Sorotan lampu panggung berwarna emas dan biru berputar-putar di udara, menyapu ribuan penonton yang berteriak memanggil satu nama.
“Kevin! Kevin! Kevin!”
Gema suara itu seperti gelombang tak berujung, menghantam dinding-dinding arena konser yang megah.
Di tengah panggung, Kevin De Luca pria berusia 23 tahun dengan darah campuran dari ayah turunan Italia Amerika ini berdiri tegak memegang mikrofon. Mata hazelnya berkilau tajam di bawah cahaya, rahangnya tegas, dan senyum miringnya seolah sengaja diciptakan untuk menghancurkan hati setiap perempuan di ruangan itu. Rambut hitam kecokelatannya basah oleh keringat, tapi itu hanya membuatnya terlihat semakin memabukkan.
"HELLO EVERYONE! ARE YOU READY FOR THE LAST SONG?!" suaranya serak berenergi, membuat jeritan histeris kembali memuncak. Tangannya meraih gitar, jemarinya menyapu senar, dan nada pertama dari lagu andalan band-nya mengalun. Panggung seolah berubah menjadi dunia miliknya seorang, tempat di mana Kevin adalah raja, dan semua mata tertuju padanya.
Di tengah kerumunan, Meira berdiri terhimpit di antara ratusan orang. Nafasnya tersengal karena dorongan massa dari belakang, tapi matanya tak lepas dari Kevin. Bibirnya bergetar, menyanyikan setiap lirik tanpa salah satu pun kata.
Baginya, Kevin bukan hanya penyanyi. Dia adalah pelarian dari semua kekacauan di hidupnya. Rumahnya berantakan, keluarganya hancur, tapi di sini, di tengah dentuman musik dan sorotan lampu, Meira merasa punya alasan untuk bertahan.
Tangannya menggenggam erat lightstick bergambar logo band Silver Dawn. “Lihat gue, Kevin, Kevin, sekali... aja,” gumamnya tak terdengar, tapi penuh harap.
Saat lagu mencapai puncak, Kevin menutup mata, tenggelam dalam musik. Meira, yang berdiri di barisan depan, menatapnya seperti menatap dewa. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya bergetar, seakan seluruh dunia berhenti hanya untuk momen itu.
Sorak sorai penonton semakin menggila ketika Kevin memetik nada terakhir, lalu menunduk memberi hormat. “THANK YOU, JAKARTA! YOU’RE AMAZING TONIGHT!” teriaknya, sebelum akhirnya lampu panggung meredup perlahan.
Konser berakhir. Ribuan orang mulai berhamburan keluar arena, sebagian masih bernyanyi, sebagian sibuk mengambil foto untuk kenangan. Namun di balik panggung, suasana justru semakin riuh.
Para wartawan sudah menunggu dengan kamera dan mikrofon, berdesakan di depan pintu belakang venue. Mereka tahu siapa target utamanya malam ini. Bukan gitaris, bukan drummer, tapi Kevin De Luca. Wajah tampan berdarah campuran, suara emas, dan magnet yang tak tertandingi.
Begitu pintu terbuka, teriakan memanggil namanya langsung pecah.
“Kevin! Kevin, apa komentar Anda soal konser malam ini?”
“Kevin, apakah benar rumor Anda akan keluar dari Silver Dawn?”
“Kevin, apakah kabar studi ke luar negeri itu betul?”
Kilatan lampu kamera menyambar wajah Kevin yang tetap cool meski jelas kelelahan. Dengan setelan hitam kasual yang membungkus tubuh tinggi atletisnya, ia menundukkan kepala sedikit, memberi senyum tipis.
“Terima kasih sudah datang. Konser ini adalah salah satu yang paling berkesan bagi aku. Energi penonton luar biasa,” katanya dengan suara tenang, membuat para wartawan semakin histeris meminta pernyataan lebih lanjut.
Manager band berusaha menahan kerumunan, melindungi Kevin agar bisa berjalan ke mobil yang sudah menunggu. Tapi meski begitu, Kevin sempat berhenti sebentar, menjawab satu pertanyaan yang membuat udara mendadak tegang.
“Soal rumor...” Kevin menatap ke arah kamera, senyumnya meredup, “setiap perjalanan pasti punya akhirnya. Untuk sekarang, aku hanya ingin bersyukur atas dukungan kalian semua.”
Kalimat samar itu langsung membuat wartawan gaduh, mikrofon semakin maju, kamera semakin dekat. Namun Kevin hanya mengangkat tangannya sebentar, lalu berjalan cepat menuju mobil hitam yang segera membawanya pergi.
____
Siapa Meira?
Gadis berusia 22 tahun itu tumbuh dengan dunia yang penuh luka, tapi juga keberanian. Sejak remaja, ia menemukan pelarian dari semua keributan di hidupnya lewat musik. Baginya, dentuman drum dan petikan gitar dari band Silver Dawn bukan sekadar lagu itu adalah nyawa yang menyelamatkannya dari rasa sepi. Malam-malam panjang yang dingin selalu ia isi dengan earphone di telinga, membiarkan suara Kevin De Luca dan kawan-kawannya menjadi teman setia.
Namun Meira bukan hanya seorang gadis yang larut dalam musik. Ada sisi lain dalam dirinya yang kontras. Ia menguasai olahraga ekstrem, kick boxing dan karate. Dua cabang olahraga yang melatihnya untuk melawan, bukan hanya terhadap lawan di arena, tapi juga terhadap hidup yang terus menghantamnya. Keringat, rasa sakit, dan disiplin di setiap latihan membuatnya bertahan.
Bagi sebagian orang, Meira mungkin hanya sosok penonton biasa di antara ribuan kepala yang berdesakan di konser Silver Dawn. Tapi siapa sangka, di balik tatapan matanya yang penuh kagum, tersimpan cerita seorang gadis yang diam-diam sedang bertarung di dalam dirinya sendiri.
____
Pulang dari konser, langkah Meira terasa ringan, seolah sisa-sisa sorak ribuan orang tadi masih berdengung di telinganya. Namun begitu pintu rumah itu terbuka, kenyataan kembali menamparnya.
Seorang wanita dengan riasan tebal, rok ketat, dan tatapan tajam sudah berdiri di ruang tamu. Kedua tangannya terlipat di dada, menunggu.
“Lo pikir jam berapa ini, hah? Gue capek-capek kerja cari duit, lo enak-enakan keluyuran! Nggak tau diri, lo!” suara ibunya melengking, menusuk telinga.
Meira menunduk sedikit, menggenggam tali tasnya erat-erat. “Ma... aku cuma nonton konser.”
“Jangan ‘cuma’! Lo tuh kayak Si Erick!(ayah Meira) Seenaknya aja pake duit, tapi nggak mikirin perasaan orang lain!” bentak ibunya lagi, matanya menyala penuh amarah.
Meira terdiam. Bibirnya ingin membalas, tapi ia tahu percuma. Hubungan mereka selalu begitu ibunya memanggil dengan nada kasar, sementara Meira tetap menyebutnya Mama, berusaha menggenggam sisa-sisa kasih sayang yang sebenarnya tidak pernah ia rasakan.
Ia tahu siapa dirinya. Anak dari seorang konglomerat besar di bidang perhotelan dan bisnis pariwisata, yang jatuh cinta pada wanita panggilan kelas jetset ibunya sendiri. Hubungan yang awalnya sebatas “langganan”, berubah jadi perasaan, meski akhirnya tetap tak berujung pada pernikahan. Latar belakang ibunya sebagai WTS terlalu hina bagi keluarga besar ayahnya.
Kehamilan Meira datang diam-diam, bukan karena cinta yang diterima, tapi karena ibunya ingin mengikat pria itu dengan cara lain. Namun sang ayah hanya memberi uang setiap bulan, tanpa pernah benar-benar hadir.
Hasilnya? Meira tumbuh dalam rumah tanpa cinta, tapi dipenuhi uang. Semua bisa ia dapatkan dengan mudah kecuali perhatian orang tua.
Ia belajar melupakan rasa sakit dengan cara yang salah berkenalan dengan alkohol, bahkan obat-obatan sejak masa sekolah. Tapi Meira pandai menyamarkannya. Di depan dunia luar, ia masih terlihat seperti gadis biasa.
Hanya satu cahaya yang tersisa dalam hidupnya: Kevin. Suara, senyum, dan lirik lagunya menjadi alasan Meira tetap bertahan.
Kini, cahaya itu kembali redup saat ibunya mendesis tajam, melipat tangan di dada.
“Masuk ke kamar lo! Jangan bikin gue makin naik darah!”
Meira menarik napas panjang, menahan perih di dada. Dari sorakan ribuan orang tadi, kini hanya tersisa sunyi... dan satu kenyataan pahit hidupnya.
Di kamarnya yang remang, Meira melempar tas ke atas kasur. Earphone masih menggantung di lehernya, tapi dentuman lagu Silver Dawn yang barusan ia dengar di konser seakan tak mampu menutupi suara dari luar.
Suara ibunya terdengar jelas, meninggi lalu melunak dengan nada genit. Dari potongan percakapan yang sampai ke telinganya, Meira tahu: janji kencan malam ini dibatalkan. Si pejabat itu tak bisa datang karena besok pagi ada rapat penting dengan menteri.
Tapi masalahnya tidak berhenti di situ. Suara desahan, erangan samar, dan tawa dibuat-buat ibunya menyusul dari ruang tengah, membuat kepala Meira serasa mau pecah. Ia menutup telinga dengan bantal, namun suara itu tetap merembes masuk, menusuk kesadarannya.
“Cukup!” Meira bangkit dengan emosi, menghantam pintu kamarnya hingga terbuka keras. Pandangannya langsung tertuju pada ibunya yang setengah telanjang, dengan ponsel di tangan, wajahnya masih dihiasi senyum menggoda yang menjijikkan di mata Meira.
Darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, Meira meraih ponsel itu dengan kasar.
“Heh b*aya! Lo nggak malu hah, ngelakuin beginian? Dasar laki-laki bang*at!” bentaknya ke seberang telepon, suaranya pecah karena amarah. “Kalau punya istri di rumah, jagain! Jangan buang nafsu lo ke sini!”
Tanpa memberi kesempatan orang itu menjawab, Meira langsung menutup panggilan dan melempar ponsel ke sofa.
Suasana hening sepersekian detik sebelum ibunya menjerit marah. “Kurang ajar lo!” Tangannya melayang, menampar pipi Meira keras sekali.
Meira terhuyung, rahangnya sakit, tapi lebih sakit lagi hatinya. Nafasnya memburu, matanya panas menahan air mata.
“Gue muak sama semua ini...” bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.
Dengan penuh kekesalan, ia berlari masuk ke kamar, menyambar tas dan beberapa barang penting. Tanpa menoleh lagi, Meira keluar dari rumah itu, menyalakan mobilnya sendiri, dan melesat ke jalanan malam yang lengang.
Untuk pertama kalinya, ia benar-benar pergi kabur dari semua kegelapan yang selama ini membelenggunya.
Malam Jakarta berkilau oleh lampu jalanan, tapi bagi Meira, semua cahaya itu terasa buram. Tangannya mencengkeram setir mobil erat-erat, matanya panas karena air mata yang tak henti jatuh.
Ia tak tahu harus kemana. Pikiran berkecamuk, marah, kecewa, jijik, semua bercampur jadi satu. Mobilnya terus melaju tanpa arah, sampai akhirnya ia membelokkan kemudi ke sebuah bar yang sudah tak asing lagi baginya.
Bar itu dipenuhi asap rokok, dentuman musik elektronik, dan tawa-tawa palsu yang menutupi kesepian pengunjungnya. Begitu masuk, Meira langsung merasa dadanya semakin sesak, tapi setidaknya di sini... suara bising bisa sedikit menenggelamkan ingatan tentang rumahnya barusan.
Ia duduk di pojok, menunduk, lalu meraih ponselnya. Dengan jari gemetar, ia menekan nomor temannya seseorang yang sudah tahu persis kebiasaannya saat berada di titik terendah.
“Lo dimana?” suara Meira serak, hampir pecah.
“Halo, Mei? Gue lagi di luar. Kenapa?” jawab temannya, sedikit cemas.
“Aku butuh... yang bisa bikin pikiran gue tenang. Malam ini juga,” katanya lirih, berusaha menahan isak.
Ada keheningan sejenak di seberang. Lalu suara itu kembali, mantap tapi pelan.
“Gue ngerti. Oke, gue bakal kasih. Tunggu di situ, jangan kemana-mana.”
Meira menutup telepon, lalu menyandarkan kepalanya ke tembok bar. Musik berdentum kencang, lampu warna-warni berputar, namun bagi Meira dunia terasa gelap.
Ia tahu apa yang akan datang padanya bukanlah jalan keluar, hanya pelarian sementara. Tapi untuk malam ini... hanya itu yang bisa membuatnya tetap bertahan.
Tak berapa lama, seseorang melangkah masuk ke dalam bar. Lelaki berusia dua puluh lima tahun itu menatap ke segala arah dengan gelisah, matanya berputar mencari-cari sosok yang ia kenal. Namanya Agit teman lama Meira yang tahu sisi kelamnya lebih daripada orang lain.
Suasana bar terlalu riuh. Dentuman musik begitu keras, hingga suara panggilannya tak terdengar sama sekali. Agit mengeluarkan ponsel dari saku, lalu menekan nomor Meira.
“Mei, lo dimana? Gue udah di dalam,” suaranya teredam musik, hampir lenyap. Hanya suara DJ dan tawa orang-orang yang mendominasi.
Meira mengangkat telepon, tapi sama saja nyaris tak ada satu kata pun yang bisa terdengar jelas.
Akhirnya Agit mengalah. Chat aja. Jempolnya mengetik cepat:
Gue udah di bar. Lo dimana?
Tak lama balasan muncul di layar:
Pojok, meja dekat kaca. Ada neon biru di atas kepala gue.
Agit mendongak, matanya menyapu ruangan, hingga akhirnya menemukan Meira yang duduk sendirian di pojok, wajahnya sayu, rambut terikat asal, berantakan. Di atasnya, lampu neon biru berkelap-kelip, persis seperti yang ia tuliskan.
Ia menarik napas panjang, lalu berjalan menghampiri, menyembunyikan sesuatu di balik jaketnya.
Agit menepuk pundak Meira pelan ketika akhirnya berhasil menemukannya di sudut bar yang agak redup. Meja kecil di depannya sudah penuh dengan botol kosong dan gelas yang basah oleh sisa buih minuman. Meira menoleh, senyumnya miring, matanya sayu.
“Ini yang lo minta,” kata Agit singkat, menyerahkan bungkus kecil yang disembunyikan dalam genggaman. Gerakannya cepat, tapi tetap hati-hati.
Meira mengambilnya tanpa banyak bicara, lalu menaruhnya di pangkuan sambil memainkan gelas cocktailnya dengan jari telunjuk. Bunyi dentingan halus terdengar saat ia memutar-mutar es batu di dalamnya.
“Muka lo kacau amat, Mei,” ujar Agit, menatap lekat wajah sahabatnya yang terlihat lelah sekaligus acuh tak acuh. “Seriusan, lo kayak abis perang.”
Meira terkekeh pendek, nyengir sambil meneguk sisa minumannya. Bibirnya melengkung tipis, seakan meledek.
“Kayak lo nggak pernah tau aja... emak gue,” katanya datar, tapi getir.
Suasana hening sejenak, hanya diisi dentuman musik keras dari panggung bar. Agit menatap Meira lama, mencoba membaca lebih jauh isi kepalanya. Namun Meira sudah lebih dulu menunduk, menatap cairan bening di gelasnya.
Agit menyandarkan punggungnya di kursi bar, matanya tak lepas dari Meira yang wajahnya makin kusut. Sambil memainkan botol kosong, ia mendesah pelan.
“Mei, lo beneran nggak bisa terus-terusan begini. Cari tempat tinggal baru aja, jauh dari semua drama itu,” ucapnya agak serius.
Meira hanya mendengus, matanya setengah sayup karena alkohol yang sudah terlalu banyak masuk ke tubuhnya.
Obrolan makin buyar saat kepalanya mulai tertunduk. Tangannya yang tadi sibuk memainkan gelas kini terkulai di meja. Agit menggeleng, lalu berdiri.
“Udah, cukup. Gue bawa lo ke mobil,” katanya sambil menahan lengan Meira.
Dengan susah payah, ia menggiring Meira keluar bar, membopongnya masuk ke kursi penumpang mobil. Meira sudah setengah tak sadar, hanya bergumam tak jelas sebelum akhirnya terlelap.
Agit menutup pintu mobil pelan, lalu duduk sebentar di kursi depan. Ia menarik napas panjang sebelum menulis pesan di ponselnya:
Mei, gue bawa lo ke mobil. Lo mabok parah, jadi istirahat aja dulu. Kunci mobil lo gue taro di laci dashboard. Tidur yang nyenyak, ya. Inget jangan maksain nyetir kalo lo belum kuat. Dunia nggak akan runtuh cuma karena hari ini berantakan.
Pesan itu dikirim. Sesaat ia menatap Meira yang terlelap, wajahnya masih menyimpan sisa kekacauan malam ini. Kaca mobil ia turunin sedikit biar ada celah udara, lalu dengan helaan napas berat, Agit keluar membiarkan dinginnya malam menenangkan pikiran Meira.
Meira perlahan terbangun, matanya menyipit menahan cahaya pagi yang menembus kaca mobil. Kepalanya terasa berat, seperti ada palu yang terus mengetuk pelipisnya. Ia mengerang pelan sambil memegang dahinya.
Beberapa detik ia hanya duduk diam, mencoba memahami di mana dirinya berada. Begitu pandangannya lebih jelas, ia baru menyadari bahwa ia ada di kursi belakang mobilnya sendiri.
Dengan gerakan malas, Meira merogoh saku jaketnya mencari ponsel. Setelah ketemu, layar ponsel menyala menampilkan notifikasi pesan. Itu dari Agit.
Meira menarik napas panjang, lalu membuka pesan Agit. Isinya singkat namun jelas, memberitahu bahwa ia membawanya ke mobil karena mabuk berat tadi malam. Kunci mobil sudah ia taruh di laci dashboard, dan kalimat terakhirnya ditutup dengan ucapan, “Tidur yang nyenyak, semoga besok kamu merasa lebih baik.”
Hati Meira sedikit menghangat membaca perhatian itu. Meski kepalanya masih pening, ia sempat tersenyum kecil. Jemarinya bergerak mengetik balasan.
"Makasih ya, Git. Elo udah nolong gue tadi malam. Gue udah bangun sekarang. Lagi mikir juga mau cari apartemen baru setelah kejadian kemarin sama Emak gue. Gue nggak mungkin terus di rumah itu."
Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu bersandar kembali ke jok, memejamkan mata sebentar sambil menenangkan pikirannya.
Meira duduk di tepi jok belakang dengan ponsel di tangannya. Matanya fokus pada layar, menelusuri deretan iklan apartemen sewaan. Bagi orang lain, harga mungkin jadi pertimbangan, tapi tidak untuknya. Rekeningnya selalu terisi setiap bulan, langsung atas namanya, tanpa campur tangan ibunya. Itu permintaan khusus ibunya kepada ayahnya sejak lama agar Meira tidak merasa kekurangan materi.
Ironisnya, justru di situlah letak luka yang tak pernah sembuh. Uang mengalir deras, barang-barang mewah mudah ia dapat, tapi kasih sayang yang sederhana saja tak pernah benar-benar ia rasakan. Ibunya memang tidak pernah meminta sepeserpun kiriman dari ayahnya untuk dirinya sendiri. Semua demi Meira. Itu membuat Meira sadar ibunya sebenarnya menyayanginya.
Namun, di balik itu, ada kegagalan besar yang tak bisa dipungkiri. Ibunya tidak pernah benar-benar mendidik, tidak pernah menuntunnya sebagaimana seharusnya seorang ibu pada anak. Kasih sayang yang hangat, pelukan yang menenangkan, perhatian kecil yang dirindukan seorang anak semuanya hilang. Yang ada hanya bentakan, tuntutan, dan jarak yang tak pernah bisa Meira jembatani.
Meira mendesah panjang. “Cinta Mama itu aneh...” gumamnya lirih, sebelum akhirnya jarinya berhenti pada satu iklan apartemen dengan view kota yang menawan.
Matanya berhenti pada satu iklan yang menampilkan apartemen modern di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, daerah yang terkenal strategis, dekat dengan perkantoran, pusat belanja, dan hiburan malam. Lokasi itu terasa pas untuk gaya hidup Meira yang bebas dan tidak mau jauh dari keramaian kota.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan nomor yang tertera. Suaranya masih serak sisa mabuk semalam, tapi ia berusaha terdengar tenang.
“Hallo, saya tertarik untuk lihat unit apartemen yang kalian iklankan. Bisa dijadwalkan survey hari ini?”
Pihak apartemen menyambut dengan ramah, menanyakan jenis unit yang ia mau. Meira menjawab santai bahwa ia ingin yang 2 kamar tidur lebih luas, meski ia hanya tinggal sendiri.
Sesuai konfirmasi, jadwal survey langsung diatur untuk sore nanti.
Sore itu, Meira tiba di lobi apartemen mewah di Kuningan, Jakarta Selatan. Lobi yang tinggi menjulang dengan marmer mengkilap dan aroma wangi ruangan membuatnya merasa tepat memilih lokasi ini. Ia disambut seorang wanita berpakaian rapi, staf marketing apartemen.
“Selamat sore, Mbak Meira? Saya Rani, marketing di sini. Mari, saya antar untuk lihat unitnya,” ucapnya ramah.
Mbak Rani tersenyum ramah sambil menunjukkan brosur apartemen pada Meira.
“Jadi, unit yang Mbak incar itu tipe 2 bedroom dengan kondisi fully furnished. Fasilitasnya lengkap ada kolam renang, gym, keamanan 24 jam, parkir pribadi, dan juga view kota yang cantik dari lantai atas,” jelasnya.
Aruna mengangguk pelan, memperhatikan penjelasan itu.
“Untuk harga sewanya sendiri,” lanjut Mbak Rani, “sekitar Rp9.500.000 per bulan. Pembayaran langsung ke pihak apartemen, jadi tidak perlu melalui orang lain. Sudah termasuk perabotan, jadi tinggal bawa koper saja.”
“Wah, fasilitasnya cukup lengkap juga ya,” sahut Meira, terlihat sedikit lega mendengar penjelasan yang jelas dari Mbak Rani.
Tanpa banyak bicara, hanya mengikuti langkah Rani menuju lift. Di lantai 25, pintu lift terbuka menampilkan lorong yang bersih dan sunyi. Mereka berhenti di depan sebuah pintu unit.
Begitu pintu dibuka, Meira langsung terpesona. Ruangan luas dengan jendela besar menampilkan pemandangan gedung-gedung Jakarta yang berkilauan menjelang malam. Interiornya minimalis, dinding putih bersih, dan balkon kecil yang bisa dipakai untuk duduk menikmati kota.
“Ini tipe 2 kamar tidur, 85 meter persegi, Mbak. Sudah semi furnished: ada kitchen set, AC, dan lemari built-in. Kalau Mbak mau full furnished, nanti bisa kita atur, tapi ada penambahan biaya,” jelas Rani.
Meira berjalan perlahan, membuka pintu kamar, melihat kamar mandi dengan shower kaca bening, lalu berdiri cukup lama di depan jendela. Ada rasa puas di matanya, seakan apartemen ini bisa jadi simbol kebebasan barunya dari rumah dan ibunya.
Tanpa pikir panjang ia menoleh, “Saya ambil unit ini. Tolong siapkan semua administrasinya. Saya tidak mau ribet, uang bukan masalah.”
Rani sempat terkejut dengan keputusan cepat itu, tapi segera mengangguk senang. “Baik, Mbak. Nanti saya siapkan dokumennya.”
Meira tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga awal baru dari hidupnya yang ingin lepas dari bayang-bayang sang ibu.
Hari itu juga, Meira resmi menempati unit apartemen barunya di lantai 25. Begitu pintu terbuka, ia langsung disambut oleh suasana mewah yang terasa berbeda dari rumah ibunya. Ruangan yang luas dengan dua kamar tidur, perabotan lengkap, serta jendela besar yang menampilkan pemandangan gemerlap kota Jakarta membuatnya tersenyum puas.
Perasaan lega menyergapnya akhirnya, ia bisa bernapas tanpa tekanan, bebas melakukan apa pun tanpa harus mendengar omelan-omelan yang selama ini memusingkan kepalanya. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk ruang tamu, memandang keluar jendela, lalu tersenyum tipis. "Mulai sekarang, ini duniamu, Meira," bisiknya pada diri sendiri.
_________________________
Untuk semua kakak readers tersayang 💕 Kalau kalian merasa cerita ini menarik, aku akan sangat senang kalau bisa dapat bintang kejora 🌟 dan vote darimu. Setiap dukunganmu adalah energi positif yang bikin aku semangat update tiap hari😊
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!