Langit Namura dipenuhi awan hitam sejak fajar. Angin lembab membawa bau logam dan tanah basah, tanda hujan besar akan turun. Tapi hari itu, tak seorang pun di pos medis memikirkan cuaca. Semua mata tertuju pada peta besar yang terhampar di meja komando.
Garis merah dan biru bertabrakan di utara Namura. Di sisi biru, bendera Indonesia. Di sisi merah, simbol pasukan asing.
Jenderal Farhan berdiri tegak di depan peta. Sosoknya berusia akhir 40-an, tubuh tinggi bidang, seragam hijau lorengnya rapi. Matanya tajam, sorotnya penuh kewaspadaan. Suara beratnya memecah hening.
“Mark mulai mengerahkan pasukan elitnya ke sektor utara. Gerilya mereka menghancurkan tiga konvoi kita dalam dua hari terakhir. Jika Namura jatuh… jalur logistik Kalimantan bisa lumpuh total.”
Di sisi lain meja, Kolonel Adi bertanya, “Instruksi, Jenderal?”
Farhan menunjuk area hutan dekat desa kecil. “Kita tahan mereka di sini. Bentuk barikade, jebakannya sudah dipasang. Aku sendiri akan memimpin. Tidak ada penundaan.”
Di belakang ruangan, Yura, Fara, Amar, dan Yuda berdiri bersama tim medis. Mereka diundang hanya untuk menerima pengarahan evakuasi. Tapi begitu mendengar nama Mark, Yura tak bisa menahan diri.
“Jenderal… Mark yang Anda sebut… dia memimpin sendiri?” suaranya ragu, namun terdengar.
Farhan menoleh, menatap Yura sekilas. “Kau dokter muda itu? Ya. Katanya dia punya kebiasaan aneh—selalu muncul di garis depan. Bukan tipikal jenderal yang hanya duduk di belakang.”
Yura menggenggam tangannya erat di balik jas. Sorot mata hijau itu, suara beratnya, semua kembali membayangi.
Kenzi berdiri di sudut ruangan, bersandar pada tiang, mendengarkan dalam diam. Tatapan matanya tajam, wajahnya datar. Ia sudah mendengar nama Mark lebih dari cukup—dan setiap kali mendengar, nalurinya selalu mengatakan satu hal: pria itu berbahaya, dan bukan hanya bagi negara, tapi juga bagi Yura.
Kabut tebal menggantung rendah saat konvoi militer Indonesia bergerak ke utara. Kendaraan lapis baja memimpin, diikuti truk logistik dan mobil medis di bagian belakang. Yura dan timnya berada di salah satu mobil medis, bersama dua perawat tambahan. Mesin diesel menderu pelan, roda-roda berderak di jalan tanah.
“Kenapa aku merasa… kita bukan cuma tim medis, tapi umpan?” Amar berbisik pada Fara, yang duduk di depannya.
Fara melirik keluar jendela. “Karena memang begitu. Mereka taruh kita di tengah rute yang Mark incar. Kalau ada serangan… kita bisa jadi target sekalian alasan untuk menekan media internasional.”
Yuda yang duduk di belakang ikut bicara. “Diam. Fokus saja. Kita punya pekerjaan, bukan spekulasi.”
Yura diam, menatap hutan gelap di luar. Setiap batang pohon terasa seperti mata yang mengintai. Sesekali, ia mengira mendengar suara langkah… atau mungkin hanya angin. Tapi nalurinya berteriak: dia ada di luar sana.
Tak lama kemudian, letupan pertama terdengar. Ledakan ranjau di depan konvoi membuat kendaraan lapis baja terhenti.
Radio prajurit berisik dengan perintah. “Kontak di kiri! Kontak di kanan!”
Suara tembakan senapan otomatis memenuhi udara. Kabut pecah oleh kilatan api. Pasukan asing muncul dari balik pepohonan, bergerak cepat dengan kamuflase hitam. Gerakan mereka seperti bayangan—cepat, senyap, mematikan.
Mark muncul di garis depan, langkahnya mantap, helm tempur hitam menutupi sebagian wajah, tapi sorot mata hijaunya jelas terlihat dari kejauhan. Ia mengangkat tangan, memberi aba-aba, dan pasukannya mulai mengepung konvoi.
“Semua tim medis ke tanah!” teriak seorang prajurit Indonesia. Yura, Fara, dan yang lain menjatuhkan diri ke tanah becek, merunduk di balik roda truk. Suara peluru berdesing di atas kepala.
Yura menoleh sekilas—dan melihat Mark berdiri di atas gundukan tanah, matanya menatap lurus ke arahnya, bahkan di tengah kekacauan. Mereka hanya bertukar pandang sekejap, tapi cukup untuk membuat napas Yura tercekat.
Mark bukan hanya memimpin dari depan. Ia mengubah medan jadi senjata. Pasukannya meledakkan jembatan kecil di belakang konvoi, memutus jalur mundur. Mereka juga menebang pohon besar untuk menghalangi jalan utama. Semua gerakan dihitung presisi, membuat pasukan Indonesia terjepit.
Di pusat komando sementara, Jenderal Farhan menerima laporan radio. “Konvoi Alpha diserang! Mereka terjebak di sektor timur!”
Farhan meraih radio dengan tangan kuat. “Semua unit cadangan, bergerak sekarang! Jangan biarkan Mark menguasai rute! Aku sendiri yang akan pimpin serangan balik.”
Yura berlari dari satu truk ke truk lain, membantu prajurit yang terluka meski peluru terus menghujani sekitar mereka. Darah, teriakan, bau mesiu bercampur dalam udara. Fara menekan luka di bahu seorang prajurit dengan perban darurat.
“Yura! Kita nggak bisa bertahan di sini! Harus mundur!” teriaknya.
“Tapi kalau kita mundur sekarang, yang lain mati!” balas Yura keras, tangannya sibuk menghentikan pendarahan di kaki seorang tentara.
Dari balik asap, sosok tinggi berjaket tempur hitam mendekat. Mark. Ia berjalan tenang, seakan peluru tak menyentuhnya, tatapannya hanya fokus pada Yura.
“Pergi dari sini, Dokter,” suaranya rendah tapi terdengar jelas. “Sektor ini akan kubersihkan. Kau tidak ingin melihatnya.”
Yura menatapnya tajam. “Kau… akan membunuh semuanya di sini?”
Mark menunduk sedikit, mendekat. “Aku akan membunuh siapa pun yang menghalangi. Tapi kau… bukan salah satunya. Pergi.”
Kenzi tiba-tiba muncul dari sisi kanan, senapan di tangan, berdiri di antara Yura dan Mark. Matanya menyipit tajam, nada suaranya dingin.
“Jangan sentuh dia.”
Mark melirik sekilas, senyum samar muncul di sudut bibirnya. “Kenzi… prajurit yang jadi dokter. Menarik.”
Mereka saling tatap, ketegangan di udara begitu pekat hingga bahkan suara perang terasa meredam sejenak.
“Kau bukan lawanku hari ini,” kata Mark tenang. “Tapi jika kau terus menghalangi… aku akan memastikan kau jadi targetku berikutnya.”
Kenzi mengangkat senapan, siap menembak. Tapi sebelum sesuatu terjadi, suara ledakan besar mengguncang medan. Pasukan cadangan Indonesia yang dipimpin Jenderal Farhan tiba, membuka jalur dengan kendaraan berat. Mark memberi aba-aba cepat, dan pasukannya mundur ke hutan seperti bayangan, seakan menghilang.
Sore itu, setelah pertempuran reda, Jenderal Farhan berdiri di antara reruntuhan kendaraan. Wajahnya tegas, tapi matanya menyala marah.
“Mark bermain kotor. Gerilya, sabotase… tapi besok, aku yang akan memburu dia. Namura bukan miliknya.”
Di sisi hutan, Mark berdiri di atas tebing kecil, menatap ke arah medan yang baru ditinggalkan. Ia melepas helmnya, rambut gelapnya berantakan karena angin.
“Farhan… prajurit kehormatan. Tapi kehormatan tak akan menyelamatkan wilayah ini dariku,” gumamnya pelan, suaranya nyaris terdengar seperti bisikan pada angin.
Lalu matanya beralih ke arah pos medis yang jauh di bawah. Senyum samar muncul. “Dan kau, Dokter… aku belum selesai denganmu.”
Malam itu, Namura sunyi. Pos medis dipenuhi korban luka. Yura bekerja tanpa henti bersama timnya, tangannya berlumur darah, matanya berat tapi tetap fokus. Kenzi menjaga di pintu, senapan tergantung di punggung, waspada pada setiap suara di luar.
Di kejauhan, di hutan gelap, dua mata hijau mengamati dari balik teropong. Mark duduk di cabang pohon besar, tenang seperti bayangan.
“Tidurlah, Dokter,” gumamnya pelan, suaranya hanya terdengar oleh dirinya sendiri. “Kita punya banyak malam panjang menanti.”
**
Malam itu, pos medis Namura sunyi. Kabut tebal menyelimuti sekitarnya, membuat suara-suara kecil dari hutan terdengar lebih menakutkan dari biasanya. Lampu-lampu tenda berkelip pelan, beberapa hampir padam karena generator yang mulai melemah.
Di dalam tenda utama, Yura duduk sendirian. Fara, Yuda, dan Amar sudah tertidur di ruang sebelah setelah hari panjang yang melelahkan. Kenzi sedang berpatroli di luar, meninggalkan Yura menulis laporan medis di meja kayu kecil. Suara penanya terdengar jelas di keheningan, beradu dengan suara desahan angin yang menyusup dari celah tenda.
Lalu, suara itu datang. Suara kain tenda bergeser perlahan. Bukan angin. Yura menoleh cepat. Lampu redup membuat bayangan panjang di lantai, dan sebelum ia sempat bereaksi, tangan kuat menutup mulutnya dari belakang.
“Jangan berteriak,” suara berat itu berbisik di telinganya. Dalam kegelapan, mata hijau berkilau menatapnya. Mark.
Jantung Yura berdetak liar. Ia ingin berontak, tapi tubuhnya kaku. Aura pria itu seperti mendominasi udara, membuat napasnya tercekat. Mark menunduk sedikit, wajahnya dekat sekali, suara rendahnya terasa bergetar di kulitnya.
“Aku bilang… aku akan melihatmu lagi, Dokter.”
Yura menggigit bibir, matanya menatap balik penuh keberanian meski tubuhnya gemetar. “Apa yang kau… inginkan? Kalau ketahuan kau di sini, pasukan Indonesia—”
Mark menekan telunjuknya ke bibir Yura, membuatnya terdiam. “Mereka tak akan mendengar. Aku tidak datang untuk perang malam ini… hanya untuk memastikan kau… aman.”
Tatapannya turun sejenak, meneliti Yura dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali menatap matanya. “Dan untuk mengingatkanmu… siapa yang benar-benar mengendalikan permainan di sini.”
Mark melepaskan tangan dari mulut Yura, tapi menggenggam pergelangan tangannya erat, menariknya mendekat hingga jarak mereka hampir tanpa sela. Nafasnya hangat di kulit Yura, tapi sorot mata itu tetap tajam, dominan, seolah setiap gerakan Yura ada di bawah kendalinya.
“Besok… darah akan mengalir di Namura. Farhan akan datang dengan semua yang dia punya. Aku akan menghancurkan mereka. Dan kau…” jari Mark menyentuh dagu Yura, mengangkat wajahnya agar menatap lurus ke arahnya.
“Kau akan tetap di sini. Aman. Karena kalau kau nekat ikut ke medan… aku tak bisa janji kau akan kembali dalam satu bagian.”
Yura menarik napas dalam, berusaha tak menunjukkan ketakutan. “Kau… mengawasi aku karena apa? Aku hanya dokter. Bukan bagian dari perang ini.”
Mark mendekat sedikit lagi, hingga bibirnya hampir menyentuh telinga Yura saat ia berbisik, “Kau bagian dari pertempuranku. Dan kau… tidak tahu seberapa dalam permainan ini berjalan. Tapi kau akan tahu… saat semuanya berakhir.”
Suara langkah dari luar mendekat. Kenzi. Mark menarik napas dalam, lalu mundur selangkah ke bayangan. Sebelum lenyap, ia meraih tangan Yura sekali lagi, membisikkan kalimat terakhir dengan nada perintah yang rendah namun jelas
“Jangan bilang siapa pun aku ada di sini. Bukan Farhan. Bukan Kenzi. Bukan siapa pun. Kau milikku untuk malam ini… dan untuk malam-malam berikutnya.”
Dalam sekejap, Mark menghilang di balik tenda, bayangannya larut bersama kabut malam. Yura berdiri kaku, jantungnya masih berpacu kencang. Saat Kenzi masuk beberapa detik kemudian, menanyakan apakah ada yang aneh, Yura hanya bisa menggeleng, menyembunyikan getaran di suaranya.
Namun di luar, di tepian hutan, mata hijau itu kembali berkilau. Mark berdiri di balik pohon, memperhatikan tenda dari jauh, senyum tipis tersungging di bibirnya.
“Malam ini… hanya permulaan, Dokter.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments