Michelle mencengkeram dada yang terasa begitu nyeri. Wajahnya mengerut penuh derita, alis bertaut dan bibir gemetar menahan nyeri yang menusuk. Kaos putih yang menempel di kulit, kini basah di bagian dada.
“Sakit sekali...” lirihnya sambil air mata mulai mengalir, meski ia berusaha keras menahannya agar tidak pecah menjadi tangisan.
Dengan gerakan terburu, tangannya meraba-raba bagian bawah kaos, lalu mengangkat keatas, memperlihatkan bra hitam yang kini menyesakkan daging dadanya yang memar.
Michelle melangkah terseok menuju meja kecil di sudut kamar, tangan gemetar membuka tas hitam. Dia mengeluarkan pompa ASI, jari-jarinya gemetar saat menggenggamnya sebelum kembali ke tepi ranjang.
Sejak umur 14 tahun, Michelle dengan tubuh yang tampak biasa saja, namun menyimpan rahasia yang sangat jarang dimiliki oleh anak seusianya. Tubuhnya secara alami menghasilkan ASI, sebuah kondisi langka yang membuatnya berbeda dari kebanyakan perempuan.
Meski demikian, Michelle menjaga rapat rahasia ini karena takut dianggap aneh atau malah dituduh telah hamil. Hanya Sari, pembantu sekaligus pengasuhnya sejak ibunya meninggal, yang mengetahui hal ini dan selalu menjadi tempat Michelle bersandar.
Michelle duduk membelakangi pintu, tubuhnya sedikit membungkuk di tepi ranjang yang luas. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka bra, memperlihatkan kedua dadanya yang besar dan sintal, kulitnya memerah karena menahan sakit.
Perlahan, ia memompa payudaranya, mengeluarkan tetesan ASI yang kental, sementara air matanya terus mengalir tanpa suara, menahan sakit yang membekas di hatinya. Kesunyian kamar itu semakin menyiksa, tak ada seorang pun yang bisa ia ajak berbagi atau mengeluh.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan cepat. Refleks, Michelle segera meraih kaosnya dan menutup asetnya yang berdenyut, wajahnya membara malu dan takut. Namun, sudah terlambat—sosok yang masuk sudah memandanginya dengan mata terbuka lebar, seolah menangkap rahasia terdalam yang selama ini ia sembunyikan.
Roslina melangkah pelan, mendekati kursi tempat Michelle duduk membungkuk, wajahnya membara oleh malu yang dalam. Bibir Michelle mengigit kuat, kebiasaan lamanya saat rasa gugup mendera. “Nona, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Roslina dengan nada cemas.
Michelle hanya mengangguk pelan, tubuhnya tertutup erat oleh baju yang fi peluknya seolah mencoba melindungi dadanya. Rasa sakit kembali berdenyut dari dada itu, isakannya kian membesar hingga Roslina tak kuasa menahan iba.
Ia meletakkan tangan lembut di bahu Michelle—sentuhannya membuat gadis itu terkejut. “Jangan takut, nona. Aku tidak akan menyakitimu,” bisik Roslina, suaranya hangat menyusup ke dalam keraguan Michelle. Perlahan, Michelle menengadahkan kepala, mata sembabnya bertemu dengan tatapan penuh kehangatan.
“Tolong ceritakan padaku, supaya aku bisa mengerti dan tidak melompat pada pikiran-pikiran yang salah. Kenapa anda mengeluarkan ASI? Apakah Anda sudah punya anak sebelumnya?” Roslina berjongkok, menatap pompa ASI yang tergeletak di samping kursi itu dengan penasaran dan simpati.
Michelle menarik napas dalam, suaranya nyaris berbisik namun tegas, “Sejak umurku 14 tahun, aku bisa mengeluarkan ASI. Hormonku berbeda, dan aku bersumpah, aku tidak pernah memiliki anak.”
Roslina menunduk perlahan, bibirnya tersungging senyum hangat saat tangannya mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Michelle. Matanya memancarkan rasa iba yang tulus, seolah ingin menyampaikan bahwa segala beban itu tak harus dipikul sendiri.
"Tenanglah, Nona," suaranya lembut namun penuh keyakinan, "saya mengerti keadaan seperti ini. Di kampung saya dulu, saya pernah melihat gadis muda yang harus melewati masa sulit serupa. Jangan takut, itu bukan sesuatu yang berbahaya."
Michelle menatap tajam ke mata Roslina, mencari ketulusan dan kekuatan di balik kata-kata itu. Ada kehangatan dan kesamaan dengan Sari, seakan Roslina menjadi jembatan penghibur di tengah kesunyian hatinya.
Sesaat, beban di dada Michelle terasa sedikit lebih ringan, dan ia mulai merasakan bahwa dirinya tidak benar-benar sendiri di rumah mewah ini.
Michelle menatap Roslina dengan mata penuh harap dan suara yang bergetar, "Tolong, jangan beritahu siapa pun... termasuk Om Al. Aku sangat malu, Bibi."
Roslina membalas dengan senyum lembut yang menenangkan. "Tenang saja, semua ini akan aku rahasiakan. Jangan menangis, Nona. Air mata itu hanya membuat wajahmu tambah sayu." Ia kemudian meraih pompa ASI dengan sigap, tanpa ragu. "Sekarang, lanjutkan saja pekerjaan yang sempat tertunda itu. Aku akan menemanimu. Jangan malu."
Michelle mengangguk pelan, isak tangisnya masih terdengar saat ia mulai memompa. Rasa malu menggelayuti dadanya yang terlihat jelas di depan wanita paruh baya itu, namun di balik itu semua, sebuah kelegaan mendalam menghampiri — karena masih ada seseorang di rumah ini yang benar-benar mengerti apa yang tengah ia alami.
"Terima kasih, Tuhan," batin Michelle terharu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments