Laurenthia Talitha Athaya

Suara denting yang tercipta dari gelas dan sendok yang beradu menghadirkan harmoni yang mengisi kesunyian. Sorot risau mengisi tiap sudut wajahnya yang masih cantik meski telah menginjak usia kepala tiga. Sesekali dia menghela napas panjang, seolah begitu sulit untuk sekadar menghirup oksigen di sekitarnya.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkan Kirana. Sejauh ini, Chandra tidak pernah menempatkan Kirana pada kondisi berbahaya," kata Bintang mengambil posisi duduk di kursi yang berhadapan dengan Lauri. Jarak mereka hanya dibatasi oleh meja bundar saja.

"Nggak berbahaya katamu? Terakhir kali aku harus pergi ke kantor polisi karena Chandra berkelahi dengan preman pasar. Entah apa yang dipikirkan berandalan itu padahal dia hanya menumpang di dalam tubuh Kirana," rutuk Lauri dengan emosi yang meluap-luap.

Bintang tersenyum kecil mendengar ocehan sahabatnya itu. Meski sepuluh tahun sudah berlalu, di matanya Lauri tidak pernah berubah sama sekali. Dia masih seorang gadis yang cerewet seperti dulu.

"Bagiku, dia tetaplah Kirana. Kirana tidak sepenuhnya tidak sadar atas apa yang diperbuat Chandra. Chandra hadir sebagai tameng dan kekuatan Kirana untuk menjalani hidup yang keras ini," ujar Bintang memberikan sudut pandangnya sebagai seorang dokter kejiwaan yang telah menangani kasus Kirana selama dua tahun belakangan.

"Tapi sampai kapan, Bintang? Sampai kapan Kirana akan hidup dengan bantuan Chandra?" Suara Lauri terdengar risau.

"Chandra akan hilang, setelah Kirana ikhlas pada masa lalunya, dan ikhlas atas kepergian orang yang paling dia cintai. Kamu adalah kakaknya Kirana, Lauri. Kamu adalah orang yang paling paham dengan keadaan Kirana. Dalam kecelakaan yang merenggut nyawa Tante Anin sepuluh tahun yang lalu, Kirana merasa dialah penyebab kematiannya."

Lauri terdiam. Mencerna perkataan Bintang yang mengingatkannya pada insiden kecelakaan sepuluh tahun yang lalu.

Dia mengerti dengan kesedihan yang Kirana rasakan, sebab Kirana menjadi saksi atas kematian bunda mereka dengan mata kepalanya sendiri. Setelah kecelakaan itu, Kirana mengalami masa kritis yang cukup panjang.

Semua orang sangat mengkhawatirkan Kirana. Doa-doa tulus tidak pernah berhenti dan terus dipanjatkan, mengharap gadis malang yang kini telah yatim piatu itu segera siuman dan membuka matanya kembali.

"Aku paham, Bintang. Tapi, Kirana tidak bersalah. Tidak ada yang menyalahkannya atas kematian Bunda. Justru Bunda akan merasa sedih kalau melihat keadaan Kirana yang seperti ini."

"Semuanya butuh proses, Lauri. Rasa sakit itu tidak bisa hilang dalam sekejap. Ada yang butuh berpuluh-puluh tahun untuk mengikhlaskannya. Kadang juga, saat rasa sakit itu memudar, suatu kejadian memicu kembali rasa sakit itu, atau bisa kita sebut trigger. Sekarang yang bisa kita lakukan adalah selalu berada di sisi Kirana dan selalu mendukungnya. Kita tunjukkan pada Kirana, bahwa masih ada kita yang peduli dengannya."

Lauri menganggukkan kepalanya, tanda setuju dengan perkataan Bintang.

Benar. Hanya Kirana yang merasakan sakitnya, hanya Kirana yang tahu bagaimana rasa sakit itu. Adiknya itu adalah gadis yang sangat hebat, tetap bertahan hidup meski terus mengingat detik-detik kematian bundanya.

Rasanya egois jika Lauri memaksa Kirana untuk melupakan kejadian itu, dan hidup seperti tak pernah terjadi apa-apa. Sekarang apa pun yang akan terjadi kedepannya, Lauri akan selalu menjaga Kirana, karena hanya dialah keluarga dan orang tua yang bisa melindungi adik-adiknya.

"Terima kasih, Bintang. Kamu adalah satu-satunya orang yang bisa membuatku sadar. Kamu juga bersedia menjadi pendengar yang baik untukku. Kalau tidak ada kamu, aku tidak tahu ke mana akan berbagi cerita."

Bintang begitu khusyuk mendengar ucapan Lauri, terlebih menyaksikan senyum di wajahnya yang terlihat begitu lelah. Jauh di dalam hati kecilnya, dia sudah bertekad, akan menjaga Lauri dan membantunya dalam segala kesulitan dan masalah yang akan datang di masa depan. Sama seperti janjinya beberapa belas tahun yang lalu, sewaktu dirinya dan Lauri menginjak bangku sekolah menengah atas.

"Kamu mau ke mana, Lauri?" Tanya Bintang sambil mengekori Lauri, dan berusaha menyamakan langkah sahabatnya itu.

"Kamu nggak lihat, aku lagi sibuk nyiapin berkas buat tes masuk universitas," jawab Lauri terlihat agak jengkel karena sedang terburu-buru.

"Kamu rajin banget sih. Emang kamu mau masuk jurusan apa?"

Mendapat pertanyaan demikian, Lauri langsung menghentikan langkahnya, diikuti dengan Bintang yang ikut terdiam di tempat.

"Rajin banget katamu? Aku gak rajin, tapi kamunya yang terlalu malas. Sebentar lagi pendaftarannya mau tutup loh, kamu malah nyantai aja. Emang kamu nggak punya masa depan gitu, atau kamu mau jadi apa?" cerocos Lauri persis seperti ibu-ibu mengomeli anaknya.

"Emang benar, sih. Aku nggak tahu setelah ini mau lanjut ke mana. Makanya, aku nanya sama kamu, Lau," bantah Bintang sambil cengar-cengir sendiri.

Lauri menggeleng melihat kelakuan temannya ini. "Nih, kamu lihat sendiri. Aku mau daftar ke fakultas kedokteran. Aku mau jadi dokter spesialis organ dalam," beritahu Lauri sambil menyerahkan selembar kertas yang berisikan formulir rekomendasi pendaftaran universitas.

"Apa aku jadi dokter aja, ya?" tanya Bintang meminta pendapat.

Lauri menaikkan bahunya, dengan kedua ujung bibir yang turun ke bawah. "Itu sih terserah kamu. Kalau kamu sanggup, ya ... dicoba aja."

Bintang tampak berpikir. "Tunggu, aku mau ambil formulirku dulu."

Detik itu juga, Bintang langsung berlari dan masuk ke dalam kelasnya. Tak berapa lama, dia keluar dari kelas dengan membawa berkas di tangannya.

"Wah, siapa sangka, ternyata Mamang kita ini sudah mempersiapkan berkasnya?!" ledek Lauri.

"Aku memang sudah menyiapkannya, tapi aku belum mengisi formulirku. Sebelum kamu mengumpulkan formulirmu, kamu temani aku dulu," pinta Bintang, kemudian menarik tangan Lauri untuk ikut bersamanya. Mereka pergi ke taman sekolah.

"Kenapa kamu harus bingung? Memangnya kamu nggak punya minat di satu bidang gitu? Apalagi kamu kan jago matematika dan fisika, bisa aja kamu pilih teknik," pendapat Lauri.

Dia penasaran dengan jalan pikir sahabat sekaligus saingannya ini. Padahal, Bintang terkenal jago dalam segala hal. Entah akademis maupun olahraga, tapi kenapa soal beginian saja dia payahnya minta ampun.

"Aku nggak punya minat pada apa pun. Sekarang, karena kamu mau masuk kedokteran, aku juga akan masuk kedokteran. Aku akan memasukkan formulir ku di universitas yang sama denganmu," ucap Bintang mengutarakan isi hatinya.

"Mana bisa gitu! Aku tuh bosen ketemu kamu mulu. Masa nanti harus satu kampus juga!" protes Lauri menahan Bintang untuk tidak melanjutkan keinginannya yang ingin mendaftar di universitas yang sama dengan Lauri.

Dari masuk SMA sudah berteman dan selalu mendapatkan satu kelas yang sama, sekarang harus masuk universitas yang sama lagi? Apa pria itu tidak bosan bertemu dengannya? Seperti tidak ada manusia lain saja di bumi ini.

Lauri memandangi Bintang yang sedang serius mengisi formulir pendaftaran universitas. Pikiran Lauri melayang, memikirkan perjalanan panjang persahabatan mereka. Dari awal masuk SMA, mereka selalu berada di kelas yang sama, dan sekarang, tampaknya, akan melanjutkan ke universitas yang sama lagi. Bagaimana mungkin dia tidak bosan?

"Kenapa kamu terus mengikuti aku?" tanya Lauri, setengah bercanda namun juga setengah serius. "Apa kamu nggak bosan bertemu denganku setiap hari?"

Bintang berhenti menulis sejenak, menatap Lauri dengan senyum yang khas. "Bosan? Itu kan kamu, kalau aku sih nggak, ya."

Perkataan Bintang berhasil mengundang gelak tawanya. Bintang memang orang yang paling pandai dalam mendebat orang lain, tapi entah mengapa, perasaannya merasa hangat sekarang.

"Ya, aku tahu, itu memang hak kamu. Tapi tetap saja, kadang-kadang aku berpikir, apa nggak ada orang lain yang bisa jadi teman baikmu?"

Bintang mengangkat bahu. "Tentu saja ada. Tapi, tidak ada yang seperti kamu, Lauri. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Lagi pula, kita selalu punya cerita seru dan tantangan baru setiap hari. Kenapa harus mencari yang lain kalau yang sekarang sudah sempurna?"

Lauri terdiam, merenungi kata-kata Bintang. Memang benar, persahabatan mereka selalu penuh dengan petualangan dan dukungan satu sama lain. Meskipun kadang merasa bosan atau jenuh, Lauri tahu bahwa persahabatan mereka adalah sesuatu yang berharga.

"Baiklah, kamu menang," kata Lauri sambil tersenyum. "Kita memang tim yang tak terpisahkan, kan?"

Bintang tertawa mendengar perkataan Lauri. Seperti biasa, gadis ini tidak pernah peka dengan perasaan Bintang yang sudah seterang ini."Benar sekali. Jadi, ayo kita siapkan diri untuk petualangan berikutnya."

Meskipun perjalanan ke depan penuh dengan ketidakpastian, ketika memiliki seseorang yang bisa memberikan dukungan satu sama lain, maka tidak ada yang tidak bisa dihadapi. Bintang tak pernah memiliki keinginan besar yang begitu bertele-tele. Namun, sejak bertemu dengan Lauri, dia selalu ingin merasakan pengalaman baru yang menguji adrenalin.

Perasaan berdebar-debar setiap kali bersama dengan Lauri, menyadarkannya bahwa dia tidak pernah menganggap hubungan ini sebatas persahabatan semata. Tetapi lebih dari itu, dia sudah menjadikan Lauri sebagai tujuan hidupnya. Hanya dengan bersama Lauri, Bintang yakin bisa menghadapi masa depan.

Awalnya semua berjalan sesuai rencana. Lauri dan Bintang begitu bersemangat menanti hari pengumuman masuk universitas jalur tanpa tes. Namun, sesuatu yang tidak pernah terbayangkan terjadi. Di hari pengumuman tersebut, Lauri menerima kabar buruk, yang mengubah hidupnya.

Bersambung

Jum’at, 22 Agustus 2025

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!