Kenangan yang bukan miliknya mengalir masuk ke dalam benak Carissa bagai air bah yang tidak bisa dibendung. Gambar-gambar kehidupan masa lalu Mirelsha berkelebat cepat dan jelas, menusuk setiap sisi kesadarannya dengan rasa getir dan luka yang nyaris tidak tertahankan.
Carissa terdiam, tubuhnya gemetar bukan karena hujan atau dingin malam, melainkan oleh rasa sakit yang tertanam dalam ingatan tubuh yang kini dia tinggali. Rentetan penderitaan hidup Mirelsha, sepanjang tujuh belas tahun menerjang dirinya tanpa belas kasihan.
Suara ibunya bergema. "Mengapa kau tak bisa secantik adikmu? Hanya membuat malu keluarga."
Sang ayah menatapnya seakan-akan dia makhluk gagal. Para pelayan berbisik dan tertawa ketika ia lewat. Beberapa bahkan tak segan menampar, menendang, atau mencelupkan air panas ke tubuhnya. Seorang kesatria pernah menahan tangannya di atas api hanya karena dia menjatuhkan gelas anggur. Segala bekas luka senjata tajam dan bekas luka lain di tubuhnya ia dapatkan dari segala penyiksaan tersebut. Tiada orang yang membelanya, bahkan orang tuanya sekali pun.
Dan di balik semua itu, wajah seorang gadis cantik bersinar dalam bayangan, Rosmara, adik kandung Mirelsha, murni, lembut, dipuja semua orang, termasuk sang tunangan yang seharusnya menjadi milik Mirelsha.
Carissa mencengkeram dadanya sendiri. Sakitnya terlalu nyata.
“Tunangannya seorang duke muda. Dia mencintai Rosmara, bahkan di hadapan Mirelsha, dia tidak menyembunyikannya. Dan tidak ada yang berpihak padanya. Tidak satu pun.”
Sebagai seorang putri kekaisaran, Mirelsha tidak pernah memiliki harga diri, kasih sayang, atau tempat pulang. Hanya cemoohan, pengkhianatan, dan kekerasan yang dia terima, hingga pada akhirnya dia menyerang balik seorang bangsawan muda yang menghinanya sebagai "sampah kekaisaran".
Itulah titik akhir segalanya.
Hukuman dijatuhkan. Tidak melalui pengadilan. Tidak dengan belas kasihan.
Mirelsha, Tuan putri Kekaisaran Caelverin, diasingkan ke kastil tua di tengah hutan gelap, diseret seperti tahanan oleh para kesatria dan pelayan yang sama sekali tidak menganggapnya manusia.
Mirelsha ditinggalkan di sana dalam keadaan luka parah, tanpa pengobatan, tanpa makanan.
Hujan deras mengguyur tubuhnya yang lemah, hingga napas terakhirnya lenyap tanpa suara, tanpa siapa pun yang peduli.
Dan di sinilah Carissa membuka mata. Dalam tubuh yang telah dikubur oleh dunia bahkan sebelum ia mati.
Carissa jatuh berlutut. Air mata membaur dengan hujan. Napasnya tercekat, seakan-akan seluruh penderitaan itu terpatri langsung ke jiwanya.
“Aku ... tidak percaya ada orang yang hidup sekejam ini …,” gumam Carissa.
Dia menatap tangannya, tangan yang bukan miliknya, tetapi sekarang melekat erat pada tubuh dan takdir baru.
“Dan semua orang menyalahkannya hanya karena wajahnya.”
Diam sejenak. Kemudian, perlahan tetapi pasti, sorot matanya berubah.
Rasa marah yang semula ditujukan pada nasibnya sendiri kini berubah arah.
Menjadi api kecil, membakar dadanya dengan keyakinan.
“Tidak ... Mirelsha tidak pantas diperlakukan seperti ini. Tidak ada seorang gadis pun yang pantas dibuang hanya karena dia tidak sempurna di mata dunia.”
Carissa mengepalkan tangan. “Kalau dunia ini membuangnya hanya karena rupa, maka aku akan buat dunia ini belajar, bahwa kecantikan adalah kekuatan, dan kekuatan itu kini berada di tanganku.”
Dia bangkit perlahan, hujan masih membasahi tubuhnya. Akan tetapi, kini Carissa berdiri lebih tegak.
“Carissa Neyara telah mati di dunia lama. Namun, di dunia ini Mirelsha akan hidup kembali. Sebagai diriku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjaknya lagi.”
Sementara hujan mengguyur dengan deras di luar kastil yang terletak di ujung hutan terpencil, suasana di dalam bangunan tua itu justru dipenuhi dengan gelak tawa dan aroma makanan mewah. Di aula utama yang dulunya megah, kini mulai usang oleh waktu, para pelayan dan kesatria yang seharusnya melayani sang tuan putri, justru tengah bersenang-senang tanpa rasa bersalah.
Hidangan daging panggang, roti lembut, dan anggur merah memenuhi meja panjang yang terbuat dari kayu oak tua. Mereka makan dengan lahap, mulut mengunyah rakus sambil bercakap penuh ejekan.
“Siapa sangka, mengawal tuan putri terbuang bisa semenyenangkan ini,” ujar seorang pelayan pria, menyeka mulutnya dengan serbet linen. “Bayaran kita bahkan lebih tinggi daripada saat kita bertugas di istana utama.”
“Ya! Dan yang terbaik, tidak ada bangsawan sok suci yang mengawasi kita!” sahut lainnya, mengangkat gelas anggurnya tinggi-tinggi.
“Tentu saja,” kata seorang kesatria sambil tertawa sinis. “Selama si buruk rupa itu tetap diam dan tak mengganggu, kita bisa menikmati hidup kita di tempat terkutuk ini. Lagipula, dia bahkan tidak pantas disebut ‘tuan putri’.”
“Tuan putri?” Salah satu pelayan wanita menyahut dengan nada mengejek. “Dia bahkan lebih pantas dipanggil kutukan berkaki! Lihat saja wajahnya ... aku lebih rela memeluk kambing daripada melihat dia setiap hari.”
Tawa meledak di seisi ruangan. Suara mereka menggema di dinding batu, menjadi simfoni keji yang mencerminkan kejahatan mereka. Akan tetapi, tawa itu mendadak terputus.
CREEEAAAK
Pintu utama kastil tua tersebut terbuka perlahan, menimbulkan suara nyaring yang bergesekan dengan engsel berkarat. Angin malam yang dingin menyelinap masuk, membawa serta aroma tanah basah dan darah yang nyaris mengering.
Mereka menoleh serempak dan mendadak dunia seperti terhenti.
Di ambang pintu berdiri sosok yang tidak mereka sangka akan kembali berdiri. Basah kuyup dari ujung kepala hingga kaki, tubuhnya lemah, tetapi matanya menyala tajam.
Mirelsha.
Tuan Putri yang mereka kira telah mati di bawah hujan. Yang mereka tinggalkan berdarah di tengah hutan. Yang mereka hina, siksa, dan buang seolah tak lebih dari sampah kekaisaran.
Malam itu ... dia berdiri di ambang pintu dengan aura yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya. Tatapan matanya menusuk seperti bilah es, wajahnya yang rusak oleh luka tidak lagi terlihat menyedihkan, tetapi menyeramkan. Seolah-olah luka-luka itu bukan lagi cacat, melainkan tanda kebangkitan.
“Apa kalian bersenang-senang?” Suara itu rendah, dingin, dan penuh tekanan tak kasat mata. Kalimat sederhana, tapi menggetarkan udara.
Tidak ada yang menjawab. Suasana beku. Beberapa pelayan menelan ludah. Kesatria yang tadinya tertawa paling keras kini menggenggam gagang pedang dengan gugup.
“Teruskan saja makannya,” tutur Mirelsha atau lebih tepatnya, Carissa yang kini berdiri dalam tubuhnya. “Karena ... itu akan menjadi suguhan terakhir kalian di dunia ini.”
Mirelsha menyeringai. Kehadiran Mirelsha malam itu tidak seperti biasanya. Langkahnya pelan dan bergema, bunyi sepatunya yang basah menyentuh lantai batu kastil yang dingin, menciptakan denting menyeramkan di tengah keheningan yang tegang. Hujan masih mengguyur di luar sana, tetapi malam terasa lebih dingin di dalam.
Langkah Mirelsha bergema pelan namun penuh wibawa ketika dia mulai menaiki anak tangga batu yang mengarah ke lantai atas, menuju kamar yang dulunya lebih mirip ruang pengasingan ketimbang kamar bangsawan. Gaun basah Mirelsha masih meneteskan air, tanpa mengurangi sedikit pun kewibawaan yang kini terpancar dari setiap geraknya.
Sebelum berbelok di tikungan tangga, Mirelsha menoleh untuk terakhir kalinya.
Tatapan matanya menyapu seluruh ruangan, dingin, dalam, dan tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Dalam sorot tersebut, tertanam peringatan diam-diam bahwa dirinya yang dulu telah mati dan yang berdiri di hadapan mereka sekarang bukan lagi tuan putri yang bisa dihina seenaknya.
Tidak satu pun dari mereka berani bergerak. Bahkan, napas pun terasa berat ditarik. Aura Mirelsha menekan mereka tanpa harus mengangkat satu jari pun.
Setelah sosoknya menghilang di balik dinding, keheningan yang mencekam perlahan pecah oleh bisik-bisik gugup.
“H-Haha ... apa yang baru saja terjadi?” Salah satu pelayan mencoba tertawa, meski nada suaranya terdengar kaku. “Dia ... sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya.”
Seorang pria lainnya menunduk, ekspresinya masih pucat. “Tetapi ... kau sendiri yang bilang dia sudah mati. Aku melihatnya tidak bergerak, tubuhnya berdarah di bawah hujan .…”
“Lalu kenapa dia bisa muncul ... berdiri seperti itu? Dengan sorot mata yang—”
Dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya sebab firasatnya kian terasa memburuk.
Tanpa mereka sadari mimpi buruk tengah berjalan perlahan menghampiri mereka. Gadis yang mereka buang ke hutan… telah kembali, bukan sebagai korban, melainkan sebagai ancaman yang baru bangkit dari neraka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Wahyuningsih
thor buat kluarganya menyesal d buat segan mtipun tk mau
2025-09-27
0
𝓡𝓪𝓲𝓷𝓪 (来奈)
Lanjut 😊😊
2025-07-06
0