Sejak pertemuan pertama mereka tempo hari, Fabian semakin penasaran akan sosok gadis cantik tersebut.
Saat ini ia sedang duduk bersantai di teras rumah. Tepatnya sebuah villa yang terletak tidak jauh dari area perkebunan teh miliknya.
"Mang kemari sebentar," panggil Bian pada laki-laki paruh baya yang ia percaya untuk menjaga villanya.
Laki-laki paruh baya itu tergopoh mendekat. "Iya, Den. Ada perlu apa?"
Fabian terlihat ragu untuk bertanya. Tapi rasa keingintahuannya mengalahkan egonya. "Eum, apa Mamang tau seorang gadis yang saya temui di kebun teh tempo hari?"
Laki-laki paruh baya itu nampak berpikir sejenak. "Itu Mang, yang mengirim makanan pada ayahnya tempo hari. Mamang lihat juga kan?"
Ya. Saat itu Mang Sapto ikut bersama Fabian untuk meninjau perkebunan teh.
Sebuah senyum tergambar saat dia berhasil mengingat siapa seseorang yang sedang majikannya tanyakan. "Tentu atuh, Den. Neng cantik dan lentik itu. Mana mungkin Mamang bisa lupa, hehe."
"Mamang tau namanya?" tanya Fabian antusias.
"Tau atuh, Den. Neng Nayara memang cukup terkenal di desa ini. Selain cantik, dia juga terkenal ramah dan baik pada semua orang. Semua pemuda dan para orangtua menginginkannya untuk menjadi istri dan menantunya, Den."
"Jadi namanya Nayara, ya, Mang?"
"Iya, Den. Putri salah satu pegawai yang bekerja di perkebunan teh. Memangnya ada apa Den? Jangan-jangan Den Bian naksir ya sama neng Nay?" tebak Mang Sapto.
"Ah, si Mang bisa saja nebaknya," sanggah Bian.
"Iya juga gak papa atuh, Den. Neng Nay itu sangat cocok jika bersanding dengan Aden yang tampan. Serasi. Jika disatukan tuh pokoknya bikin mata Mamang silau," seloroh Mang Sapto.
"Mamang bisa aja."
Wajah Fabian bersemu. Mendengar perkataan Mang Sapto. Membayangkannya saja mampu membuat debaran jantungnya menguat.
'Ah, ini gila. Kenapa hatiku berdebar seperti ini. Apa benar aku jatuh cinta pada gadis itu?'
"Bagaimana Den. Apa perlu Mamang antar ke rumahnya sekalian?"
"Hayu lah, Mang. Kita gas kan!" jawab Bian secara spontan. "Eh, tapi tunggu Mang. Jangan terburu-buru. Pelan-pelan saja. Kita harus pendekatan dulu. Jangan langsung tancap gas."
"Terserah Den Bian saja. Mamang mah ikut saja. . .."
Sejak saat itu ayah Nayara selalu membawa bingkisan yang ia bawa pulang ke rumah. Entah itu camilan, buah-buahan dan bahan pokok makanan.
Seperti sore ini. Pak Jaya masuk ke rumah dengan membawa buah tangan seperti hari-hari sebelumnya. "Bapak bawa apalagi hari ini?" tanya sang istri.
Pak Jaya menaruh bingkisan itu di atas meja. "Sini duduk, Bu. Dan panggilkan Nay juga." Laki-laki itu memasang wajah seriusnya saat ini.
"Ada apa si Pak? Kok hari ini wajah bapak kelihatan tegang gitu?"
"Ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan pada kalian. Sekarang panggil Putri kita kesini." Perintah pak Jaya untuk kedua kalinya.
Tidak lama istri pak Jaya dan Nayara keluar dari dalam kamar. Kini mereka bertiga duduk di kursi kayu yang sudah usang.
"Ada apa Pak?" Kali ini Nayara yang bertanya. Ia juga melihat wajah ayahnya yang terlihat tegang.
Sebelum memulai obrolan, laki-laki paruh baya itu nampak menarik nafasnya dalam. "Seperti dugaan bapak. Ternyata semua bingkisan yang diberikan dari Den Bian itu ada maksud tersembunyi."
Deg.
Walaupun hanya sebuah sangkaan. Tapi Nayara sudah bisa menebak arah pembicaraan ayahnya saat ini. Dan ia berharap kini dugaannya salah.
"Den Bian mengutarakan maksudnya yang ingin mempersunting kamu Nay. Beliau memilihmu untuk menjadi istrinya," jelas pak Jaya.
Semua orang kini terdiam dengan pikirannya masing-masing. "Bagaimana ini pak?" tanya ibu Nayara.
"Kita serahkan saja semuanya pada putri kita, Bu. Karena Nayara lah yang akan memutuskan semuanya."
Kedua orangtuanya kini menatap penuh harap pada anak gadisnya. Tapi, gadis itu malah menggeleng dengan kedua matanya yang mulai mengembun.
"Tidak, Pak, Bu. Nay tidak bisa menerima lamaran Den Bian. Bapak sama ibu tau sendiri kan, Nay sudah punya kekasih. Seperti janji kak Dev, dia berjanji akan segera melamar Nay jika dia sudah berhasil di kota." Gadis itu menunduk menyembunyikan kegundahan hatinya.
Kedua orang tuanya saling tatap. Ibu Nayara memberikan isyarat dengan anggukan kepala.
"Baiklah kalau begitu, Nay. Sekarang beritahu kekasihmu. Suruh dia datang untuk melamar mu secepat mungkin. Jika dia tidak bersedia. Maka bapak yang akan memutuskan bagaimana kedepannya."
"Baik, Pak. Nay akan berusaha memberi tau kak Dev bagaimanapun caranya."
Karena keterbatasan ekonomi Nayara tidak pernah memegang ponsel dan dia merasa barang itu tidak diperlukan. Dia bukan gadis yang suka bergaya apalagi berhura-hura. Dia cukup tahu diri dengan keadaannya saat ini.
Dibesarkan dari kedua orangtua yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa. Nenek, kakek ataupun sanak saudara. Pekerjaan ayahnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan Nayara pun harus putus sekolah dan menutup hati yang ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Akhirnya gadis itu memutuskan untuk mengirim surat, berharap dengan pesan tertulis itu bisa tersampaikan niat dan perasaannya.
Pagi-pagi sekali dia sudah mendatangi rumah ibunya Dev, kekasih Nayara. Kedatangannya disambut hangat.
"Neng, ibu senang kamu kemari. Sudah lama ya, sejak Dev ke kota. Sejak saat itu ibu merasa kesepian." Tatapan wanita paruh baya itu menerawang jauh, seolah membayangkan sesuatu yang begitu ia rindukan.
"Iya Bu. Maaf. Nay tidak pernah mengunjungi ibu."
"Tidak papa Neng. Ibu maklum. Oh ya, ada tujuan apa kamu kemari?"
Gadis itu mengeluarkan sepucuk surat yang sudah terbungkus amplop berwarna merah muda. "Ini Bu. Nay ingin mengirim surat untuk kak Dev. Tapi Nay tidak tau harus kemana dan bagaimana cara mengirimnya," ucap gadis itu apa adanya.
Ya. Nayara memang gadis yang polos, entah itu penampilan dan pengetahuan. Tapi walaupun begitu, wanita paruh baya itu tahu kalau anak lelakinya lah yang memang tergila-gila pada gadis tersebut.
Beliau nampak termenung. "Entah memang ini kebetulan, karena besok pamannya Dev akan kembali ke kota. Ibu bisa memintanya untuk memberikan suratmu pada putra ibu."
Gadis itu terlihat berbinar. "Sungguh Bu. Ah, syukurlah. Kalau begitu Nay titip suratnya ya Bu."
Wanita paruh baya itu mengangguk, dia menerima surat tersebut dan melanjutkan obrolan ringan mereka.
* * *
Hari berikutnya surat itu sudah berada di kota. Meski masih berada ditangan pamannya Dev.
"Ada perlu apa kamu kesini, Man?" Seseorang berdiri di atas tangga menghadang nya.
"Eum, anu Mas. Apa Dev ada di rumah?" Langkahnya terhenti yang hendak menaiki tangga menuju kamar keponakannya.
"Kenapa? Dev belum pulang. Dia masih di kantor."
"Baiklah, kalau begitu aku kembali besok saja."
Langkahnya terhenti saat hendak berbalik. "Apa yang kamu bawa di tanganmu itu?" Seseorang itu turun menapaki tangga.
"Apa? Tidak ada apa-apa, Mas." Paman Dev berusaha menyembunyikan di belakang punggungnya.
"Cih, aku bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi, Man. Berikan. Apa yang kamu sembunyikan di tanganmu itu."
"Mas, ini titipan dari ibunya Dev. Dan beliau berpesan untuk diberikan pada putranya langsung."
Tentu saja perkataan adiknya menambah rasa penasaran. Ya. Dia adalah ayahnya Dev.
"Berikan! Aku harus tau lebih dulu yang diberikan Naumi pada putraku. Karena Dev, adalah tanggung jawabku selama disini." Ayahnya Dev mengulurkan tangannya untuk meminta surat tersebut.
"Tapi, Mas-" kata-katanya terhenti karena mendapatkan tatapan tajam. Paman Dev menelan ludahnya kering. Akhirnya ia pasrah. Kini surat itu sudah berada ditangan yang tidak seharusnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments