"Males? Kamu sakit?"
Anara mengangguk pelan. "Semalam ayah nyuruh bantu di restoran. Buka sampai larut..."
Bagas langsung menarik kursi dan duduk di sampingnya.
"Ya ampun, kamu keliatan lemes banget. Mau aku anter ke UKS? Nanti aku yang ngomong ke Pak Guru."
Anara tersenyum kecil. "Nggak usah, makasih ya. Aku mau ikut pelajaran, aku butuh nilai bagus buat lulus."
Belum sempat Bagas membalas, suara berat Pak Guru terdengar dari pintu kelas.
"Anak-anak, hari ini olahraga. Silakan ganti baju, kita mulai di luar."
Anara mendesah dalam hati.
"Kenapa sih harus luar kelas..." gumamnya pelan, malas setengah mati tiap dengar kata Olahraga
Namun rasa malas itu mendadak lenyap saat matanya menangkap sosok Fino berjalan santai melewati barisan bangkunya. Anara langsung duduk tegap, semangatnya naik seratus persen. Senyum tak henti terukir di wajahnya, bahkan matanya terus mengikuti Fino sampai Bagas tak tahan buat komentar.
"Astaga... dia beneran kesambet," ujarnya pelan sambil geleng-geleng kepala..
**
Jam olahraga dimulai. Semua siswa berkumpul di lapangan, termasuk Anara dan Fino.
"Eh, kamu nggak ikut lari?" tanya Anara pelan saat melihat Fino masih berdiri di tempat. Pak guru sudah memberi instruksi, tapi Fino hanya diam, lalu berjalan perlahan dan duduk di bangku dekat pagar lapangan.
Anara sempat menoleh, tapi Bagas sudah menarik tangannya.
Dengan terpaksa, Anara ikut berlari mengelilingi lapangan bersama yang lainnya.
Sementara itu, Fino tetap duduk sendiri. Suara langkah kaki dan teriakan semangat dari teman-teman sekelasnya terdengar samar di telinga—namun tak satu pun menarik perhatiannya.
Justru mata Fino tertuju ke satu arah.
Di ujung lapangan, beberapa siswa dari klub panahan sedang berlatih. Gerakan mereka teratur, fokus, dan penuh konsentrasi.
Anak-anak itu tampak tenang, memegang busur dengan mantap, menarik tali dengan kekuatan seimbang, lalu melepaskannya. Anak panah melesat dan menancap tepat di tengah papan sasaran.
Entah mengapa, itu justru membuat Fino terlihat sedih.
Di sisi lain, obrolan kecil beberapa siswa mulai terdengar. Bisikan-bisikan yang seharusnya pelan, tapi cukup tajam untuk menembus siapa pun yang mendengarnya.
"Eh, lo tau nggak, katanya dia tuh pembawa sial."
"Makanya dia nggak pernah ikut olahraga. Trauma, katanya..."
"Iya, dia kan penyebab kebakaran di sekolah lamanya. Dua orang tewas, tau!"
"Tapi kenapa dia masih hidup sih?"
"Harusnya dia yang mat*."
"Kalau mat* duluan nggak fair dong, dia harus ngerasain dulu karma-nya."
Perkataan-perkataan itu meluncur tajam, dibarengi tatapan menghakimi. Entah mereka sadar atau tidak, suara mereka cukup keras untuk terdengar.
Fino masih di bangku tadi. Ia menatap kosong ke arah tanah, lalu bangkit berdiri. Tanpa berkata apa pun, ia berjalan meninggalkan lapangan.
Anara refleks berlari kecil menyusulnya.
"Fino... tunggu!"
Tapi Fino tidak menoleh. Dia tetap melangkah pergi.
Anara terus mengejar Fino yang melangkah cepat meninggalkan lapangan. Nafasnya memburu, namun Anara tak berhenti hingga akhirnya tangannya berhasil meraih lengan Fino.
"Tunggu, Fino," ucapnya, setengah terengah.
Fino menghentikan langkahnya, tapi bukan karena ingin mendengar. Ia menepis tangan Anara dengan kasar. Matanya tajam, suaranya meninggi.
"Apa? Lo mau apa, hah? Lo juga mau gue mat*? Sama kayak mereka?!"
Suara itu menggema, menusuk. Anara terdiam sejenak, tntu saja ia terkejut. Tapi Anara tidak mundur. Dia menatap Fino—tegas, meski sorot matanya berkaca.
"Nggak," ucapnya pelan. "Aku... aku justru mau kamu tetap hidup."
Fino tertawa pendek, pahit. "Kenapa? Saat semua orang menjauh. Saat semua orang berharap gue lenyap. Lo malah berharap gue hidup?"
Anara menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan suara yang mantap.
"Karena kamu berhak, Fin. Kamu berhak untuk hidup. Terlepas dari apa yang terjadi... kamu tetap manusia."
Fino terdiam. Tatapannya mulai melembut, namun rahangnya masih mengeras menahan emosi. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ada seseorang tidak melihatnya sebagai pembawa sial—melainkan sebagai seseorang yang layak diselamatkan.
Anara melangkah pelan, mendekati Fino yang menunduk. Tubuhnya tampak kaku, pandangannya kosong menatap bawah.
Tanpa berkata apa-apa, Anara perlahan mendekat, menjijikan kakinya, lalu tangannya terulur, mengusap rambut Fino dengan lembut.
"Kamu anak baik…" ucapnya pelan, hampir berbisik. "Aku tahu itu."
Fino tak menjawab. Dia hanya menatap Anara yang tersenyum dihadapannya. Entah mengapa itu membuat merasa tenang. Senyum itu, membuat nya tenang.
Dan untuk pertama kalinya, Fino tidak menepis. Dia membiarkan Anara tetap di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments