Menjelang malam, saat langit di luar kastil telah berubah kelam dan angin membawa hawa dingin yang menusuk, dua pelayan wanita mengetuk pelan pintu kamar Mirelsha. Mereka membawa nampan perak berisi hidangan makan malam.
“Yang Mulia, makan malam Anda telah kami siapkan,” ujar salah satu dari mereka dengan nada yang dibuat-buat lembut.
Tanpa menoleh, Mirelsha menjawab datar, “Letakkan saja di meja.”
Kedua pelayan itu segera mematuhi perintah, bergegas menaruh nampan di meja kayu dekat jendela. Seperti biasa, mereka berharap bisa segera meninggalkan ruangan itu tanpa pertanyaan. Namun, saat keduanya hendak memutar tubuh menuju pintu, suara Mirelsha memecah keheningan dengan dingin dan tajam.
“Berhenti di tempat.”
Langkah mereka terhenti seketika. Tegang. Kaku. Udara di dalam kamar seakan menebal oleh tekanan yang tiba-tiba menggantung.
“Aku belum memberi izin kalian untuk pergi.”
Nada suara Mirelsha kali ini sangat berbeda dari biasanya—lebih tegas, jauh lebih menakutkan. Tidak ada jejak kelemahan di balik suaranya, hanya kekuasaan yang tak bisa ditawar. Aura mengancam itu membuat tubuh kedua pelayan tersebut menegang. Mereka saling melirik, hati mereka dipenuhi firasat buruk.
“A-Ada yang bisa kami bantu, Yang Mulia?” tanya salah satunya, mencoba menahan getar di suaranya.
Mirelsha menatap mereka dengan sorot tajam.
“Sebelum kalian pergi, aku ingin mencicipi makananku terlebih dahulu.”
Ia melangkah pelan menuju meja makan, matanya tidak pernah lepas dari kedua pelayan itu. Dengan gerakan perlahan, ia menyendok sedikit makanan, mencicipinya tanpa ragu. Keduanya menahan napas, menunggu reaksi sang putri.
Namun, saat Mirelsha mengangkat gelas untuk meminum airnya, gerakannya mendadak terhenti. Bibirnya hanya sejengkal dari tepi gelas.
“Hmm….” gumamnya lirih. “Aneh.”
“A-aneh bagaimana, Yang Mulia?” tanya pelayan yang satu, suaranya sedikit gemetar.
Mirelsha meletakkan gelas itu perlahan di atas meja, kemudian berbalik. Sorot matanya menggelap.
“Air ini mencurigakan. Rasanya… terlalu bersih untuk tempat sebusuk ini.”
Langkah Mirelsha kemudian berubah cepat dan mengancam. Ia meraih tangan salah satu pelayan dengan tiba-tiba dan tanpa ampun, mendorong gelas ke arah mulutnya.
“Minum. Sekarang.”
“T-Tidak, Y-Yang Mulia, saya—”
“Minum atau aku akan memaksamu menelannya sampai tetes terakhir.”
Dengan tangan dingin dan kekuatan tak terduga, Mirelsha menekan gelas ke bibir sang pelayan. Cairan itu tumpah, sebagian mengalir ke dagunya, tapi cukup banyak yang tertelan.
Pelayan itu terbatuk keras beberapa kali, tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan, dan beberapa detik kemudian, ia ambruk ke lantai dengan napas tersengal.
Pelayan satunya menjerit kecil dan mencoba kabur, tapi sebelum sempat menyentuh gagang pintu, Mirelsha sudah berada di belakangnya. Ia menarik gadis itu dengan kekuatan yang tidak seharusnya dimiliki oleh tubuh yang sedang lemah.
“Kau juga. Jangan berpikir aku akan membiarkan satu pun dari kalian lolos.”
Dengan tangan satunya, ia meraih gelas sisa di meja dan memaksanya minum. Jeritan pilu terdengar sebelum tubuh kedua pelayan itu tumbang ke lantai, tak sadarkan diri, wajah mereka pucat dan membiru oleh efek racun yang mereka ciptakan sendiri.
Mirelsha berdiri tegak di hadapan dua tubuh pingsan itu. Matanya memancarkan kekuatan yang tidak tergoyahkan.
“Racun kalian bukan tandingan pengetahuan medisku. Dan mulai sekarang, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan.”
Kabar mengerikan itu menyebar cepat. Isu tentang dua pelayan yang pingsan akibat racun dan bagaimana sang Tuan Putri Mirelsha menanganinya tanpa ragu, akhirnya sampai ke telinga para pelayan dan kesatria lainnya.
Sekejap, seluruh atmosfer kastil berubah drastis.
Harapan mereka bahwa sang putri buruk rupa akan segera lenyap dari dunia, sirna tanpa sisa. Kini, rasa gentar menyelimuti hati mereka. Kehidupan yang awalnya seperti surga karena bebas menindas, kini berubah menjadi neraka yang mereka ciptakan sendiri dan mereka terkunci di dalamnya.
Salah seorang kesatria panik langsung menulis surat dengan tergesa, mengabarkan peristiwa mengerikan ini ke pihak istana. Mereka tahu waktu mereka terbatas. Akan tetapi, kabur dari tempat terkutuk ini bukanlah perkara mudah. Akses keluar dari hutan belantara ini terlalu berbahaya bagi manusia biasa. Satu-satunya harapan hanyalah para penyihir istana. Namun sayangnya, para penyihir tengah berada di ibu kota dan baru akan kembali tiga hari lagi.
Mereka harus bertahan selama itu ... jika bisa.
“Tiga hari ... kita harus hidup bersama iblis itu selama tiga hari?”
“Sudah tiga orang menjadi korban. Jika kita tidak berbuat sesuatu, bisa-bisa kita semua menyusul.”
“Aku tidak mengerti ... Kenapa dia berubah seperti itu? Aku akui dia dulu memang sedikit temperamental, tetapi dia tidak pernah berani bersikap kejam kepada kita.”
“Apa dia kerasukan iblis?” terka salah satu pelayan dengan wajah pucat. “Atau ini bukan Mirelsha yang kita kenal?”
Desas-desus dan bisikan ketakutan mengalir di antara mereka. Semua hanyalah dugaan tidak berdasar. Tidak ada yang tahu bahwa tubuh Mirelsha kini dihuni oleh jiwa yang jauh lebih berbahaya yaitu Carissa Neraya, Dewi Transformasi dari dunia lain.
Di tengah kecemasan mereka, suara langkah kaki terdengar dari lorong.
“Apa yang kalian sedang lakukan?” Suara datar itu membuat seluruh tubuh mereka menegang.
Mirelsha berdiri di ambang pintu, postur tegaknya memancarkan wibawa dan tekanan tak kasat mata. Senyum tipis menghiasi bibirnya, bukan senyum hangat, melainkan senyum yang membuat bulu kuduk berdiri.
“Y-Yang Mulia! Kami ... hanya sedang beristirahat sejenak. Apakah ada yang bisa kami bantu?”
“Ah, ya. Tadi aku berjalan-jalan ke dekat pohon abadi,” ucap Mirelsha ringan, seperti berbicara tentang hal sepele. “Kalian tahu? Aku melihat banyak sayur zeriloom tumbuh subur di sana. Aku tiba-tiba ingin makan salad segar malam ini.”
“Sayur ... zeriloom?” ulang salah satu pelayan dengan suara bergetar.
“Benar,” jawab Mirelsha sambil tersenyum lebar. “Petikkan untukku. Sekarang.”
Mereka hanya bisa mengangguk patuh. Tidak ada yang berani membantah perintah Mirelsha.
Kelima orang itu segera beranjak dari aula tanpa menunda waktu lagi, dua kesatria dan tiga pelayan istana. Tidak satu pun dari mereka cukup berani untuk pergi sendirian atau berpasangan ke arah pohon abadi, sebab jalur menuju tempat itu dikenal mencekam dan dipenuhi kabut tebal yang tidak ramah. Pepohonan menjulang rapat, suara-suara asing kerap terdengar dari balik semak, dan konon, binatang buas menjadikan area tersebut sebagai sarang.
Sementara kelima orang itu melangkah pergi, di ambang pintu kastil, Mirelsha berdiri memandang punggung mereka yang perlahan menghilang di balik kabut hutan.
Di wajahnya terpatri senyum miring, seolah-olah mengantar kepergian mereka ke liang kubur.
Mirelsha pun berucap pelan, “Selamat tinggal. Semoga perjalanan kalian menyenangkan menuju neraka.”
Tidak perlu waktu lama. Sekitar satu jam berselang, seorang kesatria yang berjaga di sekitar kastil berlari menemui Mirelsha. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya menggigil.
“Y-Yang Mulia ... kabar darurat! Kelima orang yang Anda perintahkan untuk memetik sayur zeriloom ... semuanya ... mereka diserang... oleh binatang buas di hutan. Tidak satu pun yang selamat .…”
Mirelsha hanya duduk tenang di kursinya. Ia menyilangkan kaki dan menyandarkan punggungnya dengan tenang. Di sudut bibirnya tersungging senyum penuh kepuasan.
“Oh begitu ... sungguh disayangkan. Mau bagaimana lagi, hutan ini memang sarangnya binatang buas. Kau boleh pergi sekarang, silakan kalian urus pemakaman untuk mereka,” tutur Mirelsha, mengusir kesatria tersebut secara halus.
“B-Baik, Y-Yang Mulia.”
Sesudah kesatria itu pergi, suara tawa Mirelsha langsung pecah. “Hahaha …”
Tawa itu ringan, tetapi mengandung aroma bahaya.
“Bodoh sekali mereka. Tidak menyadari bahwa kematian mereka bukan sekadar takdir. Namun, semuanya adalah hasil dari permainan yang kutulis sendiri.”
Mata merahnya berkilat, menatap sebuah botol putih tergenggam di tangannya.
“Untung saja kemarin aku menemukan akar furcalla saat berjalan ke belakang kastil. Cairan ekstraknya, jika disemprotkan ke pakaian seseorang, akan menarik makhluk-makhluk buas dalam radius ratusan meter. Mereka tidak pernah tahu bahwa aku telah mengubah mereka menjadi umpan hidup. Itulah balasan kecil bagi yang berani meremehkan aku.”
Mirelsha tersenyum tipis, dingin, dan penuh perhitungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments