Bab 3: Yang Tak Terucap

~Happy Reading~
-------------------------------------------------
Langit masih kelabu ketika latihan pertama untuk Festival Polaris dimulai. Aula belakang sekolah disulap menjadi ruang rapat dadakan. Lantai berdebu, bangku berderit, tapi semangat kelas 3-B seperti api kecil yang baru dinyalakan—masih rawan padam, tapi berpotensi besar menyala.
-------------------------------------------------
Maven duduk di sudut ruangan, laptop terbuka, earphone di satu telinga, sementara tangannya sibuk mengedit footage dari tahun lalu.
Di sebelahnya, Selia duduk diam, memegang clipboard dan catatan.
Selia Everdeen
Selia Everdeen
“Lo pakai filter tone hangat?” tanya Selia, memperhatikan hasil preview video.
Maven Blackwell
Maven Blackwell
Maven tidak menoleh. “Lebih cocok untuk tema festival. Kalau tone dingin, kesannya formal.”
Selia Everdeen
Selia Everdeen
Selia mengangguk pelan. “Gue suka. Hangat... kayak matahari pagi.”
Maven Blackwell
Maven Blackwell
Maven meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke layar. Tapi senyumnya—meski cuma setipis bayangan pohon—muncul sekilas.
-------------------------------------------------
Sementara itu di ujung aula, Rika sedang duduk di lantai sambil mencorat-coret daftar menu di kertas.
Vian—dengan jaket setengah pakai dan kantung mata khasnya—berbaring malas di bangku panjang, mengunyah roti cokelat.
Rika Fontaine
Rika Fontaine
“Menurut lo, booth makanan kita butuh maskot nggak?” tanya Rika polos.
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Hmm... lo sendiri udah cocok jadi maskot sih,” gumam Vian.
Rika Fontaine
Rika Fontaine
“Eh?” Rika langsung merah padam.
Rika Fontaine
Rika Fontaine
“Jangan bercanda mulu!”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Gue serius,” kata Vian pelan, masih menguap.
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Lo kan rame, imut, dan... bisa makan banyak. Pas.”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
Rika memelototi Vian sambil memegang kertas gambar. “Lo... ngejek ya?”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Enggak. Itu pujian versi gue.”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
Rika mendengus, tapi tak bisa menahan senyum. “Yaudah... nanti gue bikin kostum ayam.”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Warna kuning?”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
“Enggak! Yang merah. Biar kelihatan pedas. Sekalian promosi level 10!”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
Vian menatap langit-langit aula, lalu menggumam, “Kalau lo jadi ayam, nanti gue jadi... apa ya?”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
Rika berpikir sejenak. “Kentang goreng?”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Ngantuk goreng, lebih tepatnya,” Vian melipat tangannya di atas perut, lalu menutup mata lagi.
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Bangunin gue pas latihan ya.”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
“Latihan apaan?”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Latihan jualan sambil pura-pura semangat.”
Rika Fontaine
Rika Fontaine
Rika menggeleng-geleng pelan. “Duh, kenapa gue harus satu tim sama orang yang mood-nya kayak jam dinding rusak…”
Vian Larkspur
Vian Larkspur
“Biar lo belajar sabar,” jawab Vian sambil nyengir kecil dengan mata tertutup.
Rika Fontaine
Rika Fontaine
Rika menatap Vian sebentar.
Dia tertawa sendiri. Mungkin aneh, tapi nyaman juga duduk begini. Sambil diskusi makanan, dan ditemani cowok yang malas tapi... lumayan manis juga kalau lagi nggak tidur.
-------------------------------------------------
Di pojok lain, Haze dan Riven berdiri menghadap papan tulis besar. Keduanya sibuk berdebat soal urutan acara pembukaan.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Kalau lo bikin pidato duluan, semua orang bakal bosan,” keluh Haze.
Riven Hale
Riven Hale
“Dan kalau langsung drama musikal, nggak ada pembukaan yang proper,” balas Riven.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Justru itu! Harusnya bikin penonton excited dari awal. Kalau lo buka dengan ‘Selamat pagi Bapak/Ibu…’, 70% bakal langsung ke toilet.”
Riven Hale
Riven Hale
“Tapi acara itu perlu struktur. Ini bukan toktok, Haze.”
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Zaman sekarang semua orang suka toktok, tahu!”
Tepat saat volume suara keduanya mulai naik, Sion masuk dari belakang, membawa dua botol air mineral dan senyum sok bijak di wajah.
Sion Kessler
Sion Kessler
“Wih, kalian berdua kayak pasangan suami-istri debat nentuin nama anak.”
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“SION!!” Haze langsung melempar spidol ke arahnya. Kena jaket, tapi Sion udah keburu mundur sambil ngakak.
Sion Kessler
Sion Kessler
“Eh, tapi serius. Kalau Haze yang buka acara, gue jamin orang-orang langsung melek. Soalnya... cantiknya nggak masuk akal,” Dia mengangguk dramatis, seolah menyetujui opininya sendiri.
Riven Hale
Riven Hale
Riven memijat pelipisnya. “Sion, kita lagi kerja. Fokus.”
Sion Kessler
Sion Kessler
“Gue fokus kok. Fokus pada keindahan alam buatan Tuhan.”
Haze Lockhart
Haze Lockhart
Haze menatapnya tajam. “Mau gue ubah rundown jadi: acara dibuka dengan pemakaman Sion?”
Sion Kessler
Sion Kessler
“Wah, dramatis. Aku mau dimakamkan dengan background lagu mellow, ya.”
Riven menghela napas, tapi tak bisa menyembunyikan sedikit senyum di sudut bibirnya. Setelah Sion berlalu sambil bersenandung ala sinetron, suasana hening sebentar.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
Haze kembali menulis ulang urutan rundown dengan spidol biru. Tangannya cekatan, suaranya mulai tenang.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Oke, gimana kalau kompromi. Gue buka, tapi bukan pidato resmi. Lebih ke... pengantar santai. Baru lo masukin sambutan ketua kelas.”
Riven Hale
Riven Hale
Riven menatapnya. “Hmm. Itu bisa.”
Tapi kemudian, saat Haze berdiri sedikit membungkuk di depan papan, menyusun ulang urutan dengan serius, Riven diam-diam menatap lebih lama dari seharusnya. Sorot matanya bukan sekadar menilai kemampuan Haze sebagai MC. Ada sesuatu yang lebih rumit di sana—sesuatu yang dia sendiri belum berani beri nama.
Kagum? Mungkin. Perasaan? Bisa jadi. Masalah? Pasti.
Riven Hale
Riven Hale
Riven cepat-cepat mengalihkan pandangan saat Haze menoleh.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Kenapa?” tanya Haze, menatap curiga.
Riven Hale
Riven Hale
“Enggak. Posisinya... agak miring aja tadi,” jawab Riven cepat, menunjuk rundown seadanya.
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Bilang aja lo nggak suka tulisan tangan cewek,” sindir Haze sambil menambahkan bintang di sudut papan.
Riven Hale
Riven Hale
Riven menahan senyum. “Tulisannya berantakan sih. Tapi... ada gayanya.”
Haze Lockhart
Haze Lockhart
“Oh? Sekarang lo jadi kritikus kaligrafi?”
Riven Hale
Riven Hale
“Nggak. Cuma... gue tahu mana yang khas.”
-------------------------------------------------
Di luar aula, Ollie berdiri memandangi papan mading. Di tangannya, dua kaleng cat dan beberapa kuas warna-warni. Rambutnya terikat asal, pipinya sedikit kotor cat biru muda.
Tak jauh dari sana, Zayn baru saja keluar dari gudang alat. Di bahunya, tergantung gulungan karpet merah besar, dan di tangan satunya ada segulung tali tambang.
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Kamu yakin nggak butuh bantuan?” tanya Ollie, melangkah mendekat sambil memeluk kaleng cat ke dadanya.
Zayn Calder
Zayn Calder
Zayn meliriknya sebentar. “Nggak usah. Ini ringan.”
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Kamu tuh keras kepala. Nih, aku bantuin,” Ollie merebut salah satu ujung karpet.
Zayn Calder
Zayn Calder
Zayn sempat ingin protes, tapi akhirnya membiarkan.
Beberapa detik berlalu dalam hening. Hanya suara langkah dan karpet yang menggesek lantai.
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
Lalu, Ollie bertanya pelan, suaranya seperti warna pastel yang dia suka: “Kamu suka warna apa?”
Zayn Calder
Zayn Calder
Zayn menoleh sedikit. “Hitam.”
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Kenapa?”
Zayn Calder
Zayn Calder
“Gak nyolok. Gak ribet. Semua warna kalau campur ujung-ujungnya juga gelap.”
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
Ollie tersenyum. “Kalau aku suka warna pastel. Soalnya lembut. Kayak... perasaan yang belum sempat diungkapin.”
Zayn berhenti melangkah. Hanya sebentar. Matanya sempat melirik ke Ollie, tapi gadis itu tidak sedang menatapnya. Dia sedang memperhatikan lantai, senyumnya masih tersisa.
Zayn melanjutkan langkahnya. Tapi kali ini, dia sedikit memperlambat jalan, agar langkah Ollie bisa sejajar dengannya.
Zayn Calder
Zayn Calder
“Warna pastel cepat pudar,” gumam Zayn akhirnya.
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
Ollie menoleh dan menjawab pelan, “Tapi justru itu yang bikin dia berharga. Karena nggak tahan lama.”
Zayn Calder
Zayn Calder
Zayn terdiam. Untuk pertama kalinya hari itu, sudut bibirnya terangkat. Sedikit saja. Tapi cukup.
Zayn Calder
Zayn Calder
“Lo aneh,” katanya pendek.
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Hehe, kata orang yang ngomong kayak film noir,” Ollie menjulurkan lidah.
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Yuk, kita jadiin karpet ini simbol perdamaian. Hitam dan pastel kerja bareng.”
Zayn Calder
Zayn Calder
“Asal lo nggak nyemprot karpet ini pakai glitter.”
Oliie Beaumont
Oliie Beaumont
“Terlambat. Aku bawa glitter dua toples.”
Zayn Calder
Zayn Calder
Zayn menghela napas... tapi entah kenapa, napasnya terdengar lebih ringan dari biasanya.
-------------------------------------------------
Di atap sekolah, Vivian duduk sendirian sambil melihat foto-foto yang dia ambil hari itu. Salah satunya: candid Vian yang sedang tertidur di bangku panjang, dengan Rika menatapnya diam-diam.
Vivian Altera
Vivian Altera
“Kenapa lo selalu terlihat seperti nggak peduli... tapi semua orang tetap tertarik sama lo?” gumamnya pelan.
Vivian Altera
Vivian Altera
Vivian menyimpan kameranya. Dan untuk pertama kalinya, senyum dingin di wajahnya menghilang. Digantikan tatapan bingung—dan sedikit penasaran.
-------------------------------------------------
Setelah semua mulai sibuk di aula, Lio memilih kabur sebentar ke tangga darurat di sisi timur gedung sekolah—tempat favoritnya untuk... ya, sekadar “menghirup udara kebebasan.”
Dia menyandarkan punggung ke pagar besi, memegang ponselnya dan menonton potongan anime favoritnya. Sampai suara langkah ringan menghentikan dunianya.
Reya Virelle
Reya Virelle
"Kak..."
Lio menoleh. Di hadapannya berdiri seorang siswi kelas dua—berponi samping, mata berbinar, mengenakan cardigan krem di atas seragam. Dia memeluk folder gambar tebal di dadanya.
Lio Vexley
Lio Vexley
“Oh? lo lagi ngikutin gue?” tanya Lio sambil menyipitkan mata dramatis.
Reya Virelle
Reya Virelle
“Saya... cuma lewat. Saya bawa desain untuk booth kelas kita nanti. Tapi saya lihat kakak di sini.”
Lio Vexley
Lio Vexley
Lio tertawa kecil. “Booth? Lo yakin lo nggak nyariin gue?”
Reya Virelle
Reya Virelle
Wajahnya memerah. “Saya cuma... penasaran. Soalnya kakak kan yang paling eksis di Polaris.”
Lio Vexley
Lio Vexley
“Dan paling tampan, jangan lupa,” sahut Lio, mengedipkan mata.
Lio Vexley
Lio Vexley
“Nama lo siapa tadi?”
Reya Virelle
Reya Virelle
“...Reya.”
Lio Vexley
Lio Vexley
“Hm, nama yang cocok buat karakter anime shoujo,” ujar Lio santai.
Lio Vexley
Lio Vexley
“Oke, Reya. Lo suka anime?”
Reya Virelle
Reya Virelle
Reya mengangguk cepat. “Saya gambar juga. Manga style... mau lihat?”
Reya membuka bukunya dan memperlihatkan sketsa wajah Lio—versi chibi. Berambut acak, dengan ekspresi usil dan bintang-bintang di matanya.
Lio Vexley
Lio Vexley
Lio terdiam sejenak. Lalu tertawa keras. “Wah, ini... GOKIL! Gue ganteng banget di sini!”
Reya Virelle
Reya Virelle
“Jangan dibesar-besarin dong,” Reya menunduk malu.
Lio Vexley
Lio Vexley
"Gue suka. Lo jago banget,” ujar Lio sambil menepuk bahu Reya ringan.
Lio Vexley
Lio Vexley
“Besok, lo ikut bantu tim desain ya. Biar bisa sering-sering kerja bareng gue.”
Reya Virelle
Reya Virelle
Reya mengangguk pelan.
Dan untuk pertama kalinya, Lio yang biasanya sok cuek, berjalan turun dari tangga dengan ekspresi berbeda. Mungkin... sedikit lebih semangat.
-------------------------------------------------
Sementara itu di bawah, Vivian kembali menatap layar kameranya. Ada satu foto baru—Lio dan adik kelas yang dia ambil diam-diam dari kejauhan.
Vivian Altera
Vivian Altera
Dia mengerutkan alis. “Si populer itu... mulai tertarik juga rupanya.”
-------------------------------------------------
Hari itu ditutup dengan langit yang tetap mendung, tapi hati sebagian siswa kelas 3-B mulai terasa hangat—meski mereka belum tahu kenapa.
Dan di tengah kesibukan yang kacau, ada banyak hal yang belum terucap. Tapi bukankah itu yang membuat kisah sekolah jadi sulit dilupakan?
-------------------------------------------------
~Bersambung~
Terpopuler

Comments

Apluu Lop

Apluu Lop

Seru!!! Ditunggu Update nya!

2025-07-08

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!