Di malam pernikahan Nayara langsung diboyong ke rumah suaminya di kota. Ya. Seharusnya saat ini dia menjadi wanita paling beruntung karena menikah dengan laki-laki tampan, dewasa dan terkaya di desanya.
Tapi lihatlah, saat ini dia malah bersimpuh di lantai dingin dengan tangan yang gemetar. Air matanya sudah berurai sejak tadi, saat ia memutuskan membuka rahasia yang seharusnya ia simpan saja.
"Kau sudah menipuku, Nay. Seharusnya kau bilang sejak awal, dengan begitu tidak akan ada pernikahan ini."
Nayara semakin tertunduk dengan kedua tangan meremas ujung bajunya yang semakin gemetar.
"Aku sungguh bersalah. Tolong ampuni Aku. Aku berjanji akan menebus kesalahanku tapi kumohon jangan pulangkan aku ke rumah orangtuaku," lirihnya.
Bian menyeringai. "Kau sungguh percaya diri sekali. Apakah setelah ini, aku akan tetap menjalani pernikahan ini, hah?"
Wajah laki-laki yang kini duduk di pinggiran tempat tidur memerah menahan amarah sekuat tenaganya. Bagaimana tidak. Dimalam pertama yang selalu didambakan setiap orang, kini dia harus menelan pahit kekecewaan.
"Malam ini juga aku akan memulangkan mu ke rumah orangtuamu."
Gadis itu mendongak menatap wajah tampan suaminya yang selalu terlihat lembut kini berubah menjadi bengis.
"Tidak suamiku. Kumohon ampuni aku. Jangan lakukan itu. Aku tidak mau keluargaku mengetahuinya. Jika tidak, kesehatan bapak akan semakin menurun."
Nayara kini memegangi kaki suaminya dengan tatapan memelas. "Aku akan lakukan apapun, asal jangan pulangkan aku."
Bian kembali menyeringai dengan senyum getir. "Baiklah. Jika itu keinginanmu. Aku akan mengizinkanmu tetap tinggal disini dengan satu syarat." Laki-laki itu menjeda perkataannya. "Putuskan hubunganmu dengan keluargamu. Jangan pernah bermimpi untuk bisa kembali ke kampung halamanmu. Anggap saja mulai saat ini kau seolah terkubur di rumah ini untuk selamanya. Apa kau sanggup?"
Bak tersambar petir, perkataan Bian seperti menghantam hati Nayara hancur lebur. Ia yakin ini hukuman atas kekecewaan yang sudah ia torehkan. Tapi kenapa sekejam ini?
Kini sekujur tubuhnya yang gemetar membayangkannya saja membuatnya meringis. Neraka seperti apa yang akan ia masuki jika menyanggupi perkataan suaminya.
Seolah gadis itu mendapatkan jalan buntu, ia tidak punya pilihan lain lagi. Akhirnya anggukan kepala menjadi awal langkahnya memasuki neraka yang entah sedalam apa api itu melahap habis tubuhnya berkali-kali.
Laki-laki itu memegang dagu Nay agar mendongak ke arahnya. Dapat dilihat bulu mata lentik itu sudah basah oleh air mata. Jika dulu ia begitu mengagumi kecantikan wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu, tapi saat ini amarah menutup mata dan hatinya.
"Statusmu memang istriku dan Nyonya dirumah ini. Tapi bagiku, kau tidak lebih dari gadis rendahan yang sama sekali tidak pantas bermimpi untuk bersanding denganku. Jadi, bersikaplah semestinya."
Tangan itu menghempas dagu Nay kasar. Ia bangun dan berjalan keluar meninggalkan kamar pengantin yang seharusnya menjadi awal kebahagiaan bagi mereka.
Suara dentuman pintu yang dibanting membuat tubuh Nay lemas seperti daging tanpa tulang. Kini iapun luruh di lantai meratapi nasibnya saat ini.
* * *
Sinar matahari masuk melalui celah tirai. Nay terbangun dari tidurnya karena mendengar pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk dan terkejut mendapati istri majikannya yang kini tertidur di lantai tanpa alas apapun.
"Non, apa semalaman Nona Nay tidur di bawah?" tanya wanita paruh baya itu penuh kekhawatiran.
Nay yang belum mengumpulkan seluruh nyawanya pun tidak langsung menjawab. Matanya menelisik setiap sudut ruangan. Benar, semalam bukan hanya sekedar mimpi buruk.
"Ayo Non, bibi bantu." Wanita paruh baya itu memapah tubuh Nay agar bangun dan mendudukkannya di sisi tempat tidur.
"Sebaiknya Non, lekas membersihkan diri dan turun ke bawah untuk sarapan."
Wanita paruh baya itu tidak lagi berniat mendengar jawaban istri majikannya. Karena sudah dipastikan semalam terjadi perselisihan diantara suami istri tersebut. Melihat Bian yang keluar kamar dengan wajah penuh amarah yang akhirnya majikannya itu tidak pulang semalaman dan menyuruhnya untuk memindahkan barang-barang istrinya ke kamar tamu.
"Baik Bi. Sebentar lagi aku akan turun."
Sebelum keluar wanita paruh baya itu menarik koper yang sejak kemarin berdiri di sudut ruangan. "Mau dibawa kemana Bi koperku?"
Bibi berbalik. "Tuan menyuruh bibi agar membawa barang-barang Nona Nay ke ruang tamu."
Gadis itu termenung sesaat. "Baiklah. Biar aku yang bawa bi. Sekalian aku juga akan membersihkan diri di sana," jawab Nay akhirnya.
Ia sadar posisinya dirumah itu saat ini. Hanya statusnya sebagai istri dari pemilik rumah, tapi jelas ia tidak akan bermimpi untuk menjadi istri yang sesungguhnya untuk suaminya.
Bian sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya sampai pagi. Nay yang kini terduduk di meja makan seorang diri merasakan kekosongan. Tidak pernah sekalipun ia melewatkan sarapan tanpa berkumpul dengan keluarganya. Meski hidangan yang sederhana tapi melihat tawa sukacita keluarga membuat kenikmatan tersendiri bagi Nay dan keluarganya.
Hingga tanpa terasa ujung matanya memanas, sekuat tenaga ia membendung air matanya agar tidak luruh.
"Tidak. Ini bukan saatnya untuk bersedih, Nay. Terima saja nasibmu. Anggap saja ini hukuman karena dosamu sendiri."
Gadis itu memulai sarapan paginya meski dengan penuh kegetiran.
* * *
Sementara di tempat yang berbeda seorang laki-laki tampak gusar. Berkali-kali ia mengeram kesal saat menghubungi seseorang.
"Bagaimana, apa kau sudah menemukan rumahnya?"
"Sudah bos. Saat ini saya sudah berada di depan rumah. Sepertinya kemarin sudah terjadi sebuah perayaan. Terlihat orang-orang sedang membereskan barang-barang dan membersihkan sisa-sisa pesta," jawab seseorang di sebrang telepon.
Laki-laki itu nampak termenung. 'Perayaan? Apa yang sudah terjadi disana. Dan pesta apa yang sudah mereka gelar?'
"Pernikahan Nayara dan Fabian."
Seseorang di ujung telepon membaca tulisan yang tertera di kertas yang bergelantung di bawah janur kuning yang melengkung.
Deg.
Jantung laki-laki itu berpacu lebih cepat. Jemarinya meremas ponsel yang sedang ia pegang. "Katakan sekali lagi dengan jelas, Ram. Jika kau mengada-ada, habis kau!" ujarnya penuh amarah.
"Tulisannya tertera pernikahan Nayara dan Fabian. Jelas-jelas saya tidak buta huruf, bos."
"Ini gila. Bagaimana mungkin itu terjadi? Nayara ku menikah dengan laki-laki lain? Hahaha. . . Bercanda mu sama sekali tidak lucu, Ram! Ku bunuh kau!"
Laki-laki itu menertawakan perkataan seseorang yang berada di ujung telepon. Tapi seketika tawa itu lenyap berubah kegetiran saat mendengar perkataan lanjutan seseorang tersebut.
"Apa bos mengira saya jauh-jauh datang ke desa ini hanya untuk bercanda? Jangan salahkan saya. Salahkan saja pada papan nama yang menggantung itu. Kenapa nama itu yang tertulis disana."
"Brengsek! Jika omonganmu benar-benar hanya omong kosong, siap-siap nyawamu yang menjadi taruhannya. Saat ini juga aku akan pergi kesana," putus laki-laki itu.
Senja sudah menggantung di ufuk barat. Seperti biasa Bian selalu pulang ke rumah setelah seharian berkutat dengan pekerjaannya.
Hari ini wajah kusut terlihat di wajahnya. Laki-laki matang itu melonggarkan dasi, menarik kasar dan membuangnya ke sembarang arah. Melihat istrinya masih bisa tersenyum, entah kenapa membuat darahnya mendidih.
"Sial, bagaimana dia masih bisa tersenyum. Jelas-jelas aku ingin membuatnya merasakan kekecewaan karena ingin bertahan di rumah ini."
"Lihat saja! Apa yang akan ku lakukan agar membuatmu menangisi setiap hari-hari yang sudah kau habiskan selama di rumah ini."
Laki-laki itu menanggalkan semua pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Derasnya air shower berharap mampu meredam semua amarah yang menggulung di hati seperti layaknya air yang menyapu sisa busa sabun yang masuk ke wadah pembuangan menjadi bersih tanpa sisa.
Saat memasuki rumah, Bian tidak sengaja mendengar suara Nay yang sedang mengobrol dengan seseorang di dapur. Hatinya tergelitik hingga rasa penasaran mengikuti langkahnya sampai ke depan pintu.
Dadanya berdesir panas saat melihat istrinya tersenyum mendengar celotehan bi Yati yang saat ini sedang menyiapkan masakan.
Padahal sejak semalam hingga seharian ini dia tampak begitu gusar setelah meninggalkan rumah dalam keadaan marah. Tentu saja ia tidak terima orang yang sudah membuatnya seperti ini, masih bisa menyunggingkan bibirnya.
Kedua tangannya terkepal kuat. Tatapannya seolah mampu membelah seorang gadis yang kini sedang duduk di kursi dengan tangan sedang memotong sayuran.
Tidak ingin kedua orang itu mengetahui keberadaannya di sana, Bian pun berbalik dan berjalan menaiki tangga.
Di bawah guyuran air yang berjatuhan di atas kepalanya, laki-laki itu kembali mengeram kesal saat senyuman Nay kembali melintas di pikirannya.
Cantik. Mungkin kata itu pantas untuk menggambarkan perasaannya yang dulu sebelum mengetahui rahasia istrinya di malam pertama mereka.
Sejak pandangan pertama pun, dia sudah terpikat oleh kecantikan dan keanggunan yang terpancar di wajah gadis yang kini sudah menjadi istri sahnya tersebut.
Ia masih ingat. Saat pertama kali melihat Nay saat bertandang ke kebun teh di desa kelahirannya beberapa bulan yang lalu.
Saat itu ia sedang menyusuri perkebunan teh miliknya. Tepatnya milik orangtua yang diwariskan padanya. Setiap beberapa bulan sekali ia selalu melihat perkembangan kebun teh tersebut. Meski dia sudah menunjuk seseorang untuk mengelolanya tapi tetap sesekali meninjau langsung sekaligus menjernihkan pikiran disaat penat menghampiri setiap rutinitasnya di kota.
Di tengah hamparan perkebunan teh yang membentang luas ada pemandangan yang lebih menyegarkan matanya. Seorang gadis muda yang duduk di bawah pohon yang cukup rindang bersama seorang pria paruh baya.
Keduanya tampak begitu akrab. Tanpa terasa naluri membawa langkahnya untuk mendekat. Semakin dekat kecantikan itu benar-benar terlihat begitu nyata. Separuh rambut panjangnya menutupi wajah akibat sapuan angin yang membelainya.
Saat gadis itu tersenyum seolah mengajak siapapun untuk ikut tersenyum. Begitupun dengan Bian. Untuk pertama kalinya laki-laki matang itu terpikat oleh sosok gadis desa yang membuatnya ingin langsung memilikinya.
Laki-laki itu baru tersadar setelah seseorang menyapanya. "Tuan. Maafkan saya, saya hanya beristirahat sebentar. Putri saya sengaja mengirimkan makanan karena tadi pagi saya melewatkan sarapan."
Laki-laki paruh baya itu bangun dan berdiri diikuti anak gadisnya. Dia mengira pemilik perkebunan tersebut berniat menegurnya karena sudah berani bersantai ditengah-tengah pekerjaaan.
"Maafkan saya, Tuan. Saya berjanji hal ini tidak akan terulang lagi." Berkali-kali laki-laki itu menundukkan kepalanya.
"Eum, tidak pak. Tidak apa-apa. Saya kesini bukan karena itu. Eum, anu, sebaiknya bapak lanjutkan saja makannya. Kalau begitu saya harus kembali," jawab Bian kikuk.
"Tidak, Tuan. Saya sudah menghabiskan makanan saya. Saya yang harus kembali bekerja. Saya permisi, Tuan." Laki-laki paruh baya itu menoleh pada anak gadisnya. "Nay, sebaiknya kamu pulang ke rumah. Bapak sudah selesai makannya."
Gadis itu mengangguk lalu membereskan tempat makan yang memang sudah kosong.
Bian tidak melepaskan pandangan dari gadis itu. "Ini putri bapak?" tanyanya spontan.
"Iya Tuan."
Barulah laki-laki paruh baya itu menyadari tatapan Bian yang sejak tadi tertuju pada putrinya.
"Kalau begitu, Nay pulang ya pak. Tuan, saya permisi," pamit gadis itu yang ternyata adalah Nayara.
Sejak saat itu Bian tidak buru-buru pulang ke kota seperti biasanya. Jika dulu laki-laki itu hanya satu atau dua hari, kini ia putuskan akan lebih lama tinggal di desa tersebut.
* * *
"Non, Tuan itu tidak pernah membawa wanita manapun ke rumah. Sekalinya bawa, langsung boyong seorang istri," celotehan bi Yati yang mampu menghentikan tawa ceria diwajah Nay.
"Kenapa? Non, tidak percaya?"
Bi Yati melihat perubahan wajah istri majikannya. "Bibi bersumpah Non. Tuan laki-laki baik yang menjaga kehormatannya. Waktu beliau hanya dihabiskan untuk berkerja dan berkerja. Bibi dulu sempat khawatir, kalau Tuan tidak akan tertarik dengan pernikahan. Untunglah Bibi lega saat ini, ada Non Nay yang akan mendampingi Tuan."
Nay meremas gaunnya erat. Perkataan bi Yati seolah menaburkan garam ke dalam luka yang memang sedang menganga. Bukan cuma rasa sakit, tapi sesal dan rasa bersalah yang lebih mendominasi perasaannya saat ini.
"Oh ya, Non. Kapan Non bertemu dengan Tuan. Hehe, bibi jadi kepo bagaimana Tuan bisa sampai mempersunting Non hingga menjadi seorang istri," ucap bi Yati terlihat antusias.
Gadis itu tersenyum lembut meski terselip kegetiran.
Ya. Siapa yang menyangka laki-laki kota yang terbilang mapan dan tampan bisa jatuh cinta pada seorang gadis desa yang polos tanpa polesan makeup di wajahnya.
Kabar kedatangan pemilik perkebunan teh selalu menggemparkan gadis-gadis di desa. Selain para gadis, para orangtua pun bermimpi agar seorang Fabian Wiratama sudi melirik anak gadis mereka.
Tapi semua itu tidak berlaku untuk Nayara. Dia yang merasa cukup mendapatkan cinta dari seorang pemuda tampan nan sederhana. Bahkan mereka sudah menjalin hubungan cukup lama dan orangtua kedua belah pihak pun sudah mengetahui hubungan mereka bahkan merestuinya.
Tapi siapa sangka, hubungan yang sudah berjalan tiga tahunan itu harus berakhir dengan kekecewaan. Kekasihnya yang pergi ke kota, dengan teganya ingkar janji dan memutuskan hubungan mereka hanya dengan sepucuk surat.
Karena desakkan orangtua akhirnya Nay menerima pinangan Fabian ditengah hatinya yang hancur.
Tapi tentu Nay tidak akan pernah lupa. Apa yang sudah mereka lakukan sebelum kekasihnya pergi.
Keputusannya saat itu benar-benar menghancurkan masa depannya saat ini. Omong kosong dengan cinta dan kepercayaan. Nyatanya semua manusia akan berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi mereka.
Dan, Nayara sudah membuktikan hal itu. Kini pernikahan yang bahagia itu hanya angan-angan belaka. Ia akan menerima setiap hukuman dan celaan dari suaminya karena ia merasa itu memang pantas ia dapatkan.
Sejak pertemuan pertama mereka tempo hari, Fabian semakin penasaran akan sosok gadis cantik tersebut.
Saat ini ia sedang duduk bersantai di teras rumah. Tepatnya sebuah villa yang terletak tidak jauh dari area perkebunan teh miliknya.
"Mang kemari sebentar," panggil Bian pada laki-laki paruh baya yang ia percaya untuk menjaga villanya.
Laki-laki paruh baya itu tergopoh mendekat. "Iya, Den. Ada perlu apa?"
Fabian terlihat ragu untuk bertanya. Tapi rasa keingintahuannya mengalahkan egonya. "Eum, apa Mamang tau seorang gadis yang saya temui di kebun teh tempo hari?"
Laki-laki paruh baya itu nampak berpikir sejenak. "Itu Mang, yang mengirim makanan pada ayahnya tempo hari. Mamang lihat juga kan?"
Ya. Saat itu Mang Sapto ikut bersama Fabian untuk meninjau perkebunan teh.
Sebuah senyum tergambar saat dia berhasil mengingat siapa seseorang yang sedang majikannya tanyakan. "Tentu atuh, Den. Neng cantik dan lentik itu. Mana mungkin Mamang bisa lupa, hehe."
"Mamang tau namanya?" tanya Fabian antusias.
"Tau atuh, Den. Neng Nayara memang cukup terkenal di desa ini. Selain cantik, dia juga terkenal ramah dan baik pada semua orang. Semua pemuda dan para orangtua menginginkannya untuk menjadi istri dan menantunya, Den."
"Jadi namanya Nayara, ya, Mang?"
"Iya, Den. Putri salah satu pegawai yang bekerja di perkebunan teh. Memangnya ada apa Den? Jangan-jangan Den Bian naksir ya sama neng Nay?" tebak Mang Sapto.
"Ah, si Mang bisa saja nebaknya," sanggah Bian.
"Iya juga gak papa atuh, Den. Neng Nay itu sangat cocok jika bersanding dengan Aden yang tampan. Serasi. Jika disatukan tuh pokoknya bikin mata Mamang silau," seloroh Mang Sapto.
"Mamang bisa aja."
Wajah Fabian bersemu. Mendengar perkataan Mang Sapto. Membayangkannya saja mampu membuat debaran jantungnya menguat.
'Ah, ini gila. Kenapa hatiku berdebar seperti ini. Apa benar aku jatuh cinta pada gadis itu?'
"Bagaimana Den. Apa perlu Mamang antar ke rumahnya sekalian?"
"Hayu lah, Mang. Kita gas kan!" jawab Bian secara spontan. "Eh, tapi tunggu Mang. Jangan terburu-buru. Pelan-pelan saja. Kita harus pendekatan dulu. Jangan langsung tancap gas."
"Terserah Den Bian saja. Mamang mah ikut saja. . .."
Sejak saat itu ayah Nayara selalu membawa bingkisan yang ia bawa pulang ke rumah. Entah itu camilan, buah-buahan dan bahan pokok makanan.
Seperti sore ini. Pak Jaya masuk ke rumah dengan membawa buah tangan seperti hari-hari sebelumnya. "Bapak bawa apalagi hari ini?" tanya sang istri.
Pak Jaya menaruh bingkisan itu di atas meja. "Sini duduk, Bu. Dan panggilkan Nay juga." Laki-laki itu memasang wajah seriusnya saat ini.
"Ada apa si Pak? Kok hari ini wajah bapak kelihatan tegang gitu?"
"Ada sesuatu yang ingin bapak sampaikan pada kalian. Sekarang panggil Putri kita kesini." Perintah pak Jaya untuk kedua kalinya.
Tidak lama istri pak Jaya dan Nayara keluar dari dalam kamar. Kini mereka bertiga duduk di kursi kayu yang sudah usang.
"Ada apa Pak?" Kali ini Nayara yang bertanya. Ia juga melihat wajah ayahnya yang terlihat tegang.
Sebelum memulai obrolan, laki-laki paruh baya itu nampak menarik nafasnya dalam. "Seperti dugaan bapak. Ternyata semua bingkisan yang diberikan dari Den Bian itu ada maksud tersembunyi."
Deg.
Walaupun hanya sebuah sangkaan. Tapi Nayara sudah bisa menebak arah pembicaraan ayahnya saat ini. Dan ia berharap kini dugaannya salah.
"Den Bian mengutarakan maksudnya yang ingin mempersunting kamu Nay. Beliau memilihmu untuk menjadi istrinya," jelas pak Jaya.
Semua orang kini terdiam dengan pikirannya masing-masing. "Bagaimana ini pak?" tanya ibu Nayara.
"Kita serahkan saja semuanya pada putri kita, Bu. Karena Nayara lah yang akan memutuskan semuanya."
Kedua orangtuanya kini menatap penuh harap pada anak gadisnya. Tapi, gadis itu malah menggeleng dengan kedua matanya yang mulai mengembun.
"Tidak, Pak, Bu. Nay tidak bisa menerima lamaran Den Bian. Bapak sama ibu tau sendiri kan, Nay sudah punya kekasih. Seperti janji kak Dev, dia berjanji akan segera melamar Nay jika dia sudah berhasil di kota." Gadis itu menunduk menyembunyikan kegundahan hatinya.
Kedua orang tuanya saling tatap. Ibu Nayara memberikan isyarat dengan anggukan kepala.
"Baiklah kalau begitu, Nay. Sekarang beritahu kekasihmu. Suruh dia datang untuk melamar mu secepat mungkin. Jika dia tidak bersedia. Maka bapak yang akan memutuskan bagaimana kedepannya."
"Baik, Pak. Nay akan berusaha memberi tau kak Dev bagaimanapun caranya."
Karena keterbatasan ekonomi Nayara tidak pernah memegang ponsel dan dia merasa barang itu tidak diperlukan. Dia bukan gadis yang suka bergaya apalagi berhura-hura. Dia cukup tahu diri dengan keadaannya saat ini.
Dibesarkan dari kedua orangtua yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa. Nenek, kakek ataupun sanak saudara. Pekerjaan ayahnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Bahkan Nayara pun harus putus sekolah dan menutup hati yang ingin mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
Akhirnya gadis itu memutuskan untuk mengirim surat, berharap dengan pesan tertulis itu bisa tersampaikan niat dan perasaannya.
Pagi-pagi sekali dia sudah mendatangi rumah ibunya Dev, kekasih Nayara. Kedatangannya disambut hangat.
"Neng, ibu senang kamu kemari. Sudah lama ya, sejak Dev ke kota. Sejak saat itu ibu merasa kesepian." Tatapan wanita paruh baya itu menerawang jauh, seolah membayangkan sesuatu yang begitu ia rindukan.
"Iya Bu. Maaf. Nay tidak pernah mengunjungi ibu."
"Tidak papa Neng. Ibu maklum. Oh ya, ada tujuan apa kamu kemari?"
Gadis itu mengeluarkan sepucuk surat yang sudah terbungkus amplop berwarna merah muda. "Ini Bu. Nay ingin mengirim surat untuk kak Dev. Tapi Nay tidak tau harus kemana dan bagaimana cara mengirimnya," ucap gadis itu apa adanya.
Ya. Nayara memang gadis yang polos, entah itu penampilan dan pengetahuan. Tapi walaupun begitu, wanita paruh baya itu tahu kalau anak lelakinya lah yang memang tergila-gila pada gadis tersebut.
Beliau nampak termenung. "Entah memang ini kebetulan, karena besok pamannya Dev akan kembali ke kota. Ibu bisa memintanya untuk memberikan suratmu pada putra ibu."
Gadis itu terlihat berbinar. "Sungguh Bu. Ah, syukurlah. Kalau begitu Nay titip suratnya ya Bu."
Wanita paruh baya itu mengangguk, dia menerima surat tersebut dan melanjutkan obrolan ringan mereka.
* * *
Hari berikutnya surat itu sudah berada di kota. Meski masih berada ditangan pamannya Dev.
"Ada perlu apa kamu kesini, Man?" Seseorang berdiri di atas tangga menghadang nya.
"Eum, anu Mas. Apa Dev ada di rumah?" Langkahnya terhenti yang hendak menaiki tangga menuju kamar keponakannya.
"Kenapa? Dev belum pulang. Dia masih di kantor."
"Baiklah, kalau begitu aku kembali besok saja."
Langkahnya terhenti saat hendak berbalik. "Apa yang kamu bawa di tanganmu itu?" Seseorang itu turun menapaki tangga.
"Apa? Tidak ada apa-apa, Mas." Paman Dev berusaha menyembunyikan di belakang punggungnya.
"Cih, aku bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi, Man. Berikan. Apa yang kamu sembunyikan di tanganmu itu."
"Mas, ini titipan dari ibunya Dev. Dan beliau berpesan untuk diberikan pada putranya langsung."
Tentu saja perkataan adiknya menambah rasa penasaran. Ya. Dia adalah ayahnya Dev.
"Berikan! Aku harus tau lebih dulu yang diberikan Naumi pada putraku. Karena Dev, adalah tanggung jawabku selama disini." Ayahnya Dev mengulurkan tangannya untuk meminta surat tersebut.
"Tapi, Mas-" kata-katanya terhenti karena mendapatkan tatapan tajam. Paman Dev menelan ludahnya kering. Akhirnya ia pasrah. Kini surat itu sudah berada ditangan yang tidak seharusnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!