Kabut Namura tebal pagi itu. Seperti selimut putih yang menelan hutan, membuat jarak pandang nyaris hanya lima meter. Namun di balik kabut itu, dua kekuatan militer raksasa sudah bersiap untuk saling menghancurkan.
Di sisi barat lembah, Jenderal Farhan, komandan militer Indonesia, berdiri di atas kendaraan komando lapis baja. Seragamnya kotor oleh lumpur, wajahnya keras namun matanya tajam. Di belakangnya, ribuan prajurit TNI dengan senjata lengkap, tank ringan, dan artileri bergerak perlahan. Bendera merah-putih berkibar samar di tengah kabut, tampak seperti bayangan hantu.
Di sisi timur, Jenderal Mark, komandan tentara bayaran asing, berdiri di atas bukit kecil. Matanya—hijau tajam seperti bilah kaca—menatap lembah di bawahnya. Pasukannya lebih sedikit, tapi jauh lebih terlatih dan dipersenjatai dengan teknologi canggih: drone siluman, senjata otomatis, dan peluru berpemandu. Setiap langkah mereka sunyi, namun aura haus darah terasa dari jauh.
Udara terasa berat, seperti hutan sendiri tahu darah akan membanjir. Burung-burung berhenti berkicau. Angin membawa aroma logam dan bensin dari kendaraan tempur.
“Hari Ini, Kita Ambil Namura.”
Mark menurunkan helmnya, berbicara pada pasukannya melalui radio. Suaranya berat, dominan, tanpa sedikit pun keraguan.
“Kita tidak di sini untuk bernegosiasi. Farhan ingin bertahan demi negaranya, demi rakyatnya. Tapi ini bukan perang politik… ini perang bertahan hidup. Hancurkan jalurnya, rebut lembahnya, dan buat mereka menyerah. Hari ini, kita ambil Namura.”
Pasukan asing itu menjawab dengan teriakan terkoordinasi. Drone kecil mulai terbang rendah, menyebar seperti kawanan serangga. Tank-tank ringan bersiap di jalur tanah berlumpur. Mark mengangkat tangannya—dan dalam hening itu, dunia seolah menahan napas.
Tangan Mark turun. Serangan dimulai.
Artileri otomatis meledak lebih dulu, menghantam barisan depan Farhan. Ledakan besar mengguncang tanah, mengirimkan lumpur dan pecahan logam ke udara. Suara dentuman memekakkan telinga, bahkan para prajurit yang sudah terbiasa perang pun merunduk.
Farhan berteriak melalui radio.
“Unit pertama, bertahan! Artileri, balas tembakan! Drone lawan tembak jatuh sekarang juga!”
Ratusan peluru anti-udara ditembakkan ke langit, menghancurkan beberapa drone Mark, tapi sisanya terus melaju, merekam posisi pasukan Farhan untuk menargetkan tembakan berikutnya.
Tank-tank TNI maju perlahan, senjata beratnya membalas, menghancurkan satu kendaraan Mark di kejauhan. Namun pasukan bayaran itu bergerak dengan formasi cair, menyerang dari beberapa titik sekaligus, memotong jalur komunikasi Farhan.
Kabut berubah menjadi tirai kematian. Jeritan prajurit terdengar dari berbagai arah. Suara peluru yang menembus udara bercampur dengan ledakan granat, membuat hutan terasa seperti medan perang dunia.
“Jangan Biarkan Mereka Pecah Garis Kita!”
Farhan turun dari kendaraannya, memimpin langsung di garis depan. Ia tidak seperti komandan yang bersembunyi di markas—ia selalu ada di tengah pertempuran, senjatanya siap.
“Unit Bravo, ke kanan! Charlie, maju dan tekan mereka di tengah! Jangan biarkan mereka memecah garis kita!”
Prajurit-prajuritnya berteriak, mematuhi. Meski pasukan Mark lebih canggih, Farhan tahu medan Namura. Ia menggunakan hutan lebat untuk berlindung, mengirim unit kecil menyelinap di jalur sempit untuk menyerang balik.
Namun Mark sudah memperkirakan langkah itu. Dari bukit, ia memerintahkan pasukannya.
“Unit bayangan, siapkan ranjau. Mereka akan mencoba mengapit kita. Saat mereka masuk… habisi semuanya.”
Beberapa menit kemudian, jeritan terdengar dari sisi timur hutan. Unit kecil Farhan meledak oleh ranjau tersembunyi, tubuh-tubuh prajurit terlempar ke udara. Hutan menjadi neraka.
Di tengah kabut dan ledakan, dua sosok akhirnya bertemu untuk pertama kalinya hari itu. Farhan dan Mark, berdiri berhadapan di celah hutan terbuka, sekitar dua puluh meter jaraknya.
Farhan mengangkat senjata, menatap Mark dengan amarah.
“Ini tanah kami, Mark! Keluarkan pasukanmu atau aku kubur kau di sini!”
Mark hanya tersenyum tipis, mata hijaunya berkilau tajam.
“Tanah ini… hanya milik mereka yang cukup kuat untuk bertahan. Dan hari ini… bukan kau.”
Tanpa kata lain, pertempuran pribadi mereka dimulai. Tembakan pertama dilepaskan.
Farhan menodongkan senjata serbunya, wajahnya keras meski tubuhnya berlumuran lumpur.
“Kau sudah melangkah terlalu jauh, Mark! Tanah ini bukan milikmu, dan tak akan pernah jadi milikmu!”
Mark hanya menatapnya dengan mata hijau tajam, bibirnya melengkung sedikit.
“Tanah ini? Ini hanya medan perang. Siapa yang bertahan hidup, dialah yang memilikinya. Kau? Atau aku?”
Mereka tidak menunggu jawaban. Peluru pertama melesat.
Farhan bergerak dengan cepat, menembakkan rentetan peluru sambil bergerak ke samping, memanfaatkan setiap pohon sebagai perlindungan. Mark membalas dengan bidikan presisi, tembakannya memecahkan batang pohon tempat Farhan berlindung.
Suara senjata otomatis membelah udara, membuat dedaunan berjatuhan. Setiap gerakan mereka penuh perhitungan, seperti dua predator berpengalaman.
Di sekitar mereka, pertempuran masih berkecamuk. Pasukan Farhan berusaha menahan gelombang serangan Mark, sementara unit elit bayaran Mark menembus sisi kiri, menanam ranjau dan menjebak prajurit TNI di lembah. Jeritan terdengar setiap kali ranjau meledak, tubuh terlempar ke udara.
Farhan menyadari taktik itu. Melalui radio, ia berteriak
“Unit Kilo, tarik mundur dari sisi kiri! Jangan ikuti jejak mereka, itu perangkap! Fokus tembak ke unit tengah!”
Mark mendengar perintah itu lewat pemantauan komunikasinya. Ia tersenyum tipis, berbisik pada Kapten Rhee di sisinya.
“Dia belajar cepat. Tapi tidak cukup cepat.”
Mark memberi aba-aba. Drone kamikaze meluncur dari udara, menyasar artileri Farhan di belakang garis depan. Ledakan bertubi-tubi membuat pasukan Farhan terguncang, komunikasi hampir terputus.
*
Farhan mengayunkan popor senjatanya, memukul ke arah Mark. Mark menangkis dan menendang balik, membuat Farhan terhuyung. Namun Farhan berpengalaman, ia langsung menahan, meninju perut Mark dengan keras.
Suara benturan tulang dan armor terdengar jelas, bahkan di tengah perang. Mereka bertarung seperti dua binatang buas, tanpa henti. Setiap pukulan, tendangan, dan tepisan disertai teriakan rendah.
Mark bergerak cepat, menggunakan pisau tempurnya, mencoba menusuk sisi Farhan. Farhan berhasil menepis, meski pisau itu sempat menggores lengannya. Darah segar mengalir, bercampur dengan lumpur.
“Kau cepat, Mark… tapi bukan berarti kau akan menang.” Farhan mendesis sambil menahan luka.
“Aku tidak perlu cepat. Aku hanya perlu memastikan kau tidak bangun lagi setelah hari ini.” Mark menjawab dengan suara beratnya.
Sementara kedua jenderal bertarung, pasukan mereka tak kalah brutal. Tank-tank TNI menghancurkan dua kendaraan tempur Mark, tapi kehilangan empat tank karena roket portabel lawan. Pasukan infanteri bertarung jarak dekat, bayonet dan pisau berlumuran darah.
Setiap sudut hutan berubah menjadi ladang kematian. Suara jeritan prajurit terluka bercampur dengan teriakan komando. Ledakan granat sesekali memotong pertempuran, menebarkan potongan tubuh ke segala arah.
Mark menggunakan kebingungan ini untuk mengatur ulang pasukannya. Ia memerintahkan unit bayangan untuk menyelinap di jalur sungai kecil di utara, mengapit pasukan Farhan dari belakang.
Farhan menangkap gerakan itu. Ia mengalihkan dua unit cadangan untuk menghadang, meski itu membuat garis tengahnya melemah.
“Jaga garis tengah! Jangan biarkan mereka memutus suplai!”
Namun keputusan itu membuatnya semakin terisolasi bersama Mark di jalur terbuka.
Mark dan Farhan kini hanya berjarak beberapa meter. Senjata mereka sudah tidak berguna, peluru habis, dan tak ada waktu untuk mengisi ulang. Mereka beralih sepenuhnya ke pisau tempur.
Mark menyerang duluan, tusukan cepat ke arah perut. Farhan memutar tubuhnya, menahan dengan lengan, meski pisau itu menggores kulitnya. Dengan tenaga penuh, Farhan memukul rahang Mark, membuatnya mundur setengah langkah.
Mark hanya meludahkan darah, senyum miring muncul di wajahnya. “Kau keras kepala… aku suka itu. Tapi keras kepala tidak akan menyelamatkanmu.”
Pertarungan mereka menjadi semakin brutal. Tidak ada lagi strategi, hanya insting. Setiap goresan, setiap tendangan, setiap benturan tubuh meninggalkan jejak darah di tanah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments