NovelToon NovelToon

Lewat Semesta

Bab 1

Anara Zaila Raniza. Seperti gadis lain pada umumnya, Anara bukan siapa-siapa. Nilainya biasa saja, tidak pintar, tapi juga tidak bodoh. Namun, satu hal yang pasti: dia adalah gadis cantik dengan senyum manis dan hati yang kuat.

“Anara!” teriak Bagas dari kejauhan.

Bagas adalah teman sekaligus sahabat satu-satunya Anara. Ia tahu banyak tentang Anara, lebih dari siapa pun.

“Ih, bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak? Kuping aku sakit tahu,” protes Anara sambil menoleh kesal.

“Habisnya kamu budeg! Aku panggil dari tadi di kelas, nggak nyaut-nyaut.”

Tak!

Anara menjitak kepala Bagas. “Makanya kalau manggil jangan pas anak-anak lagi rame, mana aku denger.”

“Aduh! Berani banget kamu jitak aku. Awas ya!” Bagas bersiap membalas, tapi Anara sudah lebih dulu kabur sambil tertawa.

Bagas tentu tak tinggal diam. Ia mengejar Anara sampai ke kantin, membuat suasana semakin ramai.

Kedekatan mereka tak luput dari pandangan orang-orang. Termasuk Bella, siswi cantik sekaligus anak ketua yayasan. Bella dikenal pintar, tapi sayangnya, ia tidak menyukai Anara—apalagi sejak tahu Bagas dekat dengannya.

“Apaan sih, centil banget,” ketus Bella, memandang sinis.

“Iya, Bell. Jijik banget liatnya,” timpal Maya, teman dekatnya.

Bella mendengus kesal. Ia sudah punya rencana saat melihat Anara semakin mendekat. Dengan sengaja, ia menjulurkan kaki—membuat Anara tersandung dan jatuh.

Orang-orang menatap, sebagian menahan tawa. Tapi Anara tidak menangis. Ia tidak malu. Justru dia bangkit dan tersenyum.

“Aku baik-baik saja, santai... baik-baik aja kok,” ucapnya dengan suara lantang.

Rencana Bella untuk mempermalukannya gagal total.

“Anara, kamu nggak apa-apa?” tanya Bagas yang buru-buru menghampiri.

Ia melihat lutut Anara memar. “Lutut kamu—”

“Ah, nggak apa-apa, Gas. Aku oke. Kamu makan aja dulu, ya. Aku ke UKS,” jawab Anara cepat, lalu berlari pergi sambil tertatih.

Bagas memutar tubuhnya, menatap Bella yang berdiri tak jauh dari sana. Matanya tajam.

“Gue liat semuanya. Lo sengaja bikin Anara jatuh.”

Bella panik, bibirnya bergetar. “Gue—”

“Udah, nggak usah alasan. Selama ini gue diem karena Anara yang minta. Tapi kalau lo kelewatan lagi, gue nggak bakal tinggal diam.” Suara Bagas tegas, dingin.

#Di UKS.

Anara duduk di bangsal. Matanya menyapu ruangan, mencari obat untuk lukanya. Di meja nakas, ia melihat salep.

Saat hendak mengambil, botol itu justru jatuh ke bawah bangsal.

“Ya ampun, pake jatuh segala…” gerutunya.

Ia pun berjongkok, merangkak ke bawah kolong. Begitu menemukan botolnya, Anara hendak keluar—namun kepalanya nyaris terbentur kayu bangsal.

Untung saja…

“Aw!”

Tangan Bagas tepat berada di atas kepalanya, melindungi dari benturan.

“Bagas? Kamu ngapain di sini?” tanya Anara terkejut.

“Ceroboh. Hampir aja benjol,” celetuk Bagas.

Anara duduk lagi di bangsal. “Tadi salepnya jatuh,” ujarnya sambil menunjukkan botol kecil itu.

Bagas menghela napas, lalu meraihnya. “Udah, sini. Biar aku yang olesin.”

Anara tersenyum kecil. Ia diam saat Bagas dengan hati-hati mengoleskan salep di lututnya.

Tak lama kemudian bel berbunyi menandakan jam belajar berikutnya akan dimulai. Bagas dan Anara bergegas memasuki kelas, setelah jam pelajaran selesai. Bagas mengantar Anara pulang dengan sepeda miliknya.

"Gas, sampai sini aja. Makasih ya." Katanya.

Bagas menghentikan sepedahnya,

“Sama-sama. Tapi besok jangan telat lagi, ya. Aku nggak bantuin, serius.”

Anara tertawa. “Siap! Janji nggak telat lagi deh.”

-KEESOKAN HARINYA

Janji tinggal janji. Anara kembali telat.

Kali ini, Bagas benar-benar tidak menolongnya.

“Duh! Tinggi banget nih tembok. Mana bisa aku manjat!” Anara mencoba mencari cara naik ke dinding sekolah yang tinggi.

Saat sedang panik, tiba-tiba seorang siswa cowok melemparkan tasnya ke dalam dan melompati dinding dengan mudah. Sementara Anara baru saja berhasil naik.

“Hei! Boleh bantuin pegangin.”

Pria mendongak, tampan, sangat tampan hingga membuat Anara tertegun. Rambutnya tertata sempurna dengan poni jatuh di dahi. Wajahnya? Tegas. Hidung mancung, rahang tegas, dan mata yang menatap seolah dunia ini terlalu biasa untuknya. Ganteng, tapi bukan tipe yang gampang untuk didekati.

Ia bahkan tak menggubris Anara dan pergi begitu saja.

“Hey! Bantuin dong!” teriak Anara, kesal.

Tak ada jawaban.

Akhirnya ia menarik napas, memejamkan mata. “Oke, nggak ada pilihan. Hitungan ketiga aku lompat… Satu… dua… ti—”

#Brak!

Tiba-tiba pria itu kembali. Di bawahnya sudah ada kotak-kotak tersusun untuk pijakan.

Anara bingung, tapi ia segera turun dan lari masuk kelas. Untung saja ia sampai sebelum guru datang.

“Kamu telat lagi?” tanya Bagas.

“Biasalah,” jawab Anara dengan cengengesan.

Tak lama, guru masuk. Di belakangnya, siswa yang tadi membantu Anara masuk bersama.

“Kalian kedatangan teman baru. Ayo, perkenalkan dirimu,” kata guru.

“Gue Fino,” ucapnya singkat.

“Itu saja?” tanya guru, bingung.

Fino hanya mengangguk. Dingin, tanpa senyum.

“Oke… mungkin dia malu ya, anak-anak. Fino, kamu duduk di bangku kosong di belakang Anara.”.

Baru saja Pak Guru menunjuk bangku kosong di belakang, Anara—entah kenapa—langsung berdiri.

“Iya…” ucapnya spontan.

Seluruh kelas langsung riuh menyorakinya.

“Uuuu~”

“Eaaaa... Anara cari perhatian!”

Pak Guru mengernyit. “Iya apa, Anara?”

Anara tersadar. Astaga, ngapain aku berdiri?!

Bab 2

“Pigme banget sih,” celetuk seorang teman di barisan depan.

“Cari sensasi aja tuh,” sindir yang lain sambil terkikik.

Anara menggigit bibirnya, lalu menggeleng cepat.

“Maaf, Pak! Saya nggak fokus tadi,” katanya cengengesan, buru-buru duduk lagi.

Pak Guru hanya menghela napas. “Lain kali jangan ngelamun saat jam pelajaran. Fino, silakan duduk.”

Fino berjalan tenang menuju bangku kosong di belakang Anara, tanpa menanggapi riuh kelas.

#Jam makan siang tiba.

Anara duduk bersama Bagas di sudut kantin. Tangannya memegang sendok, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Matanya menelusuri seisi kantin, mencari-cari seseorang… hingga akhirnya tertuju pada sosok yang duduk sendiri di meja paling pojok.

Fino. Cowok itu terlihat tenang, bahkan terlalu tenang. Makan perlahan, tidak bicara dengan siapa pun, dan sama sekali tidak peduli pada sekelilingnya.

“Kenapa dia duduk sendiri, ya?” gumam Anara pelan.

“Hah? Siapa?” Bagas mengikuti arah pandangnya. “Oh—Fino?”

Anara mengangguk kecil. “Kamu tahu kenapa?”

Bagas menaikkan alis. “Serius kamu nggak tahu, Anara? Dia tuh terkenal banget, loh.”

“Terkenal? Aku beneran nggak tahu siapa dia…”

Bagas mendekatkan wajahnya sedikit, setengah berbisik.

“Fino Malik Aidar. Dia atlet panah nasional dan pewaris tunggal Aidar Industri—perusahaan paling besar di kota kita.”

Anara ternganga. “Seriusan?!”

Bagas mengangguk sambil mengunyah.

“Pantes... mukanya kayak mahal banget,” gumam Anara pelan, membuat Bagas nyaris tersedak tawa.

“Tapi kenapa dia sekolah di sini? Maksudku, ini sekolah biasa banget, bukan sekolah elit.”

“Nah, itu yang jadi pertanyaan semua orang,” kata Bagas.

“Dalam dua tahun terakhir, dia selalu pindah sekolah. Katanya, tiap kali dia datang… pasti akan terjadi sesuatu.”

Anara menyipitkan mata. “Maksud kamu...?”

Bagas menurunkan suaranya. “Katanya dia pembawa sial. Di sekolah sebelumnya ada kecelakaan besar. Yang sebelum itu... dia menyebabkan kebakaran gudang bahkan ada siswa yang meninggal. Pokoknya, banyak kejadian aneh sejak dia datang.”

Anara terus memperhatikan Fino dari kejauhan. Entah kenapa, hatinya tidak bisa percaya dengan cerita Bagas soal Pembawa sial dan hal-hal buruk yang selalu mengiringi kedatangan Fino. Entah mengapa bagi Anara Ada sesuatu dari tatapan dinginnya yang justru... membuatnya penasaran.

Tanpa sadar, Anara sudah berdiri dan meninggalkan tempat duduknya di samping Bagas. Ia berpindah meja. Tepat di depan Fino.

“Hai! Aku Anara,” ucapnya ceria sambil mengulurkan tangan.

Fino hanya menatapnya. Tatapan tajamnya tidak berubah. Ia tidak menjawab, tidak juga menyentuh tangan Anara.

Dari kejauhan, Bagas langsung panik.

“Ya ampun, Anara! Ngapain sih kamu! Astaga, maaf ya bro... dia emang suka gini...” Bagas buru-buru menyusul, mencoba menarik Anara kembali. Tapi gadis itu justru menepis tangan Bagas.

“Aku mau makan di sini. Kalau kamu tetap di sana juga nggak apa-apa. Oke?” katanya santai.

Fino tetap diam. Makan dengan tenang, seolah Anara adalah bayangan. Tapi Anara tidak menyerah. Ia mulai bertanya ini-itu. Mulai dari nanya lauk favorit sampai komentar tentang suhu ruangan.

Satu pun tak digubris.

Tak kehabisan akal, Anara malah mulai menjahilinya—menyodorkan sendok, menggoyang-goyangkan botol sambal di depannya, sampai mencoba meniru gaya Fino duduk.

Tetap. Tidak ada respons.

Namun, itu tidak menghentikan Anara. Dalam tujuh hari berturut-turut, Anara selalu mencari cara agar bisa berada di dekat Fino. Baik di kelas, di kantin, bahkan saat jam istirahat.

Hingga akhirnya, hari ketujuh…

Fino berhenti berjalan, membalikkan badan dengan ekspresi kesal.

“Bisa berhenti ngikutin gue nggak?.”

Suara itu terdengar jelas. Datar. Tapi juga ketus.

Anara justru terpaku... lalu tersenyum lebar.

Matanya membulat antusias. “Bagas!!” Anara berteriak sambil melambai ke arah sahabatnya di seberang lapangan..

“Bagassss! Dia ngomong sama aku! Kamu denger gak?! Fino akhirnya ngomong sama aku!!”

Bagas buru-buru berlari menutup mulut Anara sambil menunduk malu.

“Sssst! Astaga, bisa diam nggak sih! Malu-maluin banget, sumpah!”

Bagas buru-buru menutup mulut Anara sambil menoleh ke sekitar, berharap tidak ada yang memperhatikan.

Fino sudah berjalan pergi, seperti biasanya—tenang, tanpa menoleh ke belakang.

“Lepasin, tuh kan... dia jadi pergi,” gerutu Anara, melepaskan tangan Bagas dari wajahnya.

“Biarin aja! Lagian kamu ini kenapa sih jadi... jadi gila banget?” Bagas menggeleng tak percaya.

“Udah jelas-jelas dia cuek parah gitu sama kamu.”

Anara menoleh pelan, menatap Bagas dengan senyum kecil.

“Cuek itu bukan berarti nggak suka. Bisa aja... itu caranya dia jaga jarak, biar aku nggak denger hatinya yang berdetak tak karuan.” katanya ringan.

Bagas mendengus. “Kamu terlalu banyak nonton drama.”

Tapi sebelum Bagas melanjutkan omelannya, Anara berkata dengan suara pelan,

“Lagipula... aku juga suka dia.”

“Hah?!” Bagas menatapnya seolah Anara baru saja mengatakan hal paling aneh di dunia.

“Kamu suka dia? Sejak kapan?!”

Anara mengangkat bahu sambil tetap tersenyum. “Sejak pertama ketemu. Waktu dia bantuin aku turun dari tembok.”

Bagas mengerjapkan mata. “Tapi dia... dia bahkan nggak ngomong apa-apa ke kamu saat itu.”

Anara tertawa pelan. “Justru karena itu. Dia diem... tapi tetap nolong. Aneh sih. Tapi... ada yang beda, tapi justru aku suka.”

"Pokoknya itu tuh kaya jatuh cinta pandangan pertama"

Bagas terdiam.

Pria tinggi dengan rambut rapih kedepan itu memandang sahabatnya itu—Anara yang biasanya banyak omong, kadang ngeselin, tapi selalu tulus. Dan sekarang, dia bicara soal perasaannya dengan cara yang begitu sederhana.

Bab 3

Setelah jam istirahat, kelas kembali dimulai.

Pak Guru masuk dengan setumpuk kertas di tangan.

“Anak-anak, minggu ini kita akan mulai tugas proyek kelompok. Bapak akan tentukan anggotanya secara acak, jadi tidak bisa pilih-pilih, ya.”

Seluruh kelas langsung riuh.

“Yah, random lagi…”

“Semoga satu kelompok sama yang rajin…”

Pak Guru mulai membacakan nama-nama.

“Kelompok satu: Reza, Bella, Maya…”

Anara menopang dagunya, mendengarkan sambil setengah malas.

“Lalu…kelompok terakhir.… Fino… dan… Anara.”

Beberapa anak langsung saling melirik.

“Hah? Fino sama Anara?”

“Wah, si centil dapet yang ganteng, tapi pembawa sial. Hahha..”

“Gila, bakal apes sih.!”

Anara langsung menegakkan badan. Dia mendengar itu. Sedangkan Fino tidak bereaksi sama sekali. Ia hanya duduk diam, menatap lurus ke papan tulis.

Setelah semua kelompok dibacakan, Pak Guru menuliskan detail tugas di papan.

“Proyek presentasi multimedia. Kalian akan bahas satu tokoh inspiratif dari bidang olahraga. Kumpulkan minggu depan.”

Anara melirik ke belakang lagi.

“Fino…”

Cowok itu akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, dalam. Tapi hanya sekejap.

“Gue tunggu di perpustakaan. Jam empat.”

Ucapannya singkat, datar, nyaris tanpa intonasi.

Anara terdiam. “O—oke…”

Setelah itu, Fino berdiri dan melangkah keluar begitu saja.

Sore itu

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Anara langsung menuju perpustakaan sesuai janji.

Langit di luar sudah mulai oranye, dan suasana perpustakaan hampir kosong. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar pelan.

Dan entah kenapa... sekarang, saat hanya berdua begini, dadanya terasa sesak sendiri. Gugup. Padahal biasanya ia cerewet bukan main.

Untuk mengalihkan rasa canggungnya, mata Anara menelusuri rak buku di sekeliling.

Sampai akhirnya, satu buku menarik perhatiannya—berwarna coklat tua, berdebu, dengan judul Psikologi atlet tertera samar dirak buku.

"Menarik juga," gumamnya.

Tapi letaknya terlalu tinggi.

Anara melihat sekeliling, lalu menyeret kursi kecil tak jauh dari situ.

Pelan-pelan ia naik. Dan tangannya berhasil meraih buku itu, namun saat hendak turun—

Krek!

Kaki kursi bergeser.

“Aaakkh... aww!”

Anara menjerit saat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai.

“Apa lo selalu ceroboh begini?”

Tiba-tiba sudah berdiri di depan Anara dengan ekspresi datarnya.

Anara buru-buru mencoba bangkit. “Nggak... nggak apa-apa. Aku—”

Namun kakinya yang terkilir membuat tubuhnya limbung, dan nyaris jatuh untuk kedua kalinya.

Tanpa pikir panjang, Fino langsung menangkap lengannya. Anara tertolong, berkat Fino yang dengan cepat menangkap dirinya.

Fino menghela napas, menatapnya dengan mata sedikit sempit.

“Kalau nggak bisa ambil, ya tinggal bilang. Kenapa harus manjat?” ucapnya datar.

Anara menunduk. “Maaf… refleks aja. Aku kira bisa.”

Fino membantu Anara duduk kembali di bangku. Dia jongkok di hadapannya, lalu tanpa bicara, membuka tasnya dan mengeluarkan semprotan pereda nyeri.

“Kaki lo bengkak,” katanya, masih tidak menatap mata Anara secara langsung.

Anara memandangnya diam-diam, senyum kecil mengembang.

“Fino... kamu baik juga ya, ternyata.”

Fino berhenti sejenak, menatap Anara—kali ini benar-benar menatap.

“Jangan terlalu cepat menilai orang,” katanya pelan, sebelum kembali menunduk dan menyemprot pergelangan kaki Anara.

Dan entah sudah berapa lama mereka duduk di perpustakaan.

Lembar demi lembar catatan proyek sudah hampir rampung. Namun di luar, langit sudah berubah kelam. Bayangan senja berganti gelap malam.

Fino melirik ke jendela, lalu menutup bukunya.

“Kita lanjutin besok aja.”

Anara menoleh. “Kenapa nggak sekarang? Aku masih kuat kok. Lagian tinggal sedikit lagi.”

Fino berdiri, menyampirkan tas ke bahu.

“Lo nggak lihat, hari udah gelap. Lo juga harus pulang. Nanti orang tua lo nyariin.”

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi justru membuat Anara terdiam.

Sesaat... ia hanya menunduk. Lalu dengan suara pelan, hampir tak terdengar, ia berkata,

“Seandainya… Aku juga berharap begitu.”

Fino yang sudah hendak berjalan, berhenti di tempat. Ia menatap Anara. Tidak berkata apa-apa. Tapi matanya berubah. Seolah... ia mengerti, meski tidak tahu cerita di baliknya.

Hening mengisi ruang sejenak.

Lalu dengan nada datar tapi tulus, Fino berkata,

“Rumah lo di mana? Biar gue anterin.”

Anara langsung mengangkat kepala. “Beneran?”

Mata besarnya membulat, memantulkan lampu perpustakaan yang temaram.

Senyum manisnya muncul begitu alami, seperti sinar kecil di tengah suasana sepi.

Fino mengangguk singkat. “Ayo.”

Dalam perjalanan pulang .

Suasana kota sudah gelap. Lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar dan gedung-gedung kecil yang mulai tutup.

Mereka berjalan berdua, Fino mendorong sepeda pelan di samping Anara.

Tak banyak yang mereka bicarakan, tapi entah kenapa... hening di antara mereka terasa nyaman.

Sesekali, Anara melirik ke arah Fino. Cowok itu tetap tenang, menatap ke depan, seperti biasa.

“Makasih ya,” ucap Anara pelan.

“Buat apa?”

“Buat... segalanya hari ini. Buat nolongin aku jatuh, buat ngobrolin tugas, dan buat… mau nganterin aku pulang.”

Fino menoleh sebentar. “Gue nggak ngelakuin apa-apa.”

“Tapi tetap aja... itu bikin aku senang,” balas Anara sambil tersenyum kecil.

Fino tidak menjawab. Tapi sudut bibirnya… sedikit terangkat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!