Hidup masing-masing

Mobil hitam berkilau itu meluncur pelan di jalan beraspal halus, berhenti tepat di depan mansion bergaya Eropa yang megah. Pintu terbuka, dan Alfred keluar dengan langkah mantap, wajahnya tetap dingin dan tajam, mata birunya menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun mengendurkan ketegasan.

Di sebelahnya, Michelle duduk membisu, tangan kecilnya menggenggam erat tas. Usianya yang baru 17 tahun terpancar jelas dalam ekspresi takut yang tak mampu disembunyikan.

Beberapa jam lalu, mereka resmi menjadi suami istri dalam sebuah pernikahan diam-diam yang hanya Alfred yang dikenal publik telah menikah tanpa mengetahui siapa pasangan pria itu.

Foto pernikahan itu tersebar—Alfred berdiri gagah mengenakan jas putih, sementara sosok Michelle terlihat membelakangi kamera, tubuhnya yang ramping tertutup gaun putih. Bahkan gaun yang awalnya akan di pakai oleh Elena sangat kebesaran di tubuh Michelle yang kurus.

Michelle menundukkan kepala, takut bertemu tatapan suami yang dingin dan tak ramah itu. Dia merasakan denyut jantungnya berpacu, namun suara Alfred yang berat dan tanpa ekspresi memecah keheningan, “Ikut saya.” Suaranya datar, tanpa kehangatan, seolah menyampaikan perintah, bukan ajakan.

Michelle hanya mengangguk pelan, langkahnya tertatih mengikuti pria yang kini menjadi suaminya—seorang lelaki yang usianya jauh lebih tua. 

Michelle menunduk, langkah kakinya kecil dan terbata mengikuti jejak lebar Alfred yang berjalan di depannya tanpa menoleh. Tas yang digendongnya terasa berat di bahu, sementara kedua tangannya sibuk memilin ujung bajunya dengan gelisah.

Dari ruang utama, para pelayan—pria dan wanita—berdiri rapi, seragam mereka bersih dan rapi, menyambut dengan serentak, "Selamat kembali, Tuan." Suara mereka menggema.

Dengan ragu, gadis itu mengangkat kepalanya, mencoba menangkap ekspresi Alfred, namun wajah lelaki itu tetap beku, tak sedikit pun menampilkan kehangatan atau sapaan.

Mereka akhirnya tiba di sebuah lift yang dingin dan tertutup rapat. Michelle berdiri kaku di belakang Alfred. Dari dekat, aroma khas yang selalu melekat pada Alfred—harum maskulin dengan sedikit sentuhan kayu dan rempah—menguar samar, menusuk hidung Michelle dan membuat dadanya berdebar tak beraturan. 

Lift akhirnya berhenti dengan bunyi “ding” yang halus, pintunya terbuka lebar memperlihatkan sebuah koridor yang remang. Alfred melangkah keluar dengan langkah mantap, diikuti oleh Michelle yang berjalan tertatih-tatih, matanya belum bisa lepas dari sosok pria di depannya.

Mereka tiba di sebuah ruangan di pojok. Begitu pintu terbuka, udara harum menyeruak lembut, mengisi ruangan yang dipenuhi rak buku tinggi berderet rapi, meja kerja besar dengan tumpukan dokumen, sebuah sofa empuk berwarna gelap, dan televisi layar datar yang terpajang di dinding.

Alfred melepas jasnya, menyisakan kemeja putih yang menempel pas di tubuh atletisnya, lalu duduk santai di kursi besar di balik meja. Tatapannya tajam menatap Michelle yang masih berdiri kaku di ambang pintu. “Mau sampai kapan kau berdiri?”

Michelle tersentak, dadanya berdebar, lalu mengangguk pelan tanpa suara. Ia melangkah gontai, seolah berat untuk menggerakkan kakinya sendiri, lalu duduk dengan posisi kaku di kursi yang disediakan tepat di depan meja Alfred.

Alfred menatap tajam ke arah Michelle yang duduk di seberangnya, kepala gadis itu tertunduk begitu dalam.“Lehermu akan patah kalau kau terus menunduk. Angkat kepalamu,” perintah Alfred dengan suara datar.

Perlahan, Michelle mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu tepat di tengah ruangan yang hening itu. Alfred menautkan kedua tangannya di atas meja kayu tua, menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau masih ingat apa yang kukatakan dua tahun lalu, saat kita bertemu?”

Michelle menghela napas panjang, menjawab dengan suara pelan, “Kau bilang kau akan menjadikanku budak.”

Senyuman tipis muncul di sudut bibir Alfred, “Ingatanmu begitu hebat,” katanya pelan, “Jadi...” lanjutnya dengan nada menggantung, menunggu kelanjutan kalimat itu.

Michelle menundukkan kepala lagi, suara lirihnya hampir tidak terdengar, “Aku sadar, aku hanya istri di atas kertas.”

Alfred menatap Michelle dengan senyum miring yang penuh arti, matanya menyiratkan kepercayaan diri sekaligus ancaman terselubung. "Ternyata kau begitu sadar diri," ucapnya pelan namun tegas.

"Kau bebas tinggal di sini, lakukan apa pun yang kau mau, asalkan tidak memalukanku. Aku takkan menyentuhmu—kau akan jadi istriku hanya jika aku membutuhkannya, dan itu pun dengan sebuah status."

Michelle menunduk sejenak, lalu mengangguk pelan. "Saya paham," jawabnya dengan suara tenang.

Alfred melanjutkan, "Tenang saja, uang sekolahmu sudah lunas sampai kau lulus. Uang makan juga sudah aku siapkan."

Michelle menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bertanya, "Apa aku boleh kerja? Aku sudah merasa nyaman dengan pekerjaanku sekarang."

Alfred mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. "Boleh saja, asal jangan sampai merusak reputasiku. Aku tidak ingin ada masalah yang bisa mencemarkan nama baik ku."

Michelle mengangguk sekali lagi.

Alfred dengan cepat meraih telepon di meja kerjanya, suaranya tegas dan penuh tekanan saat memerintahkan, "Ke ruang kerja saya sekarang." Ia langsung mematikan telepon tanpa menunggu balasan dari seberang sana.

Matanya yang tajam beralih menatap Michelle dengan intens, "Apa kau ingin menambahkan sesuatu?"

Michelle hanya menggeleng pelan, bibirnya menutup rapat tanpa sepatah kata pun keluar, memperlihatkan sikap tenang.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu yang lembut, Alfred tanpa mengalihkan pandangannya berkata, "Masuk."

Kepala pelayan yang sudah paruh baya, Roslina, melangkah masuk dengan sikap sopan dan sedikit menunduk sebagai tanda hormat. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" tanyanya dengan suara rendah dan sopan.

Alfred mengangguk singkat sambil menunjuk ke arah Michelle, "Tunjukkan kamarnya."

Roslina membalas dengan senyum ramah, "Baik, Tuan Muda. Mari, Nona," serunya sambil membuka pintu, mengantar Michelle keluar dari ruang kerja itu dengan langkah yang anggun.

Michelle mengikuti kepala pelayan itu dengan langkah hati-hati, wajahnya menunduk canggung. Matanya menangkap tatapan beragam dari para pelayan yang berkumpul di lorong; ada yang menatapnya dengan sinis, ada pula yang tampak heran, bahkan beberapa menyipitkan mata penuh curiga.

Namun, Michelle memilih untuk acuh tak acuh, menekan rasa tidak nyaman yang perlahan merayap. Saat mereka tiba di depan sebuah pintu, kepala pelayan itu membuka dan mempersilakan Michelle masuk.

Begitu melangkah ke dalam kamar, napas Michelle terhenti sejenak. Ruangan itu begitu mewah dan luas, seperti suite hotel bintang lima yang sering ia lihat di majalah. Tirai berat berwarna emas berkelir cahaya matahari yang masuk dari jendela besar, perabotan antik berlapis ukiran halus, dan karpet tebal yang menutupi lantai membuat suasana terasa hangat sekaligus megah.

Lampu kristal menggantung di tengah ruangan, memancarkan kilauan yang menambah kemewahan tanpa berlebihan.

"Nona, mulai sekarang kau akan tidur di sini. Jika kau membutuhkan sesuatu, hubungi aku lewat telepon ini." Ia menunjukkan sebuah telepon rumah berdesain klasik berwarna ivory dengan tombol-tombol berlapis emas.

Michelle mengangguk dengan sopan, bibirnya membentuk senyum kecil penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Bu," jawabnya ramah, matanya menatap sekeliling kamar sekali lagi, masih sulit mempercayai dirinya bisa berada di tempat seperti ini.

Roslina menatap Michelle dengan senyum hangat yang memancar dari matanya. “Jangan sungkan, nona. Anda Tidak sendiri, saya akan menjadi teman bicara nona,” ucapnya lembut, suaranya penuh kasih sayang yang mampu meredakan kegugupan Michelle.

Michelle mengangguk perlahan, dada terasa lega seolah beban berat mulai terangkat. Roslina mengedipkan mata sambil tersenyum, “Saya tinggal dulu ya. Selamat istirahat, nona.” Setelah itu, Roslina keluar dari kamar dengan langkah tenang.

Michelle duduk di tepi ranjang, tangannya perlahan melepaskan tas yang selama ini menempel erat di tubuhnya. Ia menarik napas dalam, matanya menatap sekeliling kamar yang luas dan nyaman—kontras jauh dengan kamarnya yang dulu, sempit.

"Disini lebih baik, daripada di kamar kecil rumah paman," lirih Michelle, lalu tiba-tiba kedua dadanya berdenyut nyeri.

"Aw... sakit!"

Episodes
1 Pertemuan tak terduga
2 Menerima begitu saja
3 Hidup masing-masing
4 Asi gadis SMA
5 Reputasi lebih penting
6 Dia berbeda
7 Kebebasannya berkurang
8 Diam-diam terpesona
9 Apa Om Al menginginkan ku?
10 Ternyata jarang pulang
11 Pengeboman sadis
12 Perdebatan Michelle dengan pelayan
13 Hanya mereka yang berani meledek Alfred
14 Michelle mengira Alfred memiliki anak
15 Nona bukan pembawa sial
16 Elena ditemukan
17 Tidur bersama
18 Kesalahpahaman Michelle
19 Kecelakaan besar di masa lalu
20 Perhatian halus
21 Surat panggilan dari kepala sekolah
22 Baby Serena bukan anak om Al?
23 Terbongkar sudah rahasia Michelle
24 Ceramah bermutu dari Jolina
25 Michelle kerabat istri pamanmu
26 Tercyduk oleh suami
27 Alfred yang iseng
28 Terjadi penyerangan
29 Alfred mulai posesif
30 Ada monster di dirinya
31 Alasan Alfred marah
32 Tatapan gairah +
33 Deep talk ++
34 Mirip seseorang yang di cari
35 Menanyakan tentang keberadaan Elena
36 Apakah aku terlalu percaya diri?
37 Bocilku mana?
38 Bayi besar milikmu
39 Paman... bibi kecil di culik!
40 Otak penculikan sebenarnya
41 Berusaha kabur
42 Penyiksaan tak kunjung berhenti
43 Bakar!
44 POV. MICHELLE
45 Satu ginjal?
46 Menjadi seorang anak kecil
47 Pembalasan yang begitu sadis
48 Menjemput gadis kecilnya
49 Jadi... kamu adalah dia?
50 Asal-usul jaket itu
51 Serangan balik
52 Huh...Mandi air dingin lagi
53 Kedatangan polisi
Episodes

Updated 53 Episodes

1
Pertemuan tak terduga
2
Menerima begitu saja
3
Hidup masing-masing
4
Asi gadis SMA
5
Reputasi lebih penting
6
Dia berbeda
7
Kebebasannya berkurang
8
Diam-diam terpesona
9
Apa Om Al menginginkan ku?
10
Ternyata jarang pulang
11
Pengeboman sadis
12
Perdebatan Michelle dengan pelayan
13
Hanya mereka yang berani meledek Alfred
14
Michelle mengira Alfred memiliki anak
15
Nona bukan pembawa sial
16
Elena ditemukan
17
Tidur bersama
18
Kesalahpahaman Michelle
19
Kecelakaan besar di masa lalu
20
Perhatian halus
21
Surat panggilan dari kepala sekolah
22
Baby Serena bukan anak om Al?
23
Terbongkar sudah rahasia Michelle
24
Ceramah bermutu dari Jolina
25
Michelle kerabat istri pamanmu
26
Tercyduk oleh suami
27
Alfred yang iseng
28
Terjadi penyerangan
29
Alfred mulai posesif
30
Ada monster di dirinya
31
Alasan Alfred marah
32
Tatapan gairah +
33
Deep talk ++
34
Mirip seseorang yang di cari
35
Menanyakan tentang keberadaan Elena
36
Apakah aku terlalu percaya diri?
37
Bocilku mana?
38
Bayi besar milikmu
39
Paman... bibi kecil di culik!
40
Otak penculikan sebenarnya
41
Berusaha kabur
42
Penyiksaan tak kunjung berhenti
43
Bakar!
44
POV. MICHELLE
45
Satu ginjal?
46
Menjadi seorang anak kecil
47
Pembalasan yang begitu sadis
48
Menjemput gadis kecilnya
49
Jadi... kamu adalah dia?
50
Asal-usul jaket itu
51
Serangan balik
52
Huh...Mandi air dingin lagi
53
Kedatangan polisi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!