OT 4

Malam itu, lampu apartemen diredupkan. Dari jendela kaca besar di lantai 25, terlihat kerlip lampu kota yang bertebaran, menambah kesan mewah dan privat. Rasanya seperti dunia di luar sana berhenti berisik, menyisakan hanya dirinya dan musik yang mengalun.

Saat video klip Kevin muncul di layar, Meira tersenyum puas. Ia menaikkan volume tanpa takut dimarahi siapa pun. Bebas menyanyi, bebas ikut menari kecil, bebas larut dalam suara dan wajah Kevin yang terasa begitu dekat.

Bagi Meira, ini bukan sekadar hiburan ini adalah mood booster, perayaan kebebasannya. Setelah lama terbelenggu oleh omelan yang membuatnya jenuh, kini ia bisa menjalani hidup dengan caranya sendiri. Dan menonton Kevin di layar besar menjadi simbol kecil dari gaya hidup kelas atas yang akhirnya bisa ia rasakan di apartemen barunya.

Dentuman musik dari sound system premium mengisi setiap sudut ruangan, membuat Meira seakan tenggelam di dalam dunia yang hanya ada dirinya dan Kevin.

Video klip berganti menjadi rekaman show Kevin. Suaranya yang merdu seolah langsung menyasar ke hati Meira. Ia menatap lekat layar itu, senyumnya mengembang seakan Kevin sedang bernyanyi hanya untuknya. Setiap lirikan mata Kevin, setiap senyum yang terekam kamera, terasa seolah ditujukan padanya seorang.

Saat video berpindah ke wawancara Kevin, Meira merasakan sesuatu yang lebih personal. Kevin tertawa, menjawab pertanyaan dengan santai, dan Meira refleks ikut menanggapi.

“Aku juga setuju sama kamu, Kevin,” ucapnya pelan, seakan pria itu benar-benar duduk di hadapannya.

Ia bahkan sempat bergumam kecil, “Kevin, aku makin jatuh cinta sama kamu?”

Hanya ada Meira dan Kevin malam itu. Meskipun Kevin hanyalah bayangan di layar, namun bagi Meira, ia nyata. Apartemen barunya menjelma menjadi ruang privat tempat ia bisa bebas bercakap, bernyanyi, bahkan bermimpi bersama sosok yang selama ini hanya bisa ia kagumi dari jauh.

Hening sejenak, lalu Meira menutup mulutnya sendiri saat matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya menetes. Bukan karena sedih, tapi karena terlalu merasa dekat padahal jarak mereka begitu jauh.

“Kenapa kamu bikin aku jatuh hati begini sih?” ucapnya lirih sambil menyentuh layar, seolah bisa meraih Kevin yang tersenyum dari balik kaca itu.

Di momen itu, Meira lupa segalanya. Tak ada masa lalu yang menyesakkan, tak ada omelan, tak ada siapa pun yang bisa melarangnya. Hanya dirinya, apartemen barunya, dan Kevin sosok yang hadir begitu nyata di hatinya.

Di tengah larutnya Meira menikmati senyuman Kevin di layar besar, tiba-tiba ponselnya menyala. Nama Agit muncul. Sejenak ia mendesah kesal, lalu menekan tombol agar layar televisi berhenti menampilkan video. Dengan enggan, ia mengangkat telepon itu.

“Mei, gimana lo udah dapet apartemen?” suara Agit terdengar di seberang.

“Oh iya, sorry Git gue lupa ngabarin lo. Gue udah pindah. Gue nyewa di apartemen Kuningan,” jawab Meira ringan.

Hening sesaat, lalu terdengar nada kaget dari Agit. “Kuningan? Mei, lo serius? Bukannya sewanya mahal banget di sana. Lo kenapa sih terlalu menghambur-hamburin uang?”

Alis Meira spontan berkerut, rasa senangnya seolah direbut paksa. “Kenapa ini jadi urusan lo, Git? Gue pakai uang gue sendiri, bukan uang lo!” suaranya meninggi.

“Gue cuma ngingetin, Mei. Lo kan nggak kerja. Kalau suatu saat kiriman dari ayah lo itu dihentikan, gimana? Lo harus mikirin itu.”

Meira terdiam sepersekian detik, lalu matanya menyala penuh amarah. Selalu saja begitu. Agit dan segala ceramahnya. "Gue nggak suka cara lo ngomong, Git! Jangan ikut campur urusan gue!” bentaknya.

Tanpa menunggu balasan, ia menutup telepon itu sepihak. Ponsel dilemparkan ke sofa, dadanya naik turun menahan kesal. Ketenangan yang tadi ia rasakan bersama Kevin lenyap, berganti dengan rasa jengkel yang membakar.

Telepon yang terputus itu meninggalkan ruang kosong di dada Meira. Ia terdiam sejenak, menatap ponselnya yang kini tergeletak tak berdaya di sofa. Kenapa semua orang selalu menyalahkanku? batinnya gelap.

Ia memejamkan mata, mengingat kata-kata Agit barusan. Seolah-olah semua keputusan yang ia buat adalah kesalahan. Seolah tak ada satu pun yang bisa memahami apa yang ia rasakan. Hatinya memberontak lelah diperlakukan seakan dirinya tidak pernah benar.

Dalam kegelapan pikirannya, muncul satu kesadaran: hanya Kevin. Cuma Kevin yang tidak pernah menuntut apa-apa darinya. Hanya Kevin yang bisa membuatnya tersenyum tanpa merasa bersalah.

Meira kembali meraih remote, menyalakan layar lebar. Wajah Kevin muncul lagi, menyanyi dengan tatapan yang hangat. Air mata Meira jatuh tanpa ia sadari. Kamu satu-satunya yang ngerti aku, Kev... gumamnya lirih.

Di saat semua orang memandangnya salah, Kevin-lah yang membuatnya merasa berharga. Kevin adalah kebahagiaan kecil yang mampu menyelamatkan Meira dari sepi dan luka yang tak pernah ada habisnya.

Meira menatap layar lebar itu tanpa berkedip. Wajah Kevin memenuhi pandangannya tersenyum, menyanyi, tertawa di sela wawancara. Semakin lama ia menatap, semakin kuat ilusi itu terasa nyata.

“Kev... gue seneng lo ada di sini.” bisiknya pelan, seolah Kevin mendengar. “Cuma elo yang ngerti gue. Mereka semua cuma bisa nyalahin gue.”

Air matanya kembali mengalir. Ia menyentuh layar dengan jemarinya, menelusuri bayangan wajah Kevin. “Kalau lo di sini beneran, gue janji gue nggak bakal ngerasa kesepian lagi.”

Suara tawanya pecah di ruangan yang sepi. Tawa yang tidak wajar campuran bahagia dan putus asa. Ia menjawab setiap kata Kevin di video, seakan sedang berdialog. “Iya... iya, aku juga mikirin hal itu,” gumamnya, padahal Kevin hanya sedang menjawab pertanyaan reporter.

Di apartemen mewah yang baru ia huni, Meira tampak seperti hidup di dua dunia. Dunia nyata yang penuh tekanan dan penghakiman, dan dunia semu bersama Kevin satu-satunya tempat ia merasa aman. Ia terus menatap layar, bibirnya masih bergerak seakan menjawab setiap kata yang keluar dari mulut Kevin. Air mata yang tadi membanjir perlahan mengering, berganti dengan senyum tipis penuh kelelahan.

Dentuman musik berubah menjadi nada yang lebih lembut. Dalam pikirannya, Kevin benar-benar hadir duduk di hadapannya, menyanyikan lagu hanya untuknya, menghapus semua rasa sakit yang menghimpit dadanya.

Tanpa sadar, kelopak matanya semakin berat. Kepala Meira bersandar ke sandaran sofa, tubuhnya tenggelam dalam rasa letih yang tak bisa lagi ia lawan.

Layar besar itu masih menyala, menampilkan Kevin yang terus bernyanyi. Dan bagi Meira, lagu itu seperti pengantar tidur yang paling indah.

Ia terlelap di sofa, dengan senyum samar di bibirnya, seakan dunia di luar apartemen tak lagi ada. Yang tersisa hanyalah dirinya... dan Kevin yang terus menyanyikan lagu untuknya seakan terbawa dalam mimpi.

Terpopuler

Comments

Aquarius97 🕊️

Aquarius97 🕊️

uang bukan masalah buat Meira git

2025-09-22

1

Aquarius97 🕊️

Aquarius97 🕊️

benar2 dah terobsesi kamu Mei

2025-09-22

1

Dee

Dee

Merasa tempatnya bersandar

2025-09-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!