2. Jejak di bayangan

Kenzi berpatroli lebih lama dari biasanya, mata elangnya terus menatap ke arah hutan seolah mengantisipasi gerakan musuh. Mina mendekatinya, membawa dua cangkir kopi.

“Kau benar-benar khawatir pada Yura, ya?”

Mina menyodorkan cangkir, senyum samar terlukis. “Padahal selama ini kau selalu bersikap… tak peduli.”

Kenzi tidak menoleh, hanya menerima cangkir itu tanpa banyak bicara. “Aku peduli pada semua orang di pos ini. Bukan hanya dia.”

Mina meneguk kopinya pelan, menahan tatapan sinis. “Kalau begitu… kau juga akan peduli kalau aku yang diculik, kan?”

Kenzi menatapnya sekilas. “Kalau kau yang diculik, aku yakin kau bisa menanganinya sendiri. Kau tidak pernah takut apa pun… kecuali kalah dari Yura.”

Senyum Mina memudar. Ia menatap jauh ke arah tenda medis, di mana cahaya lampu samar terlihat. “Mungkin… kau benar.”

---

Di dalam tenda medis, Yura duduk di ranjang lipat, menatap tangannya sendiri. Fara duduk di sebelahnya, memegang bahunya.

“Kau nggak mau cerita detailnya?” tanya Fara pelan. “Aku tahu kau nggak baik-baik saja. Dari caramu menggenggam tanganmu aja… kelihatan.”

Yura menghela napas, suaranya nyaris berbisik. “Dia… Mark… dia bilang setiap langkahku akan dia lihat. Seperti… aku ini target, tapi bukan untuk dibunuh.”

Fara menatapnya kaget. “Dia… tertarik padamu?”

“Entahlah. Tapi matanya… aku belum pernah lihat tatapan seperti itu. Bukan cuma ancaman. Ada sesuatu yang… membuatku merasa dia nggak akan berhenti sampai dapat apa yang dia mau.”

Amar yang duduk di kursi dekat pintu mendengar percakapan itu, menyandarkan kepalanya ke dinding. “Kita udah cukup punya masalah sama pemberontak. Sekarang ada jenderal musuh yang naksir dokter kita. Keren banget, kan?”

Yuda, yang berdiri di sudut, berbicara dengan nada datar. “Itu bukan sekadar ‘naksir’. Itu cara seorang predator menandai mangsanya. Kita harus waspada.”

Yura menutup matanya sebentar. Di balik kelopak matanya, tatapan hijau Mark terus terbayang, bersama suaranya yang berat dan dingin. Kata-kata terakhirnya bergema di pikirannya:

"Kau akan melihatku lagi… saat aku mau."

Dan entah kenapa, bagian dari dirinya tahu… ancaman itu bukan sekadar kata-kata.

*

Langit Namura berwarna kelabu sejak pagi. Kabut tebal turun dari pegunungan, menutup pandangan hingga jarak lima meter. Pos medis terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya suara langkah prajurit yang sesekali terdengar di luar tenda.

Yura berdiri di depan cermin kecil di sudut tenda, merapikan seragamnya. Matanya sayu, kurang tidur. Setiap kali ia memejamkan mata, tatapan hijau dingin itu kembali menghantui—Mark, berdiri hanya sejengkal dari wajahnya, dengan suara beratnya yang terus menggema: “Kau akan melihatku lagi… saat aku mau.”

Fara masuk, membawa secangkir kopi. “Kau belum tidur, kan? Lingkar matamu udah kayak panda.”

Yura mengambil cangkir itu pelan. “Sulit tidur… rasanya seperti ada yang mengawasi. Bahkan di dalam pos.”

Fara menatapnya serius. “Jujur aja, Ra… kau takut dia datang lagi?”

Yura menghela napas. “Bukan takut. Lebih ke… aku tahu dia akan datang. Aku cuma nggak tahu kapan, atau untuk apa.”

Sebelum Fara sempat menanggapi, Yuda masuk dengan ekspresi tegang. “Kalian berdua harus lihat ini.”

Mereka bertiga keluar tenda, mengikuti Yuda ke pagar pos bagian timur. Kabut masih tebal, tapi di tanah dekat pagar, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri: sebuah pisau militer tertancap di tanah, dengan kain putih terikat di gagangnya.

Kain itu berlumur lumpur, dan ada tulisan samar dengan tinta merah: “Masih hidup? Bagus. Aku lihat kau.”

Fara mundur selangkah, wajahnya pucat. “Ini… jelas pesan untukmu, Ra.”

Yuda menyapu pandangan ke hutan. “Tak ada jejak langkah selain yang menuju kembali ke arah hutan. Dia sengaja datang mendekat… hanya untuk meninggalkan ini.”

Yura meraih pisau itu pelan, menggenggam gagangnya. Rasanya dingin, berat, dan entah kenapa, seperti ada sesuatu dari Mark yang tertinggal di sana.

“Dia benar-benar mengawasi,” gumamnya pelan.

---

Siang harinya, suasana pos memanas. Kenzi memeriksa perimeter dengan tatapan tajam, lebih lama dari biasanya. Mina berjalan di sampingnya, membawa map laporan pasien.

“Kau benar-benar khawatir pada Yura, ya?” Nada Mina terdengar ringan, tapi matanya menyipit tajam. “Jenderal musuh itu sepertinya hanya mengincarnya, bukan kita. Jadi… apa yang kau takutkan sebenarnya, Kenzi? Kehilangan dia… atau kalah darinya?”

Kenzi berhenti berjalan, menatap Mina dingin. “Ini bukan soal dia. Ini soal keamanan seluruh tim. Kalau Mark bisa masuk sejauh ini tanpa terlihat, berarti kita semua dalam bahaya.”

Mina mendekat satu langkah, suaranya lebih pelan. “Atau mungkin… kau takut karena dia menandai Yura, dan kau tak bisa menghentikannya.”

Kenzi tidak menjawab. Ia hanya berbalik, melanjutkan patroli sambil menggenggam radio di tangannya lebih erat.

---

Malam itu, kabut semakin tebal. Yura duduk di meja medis, memeriksa catatan pasien, tapi pikirannya melayang. Amar masuk sambil membawa termos teh.

“Lo kelihatan kayak zombie, Ra. Minum, biar nggak pingsan.

Yura tersenyum samar. “Terima kasih… rasanya aku cuma bisa hidup dari kafein akhir-akhir ini.”

Amar duduk di kursi seberang. “Gue tahu lo takut ngaku… tapi gue lihat cara lo liat ke luar tenda. Lo nunggu dia, kan?”

Yura menatap Amar kaget. “Nunggu? Bukan. Aku cuma… waspada.”

Amar mengangkat alis. “Kalau lo cuma waspada, lo nggak akan gelisah setiap kali ada suara ranting patah di luar. Ra, jujur aja, ada bagian dari lo yang… penasaran sama dia, kan?”

Yura diam lama, lalu akhirnya berkata pelan, “Penasaran… atau takut. Aku sendiri nggak tahu bedanya lagi.”

Sebelum Amar sempat menjawab, suara ledakan keras terdengar dari sisi utara pos. Lampu-lampu mati seketika. Sirine darurat meraung.

Yuda menerobos masuk. “Kita diserang! Semua dokter ke bunker sekarang!”

Hujan peluru dan teriakan menggema di udara. Pos medis berubah jadi kekacauan. Yura, Fara, dan Amar berlari mengikuti Yuda ke arah bunker, tapi di tengah jalan, suara ledakan kedua mengguncang tanah.

Yura terpisah dari yang lain, terjatuh ke tanah becek. Kabut, asap, dan suara tembakan membuat pandangan kacau.

Saat ia berusaha berdiri, bayangan besar muncul dari kabut di depannya. Seragam hitam. Mata hijau berkilat di balik asap.

Mark.

Ia berjalan pelan mendekati Yura, sementara di belakangnya, beberapa prajurit hitam bergerak cepat, menembak ke arah musuh yang tak terlihat. Mark berhenti hanya beberapa langkah dari Yura..

“Aku bilang… kau akan melihatku lagi saat aku mau,” suaranya rendah, nyaris tak terdengar di tengah ledakan, tapi cukup untuk membuat Yura merinding.

Yura mundur satu langkah. “Apa… kau yang memimpin serangan ini?”

Mark tersenyum samar. “Aku yang memimpin segalanya di wilayah ini. Tapi malam ini… aku hanya ingin memastikan kau tetap hidup.”

Tiba-tiba, suara tembakan dari sisi lain membuat tanah di dekat Yura meledak.

Refleks, Mark menarik Yura ke arahnya, memeluk bahunya erat, membawa mereka berdua berlindung di balik reruntuhan.

“Kau tak akan bertahan lama tanpa perlindungan,” katanya datar. “Dan sayangnya… hanya aku yang bisa memberikannya di sini.”

Yura menatapnya tajam. “Kau… musuh. Kau membunuh prajurit kami. Kenapa aku harus percaya padamu?”

Mark menatap balik, mata hijaunya tajam, suaranya berat. “Karena kau tahu, bahkan musuh bisa lebih jujur daripada sekutu yang pengecut. Aku tak akan menyakitimu… kecuali kau memaksa.”

Beberapa detik, mereka hanya saling menatap, di tengah suara perang yang mengguncang di sekitar mereka. Mark kemudian melepaskan genggamannya, berdiri tegak.

“Pergilah ke bunker. Katakan pada Kenzi… peringatan dariku jika dia tak menjaga perimeter lebih baik, aku akan datang lagi. Dan kali berikutnya… mungkin aku tak hanya bicara denganmu.”

Sebelum Yura sempat bertanya lagi, Mark memberi isyarat tangan. Dalam hitungan detik, ia dan pasukannya menghilang ke kabut, seolah mereka tak pernah ada.

Yura akhirnya sampai di bunker, basah kuyup, wajahnya tegang. Kenzi langsung menghampiri.

“Di mana kau?!” suaranya keras, lebih dari biasanya.

Yura menarik napas, mencoba menenangkan diri. “Dia… Mark… dia ada di luar. Dia menyelamatkanku. Dan dia bilang… dia akan datang lagi.”

Kenzi mengepalkan tangan, matanya menyala dengan amarah terpendam. “Kalau dia datang lagi… aku pastikan pertemuan itu akan berakhir berbeda.”

Di sudut ruangan, Mina tersenyum tipis, hampir tak terlihat. “Sepertinya… perang ini bukan cuma antara dua negara. Tapi juga… dua pria yang sama-sama menginginkan hal yang sama.”

Fara dan Amar saling pandang, keduanya sama-sama menyadari

Ancaman terbesar di Namura… mungkin bukan hanya perang, tapi perburuan sunyi yang baru saja dimulai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!