"Semester Terakhir Di Kelas 3-B"
Bab 2: Pilihan atau Hukuman?
---------♧HappyReading♧---------
-------------------------------------------------
Hari kedua semester baru, suasana kelas 3-B masih sama kacau—tapi dengan sedikit bumbu baru: ketegangan soal proyek Festival Polaris.
Riven, yang ditunjuk (tanpa persetujuan) jadi ketua, berdiri di depan kelas sambil menatap papan tulis yang masih kosong. Di belakangnya, Sion asyik menggambar logo untuk booth yang belum disetujui, sementara Lio berdebat dengan Ollie soal siapa yang harus pakai kostum karakter anime.
Riven Hale
“Dengerin gue sebentar,” kata Riven akhirnya, suaranya tegas.
Riven Hale
“Kalau kita mau lulus dengan tenang, kita harus mulai sekarang. Gue udah bikin daftar tugas. Siapa pun yang ngeluh duluan—gue lempar ke seksi konsumsi.”
Rika Fontaine
“Woi! Kenapa konsumsi jadi hukuman?!” protes Rika yang baru saja membuka sekotak bento isi onigiri buatannya sendiri.
Riven Hale
“Karena nanti bakal masak buat seluruh kelas,” jawab Riven tanpa melihat ke arah Rika.
Rika Fontaine
"Sialan"
Rika langsung menutup bentonya sambil manyun.
Selia duduk diam di kursinya, sesekali mencatat di buku. Di sebelahnya, Maven duduk menyilangkan tangan, pandangan tetap ke luar jendela. Tidak bicara satu kata pun.
Selia Everdeen
“Tapi kita belum tahu kita mau bikin booth apa,” ujar Selia pelan.
Oliie Beaumont
“Kita voting aja, gimana?” Ollie menyarankan sambil memutar kursi ke belakang.
Sion Kessler
“Voting pake tangan? Kertas? Polling online? Atau yang kalah harus nonton film horor sendirian di gudang tua belakang aula?” tanya Sion dengan gaya drama.
Haze Lockhart
“Gak usah lebay,” sahut Haze, menyender di kursi sambil memainkan gantungan kuncinya.
Haze Lockhart
“Tapi ide booth perlu yang bisa ngasih nilai plus buat kelas. Sesuatu yang bisa nunjukin kita... nggak seburuk yang mereka kira.”
Semua tiba-tiba hening. Kalimat itu mengena.
Selia Everdeen
“Gimana kalau booth drama interaktif?” celetuk Selia, suaranya nyaris seperti bisikan. Tapi entah kenapa, semua langsung melirik.
Lio Vexley
“Drama?” tanya Lio, langsung berdiri.
Lio Vexley
“Drama musikal? Atau cosplay live-action? Gue bisa jadi pemeran utama!”
Zayn Calder
“Lo emang udah bintang sih di dunia lo sendiri,” sahut Zayn ketus dari belakang.
Selia Everdeen
Selia tersenyum kecil. “Enggak, maksudku... drama interaktif. Jadi pengunjung bisa masuk ke ruangan dan mereka jadi bagian dari ceritanya. Ada rute yang berbeda tergantung pilihan mereka. Kayak visual novel.”
Suasana kelas langsung ramai.
Oliie Beaumont
“Itu keren banget!” seru Ollie sambil melompat kecil. “Kita bisa bikin ruangan tematik! Ada kisah detektif, horror, romance...”
Haze Lockhart
“Tunggu, romance?” tanya Haze, menatap skeptis ke arah Rika dan Sion yang tiba-tiba kelihatan semangat berlebihan.
Sion Kessler
“Gue bisa jadi cowok ganteng yang naksir pengunjung,” kata Sion sambil menyisir rambut ke belakang.
Haze Lockhart
“Maaf, lo udah tua,” celetuk Haze datar.
Selia Everdeen
Selia menunduk sedikit malu ketika semua menyetujui idenya. Tapi satu tatapan mengganggu pikirannya—Maven. Cowok itu hanya diam, tidak bereaksi.
Seusai kelas, saat semua sibuk diskusi di grup chat, Selia memutuskan untuk pulang lebih lambat. Ia ingin menggambar konsep booth dramanya di ruang seni.
Selia Everdeen
Langkahnya berhenti di tangga menuju lantai dua. Di sana, di dekat jendela, berdiri Maven, sendirian. Tatapannya masih ke arah langit.
Maven Blackwell
“Konsep lo bagus,” katanya pelan tanpa menoleh.
Selia Everdeen
Selia sedikit kaget. “Oh... makasih. gue pikir lo gak suka.”
Maven Blackwell
“Gue gak suka keramaian. Tapi Gue suka cerita,” jawab Maven akhirnya menoleh. Matanya dingin, tapi kali ini... ada sedikit ketertarikan.
Mereka saling menatap sejenak. Bukan tatapan dalam yang bikin jantung berdebar, tapi cukup untuk membuat Selia ingin tahu lebih banyak tentang cowok dingin itu.
Selia Everdeen
“Kalau lo mau... gue bisa tunjukin storyboard-nya nanti,” kata Selia ragu.
Maven Blackwell
Maven mengangguk, kemudian berjalan pergi tanpa kata. Tapi langkahnya terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Selia Everdeen
"..."
Memandang kepergian Maven, dengan senyum kecil di bibirnya.
Sementara itu, di lorong belakang sekolah, Zayn sedang berdebat dengan Riven soal pembagian shift tugas.
Zayn Calder
“Gue gak bisa kerja bareng Ollie. Dia itu... terlalu ribut!” kata Zayn sambil melipat tangan.
Riven Hale
“Justru karena itu, lo harus sama dia,” jawab Riven. “Festival ini bukan soal siapa cocok sama siapa. Tapi soal siapa yang bisa beradaptasi.”
Oliie Beaumont
Dari balik semak, Ollie mengintip sambil mengunyah marshmallow. “Dia bilang aku ribut, tapi mukanya selalu merah tiap aku nyolek dia,” bisiknya sambil terkekeh.
Dan di kelas sebelah, seorang cewek berambut panjang dengan poni lembut menatap keluar jendela. Namanya Vivian. Matanya menangkap sosok Vian yang sedang tidur di taman dengan buku menutupi wajahnya.
Vivian Altera
“Cowok aneh,” gumamnya pelan. Tapi bibirnya melengkung kecil.
Saat istirahat, Selia keluar kelas untuk mengambil udara. Dipegangnya botol minum yang belum sempat dia buka sejak pagi. Dari jauh, dia melihat sosok tinggi dengan hoodie gelap duduk sendirian di pojok taman sekolah—Maven.
Selia Everdeen
Ia ragu beberapa detik. Lalu melangkah pelan.
Selia Everdeen
“Maven?” panggilnya lembut.
Maven Blackwell
Maven tak menoleh, tapi jawabannya terdengar jelas. “Kenapa? nggak istirahat?”
Selia Everdeen
"Udah, kok"
Jawabnya singkat
Selia Everdeen
“Gue cuma... mau nanya soal dokumentasi. Kita kan satu tim,” Selia duduk di bangku seberangnya.
Suasana jadi sedikit canggung.
Maven Blackwell
“Hm. Kita butuh kamera utama, mic nirkabel, dan slot edit video sebelum minggu depan. Gue bisa edit, lo urus arsip dan pemotretan,” ucap Maven cepat.
Selia Everdeen
Selia terdiam beberapa saat, lalu tersenyum tipis. “Lo kayak robot ya.”
Maven Blackwell
Maven akhirnya menoleh, menatap langsung ke matanya. Tatapan dingin, tapi ada sedikit rasa penasaran.
Selia Everdeen
“Lo selalu ngomong seperlunya, kerja seefisien mungkin, nggak senyum. Tapi gue tahu lo perhatian. Lo nyelametin Ollie waktu dia hampir jatuh dari panggung kecil, kan?”
Maven Blackwell
Maven mendengus pelan. “Itu refleks.”
Selia Everdeen
Selia mengangguk pelan. Tapi senyumnya tak luntur. “Makasih udah pilih satu tim sama gue.”
Maven Blackwell
Maven menatap langit mendung. “Gue bukan pilih Lo. Gue cuma... percaya lo gak akan banyak drama.”
Selia Everdeen
Dan untuk pertama kalinya, Selia tertawa kecil. Di matanya, Maven bukan hanya cowok dingin. Tapi seseorang yang diam-diam bisa peduli.
Di sisi lain sekolah, Zayn sedang menggulung kabel panjang untuk keperluan keamanan festival. Ollie muncul dari balik tembok membawa kardus berisi cat warna-warni.
Oliie Beaumont
“Hei, Zayn! Bantuin dong, berat banget nih!” serunya.
Zayn Calder
Zayn mengangkat alis. “Emang gue kuli?”
Oliie Beaumont
“Tapi kamu kuat,” Ollie mengedip jahil.
Zayn Calder
Dengan malas, Zayn bangkit dan meraih kardus itu dari tangannya. “Hati-hati. lo bisa kesandung.”
Oliie Beaumont
Ollie tertawa kecil. “Zayn yang galak ternyata perhatian ya. Awas nanti aku jadi suka.”
Zayn Calder
Zayn tersedak udara. “Apa?”
Oliie Beaumont
“Bercanda~!” kata Ollie sambil lari kecil.
Zayn Calder
Zayn menatap punggung gadis itu, dan entah kenapa, ada sedikit senyum muncul di bibirnya.
Sementara itu, Haze sedang fokus di bangkunya, merapikan catatan untuk skrip MC acara kelas minggu depan. Keningnya sedikit berkerut, pulpen mondar-mandir di atas kertas seperti pasukan tempur yang sedang menyusun strategi.
Sion, duduk di depan Haze, tak henti-hentinya menengok ke belakang. Matanya berbinar seperti anak kecil di toko permen.
Sion Kessler
"Menurut lo gue cocoknya pakai jas glitter? Atau yang semi-formal aja, biar kelihatan humble tapi tetap mematikan?"
Haze Lockhart
“Kenapa sih! Lo selalu mikirin baju?” Haze mendengus tanpa mengangkat wajah. Tangannya masih menulis cepat.
Haze Lockhart
"Ini acara sekolah, bukan red carpet drama Korea."
Sion Kessler
"Hei, jangan salah. Visual itu segalanya. Penampilan bisa nyelametin panggung yang skripnya hancur," Sion berpose sok cool, tangannya membentuk 'V' di depan dagu.
Haze Lockhart
Haze berhenti menulis sejenak.
"Gue bakal bikin lo pakai celana kodok warna ungu dan topi badut kalau lo terus gangguin gue nyusun skrip ini," ancamnya datar, tapi jelas mengandung bahaya.
Sion Kessler
"Wah—nggak, nggak, celana kodok tuh... anti-panggung!" Sion pura-pura panik, langsung duduk tegak sambil menutup mulutnya.
Tapi tak lama kemudian, dia kembali melirik ke arah Haze.
Sion Kessler
"Eh... tapi serius, lo kelihatan cantik banget kalau lagi fokus gitu.
Haze langsung menatap tajam, ekspresinya campuran antara kaget dan ingin melempar penghapus.
Haze Lockhart
Haze menatap tajam. “Mau gue lempar pakai skrip lo?!”
Sion Kessler
"Kalau lo yang lempar... gue rela. Asal lemparnya sambil senyum," kata Sion, kali ini sambil menutup wajah pakai buku, siap-siap menghadapi bencana.
Haze Lockhart
Haze menghela napas panjang, lalu geleng-geleng pelan.
Haze Lockhart
"Sumpah, lo ini kayak kutukan di tengah deadline."
Sion Kessler
"Tapi kutukan yang ganteng, kan?"
Ucapnya menggoda.
Haze Lockhart
"Kutukan yang pengen gue coret dari naskah hidup gue!"
Sion Kessler
Sion langsung pura-pura tumbang ke meja.
"Aduh... sakitnya tuh di karakter development..."
Haze Lockhart
Haze menatapnya datar, lalu menyipitkan mata.
"Bagus. Biar karakter lo evolve jadi orang waras."
Sion Kessler
Sion ngangkat kepala pelan, ekspresi menderita.
"Tega banget lo, Zee... Tokoh utama harusnya dibantu, bukan dibully."
Haze Lockhart
"lo tuh bukan tokoh utama."
Sion Kessler
"Terus gue apa dong?"
Haze Lockhart
"NPC yang numpang lewat doang. Kalau ganggu skrip lagi, gue jadikan background furniture."
Sion Kessler
Sion memegangi dadanya seperti habis ditusuk.
"Astaga... gue furniture. Tapi furniture mahal, ya? Kayak sofa Korea."
Haze Lockhart
Haze nggak tahan. Dia akhirnya menutup bukunya dan melempar penghapus ke arah Sion — tentu saja meleset, karena Sion udah bersiap duluan.
Sion Kessler
"Tuh kan, bener! Kekerasan verbal dan fisik! Ini konflik babak dua!"
Haze Lockhart
"Bisa diem nggak? Nanti aku tulis nama lo di naskah... jadi korban ledakan di panggung."
Sementara yang lain sibuk, Rika dan Vian duduk di koridor belakang, makan roti isi sosis.
Rika Fontaine
“Kalau kita bikin booth makanan, gue boleh bawa ramen cup 50 bungkus?” tanya Rika serius.
Vian Larkspur
“Boleh... asal lo janji gak makan semuanya sebelum festival dimulai,” kata Vian, sambil menguap.
Rika Fontaine
Rika menggembungkan pipinya. “Huh! gue tuh niat! Tapi ya... ramen enak banget sih…”
Vian Larkspur
Vian tersenyum malas. “Lo lucu banget kalo ngomongin makanan.”
Rika Fontaine
Rika melirik cepat, pipinya memerah. Tapi dia mengalihkan pandangan dan pura-pura fokus ke roti.
Dan di kelas sebelah, Vivian kembali ke mejanya sambil melihat daftar peserta festival. Di sana, nama Vian muncul sebagai koordinator logistik.
Vivian Altera
Vivian menyentuh nama itu dan tersenyum.
Vivian Altera
“Cowok pemalas tapi selalu muncul di waktu penting... menarik,” gumamnya.
-------------------------------------------------
Comments