Who Am I?

Who Am I?

Bab 1: Terjebak di Rawa Kehidupan Baru

Bau anyir tanah basah bercampur aroma busuk kotoran hewan menusuk hidungku, sebuah aroma yang sama sekali asing dari wangi antiseptik rumah sakit atau aroma kopi instan yang jadi teman begadang. Tubuhku terasa remuk redam, setiap otot menjerit protes seolah baru saja dipaksa memanggul beban seribu ton. Kelopak mata yang terasa seberat timah akhirnya terbuka perlahan, menyingkap langit abu-abu yang dihiasi awan berarak malas. Ini bukan langit-langit plafon kamarku, bukan pula lampu neon ruang ICU.

 

“Sialan...” desahku, sebuah kutukan familiar yang dulu sering keluar dari bibirku saat deadline tugas menumpuk. Namun, suara yang keluar kini hanyalah rintihan kecil seorang anak. Suara serak, cempreng, dan jauh dari beratnya vokalku dulu. Astaga, ini mimpi buruk macam apa?

 

Aku, seorang mahasiswa akut yang menghabiskan dua puluh tiga tahun hidupnya bergulat dengan buku-buku tebal dan penyakit langka yang menggerogoti, kini mendapati diriku teronggok di tengah lumpur. Celana kumal dan kemeja lusuh yang kebesaran membungkus tubuh kecilku. Tangan-tangan mungilku yang kotor mencoba mengusap wajah, namun hanya merasakan pipi tirus dan hidung pesek. Ini bukan aku. Ini… bocah ingusan.

 

Kilasan memori terakhir menerjang benakku, terasa begitu nyata dan menyakitkan. Monitor detak jantung yang melambat hingga berhenti, tatapan cemas kedua orang tuaku yang memudar di batas pandang, dan kegelapan absolut yang merenggut kesadaranku. Aku mati. Itu pasti. Lalu, apa ini? Reinkarnasi? Apakah aku baru saja mendapatkan kesempatan kedua, ataukah ini hanyalah bentuk neraka yang lebih kreatif?

 

“Bangun, dasar bocah pemalas! Matahari sudah di ubun-ubun dan kau masih saja bermimpi jadi raja!” sebuah tendangan keras mendarat di tulang rusukku. Aku terkesiap, rasa perih menusuk hingga ke ulu hati. Sesosok pria kekar dengan cambuk di tangan, wajahnya dipenuhi kumis lebat dan seringai kejam, berdiri menjulang di atasku. Matanya menyorotkan kebencian yang mendalam, seolah aku adalah sampah paling menjijikkan di muka bumi ini.

 

“Cepat kerja! Atau kau mau kupastikan kau tidur selamanya di rawa ini, hah?!” dia mengayunkan cambuknya, membuat suara crack tajam di udara yang cukup untuk membuatku bergidik.

 

Aku bangkit tergagap, rasa sakit menjalar di sekujur tubuh. Ratusan pasang mata anak-anak lain menatapku, ekspresi mereka kosong, lelah, dan penuh ketakutan. Kami semua budak. Budak di tempat terkutuk ini, yang kelihatannya seperti perkebunan atau mungkin tambang, entahlah. Lumpur di mana-mana, bau busuk yang tak kunjung hilang, dan bisikan putus asa yang terus-menerus menguar dari setiap sudut.

 

Namaku... entah apa nama anak ini. Tapi si pria cambuk tadi menyebutku Ahlana. Ahlana. Nama yang aneh, dan sepertinya takdirku di sini jauh lebih aneh. Selama beberapa hari pertama, aku berusaha keras memahami situasi ini. Ingatan bocah Ahlana samar-samar. Yang jelas, dia—atau aku—terjebak di sini sejak lahir, tidak tahu apa-apa selain kerja keras, cambuk, dan kelaparan. Ini menjijikkan. Aku benci situasi ini. Aku benci diperintah, apalagi oleh bajingan kasar seperti si pria cambuk yang kemudian kuketahui bernama Tuan Grom. Instingku untuk memprovokasi musuh, yang dulu kupikir sudah mati bersama tubuh lamaku, tiba-tiba bergejolak seperti api yang baru disiram bensin.

 

Suatu sore, saat Tuan Grom menghampiriku yang tengah berjongkok di samping tumpukan lumut—pekerjaan kami hari ini adalah membersihkan lumut dari bebatuan di tepi rawa—senyum licik merekah di bibir pucatku. Sebuah ide jahil melintas.

 

“Wah, Paman Grom,” ujarku dengan suara yang kuusahakan seprovokatif mungkin, dengan nada manja yang dibuat-buat, “perutmu makin buncit saja, ya? Apa karena terlalu banyak makan jatah kami? Pantas saja tubuh Paman kekar sekali, padahal kerjaannya Cuma cambuk-cambuk saja. Tidak seperti kami, kurus kering.”

 

Matanya langsung menyala. Itu berhasil. Cambuk itu langsung menghantam punggungku, perihnya menusuk hingga ke tulang. Namun, aku tak menahan seringaiku. Dia mendidih. Bagus. Reaksi yang sangat memuaskan.

 

“Berani sekali kau, bocah tengik!” teriaknya, wajahnya memerah padam seperti kepiting rebus. Urat-urat di lehernya menonjol jelas. “Akan kuhajar sampai kau tak bisa bicara lagi dan busuk di rawa ini!”

 

Cambuknya kembali mengayun, kali ini lebih brutal. Aku hanya bisa melindungi kepalaku dengan tangan, pasrah menerima rentetan sabetan yang terasa seperti palu godam menghantam tubuhku yang ringkih. Aku menggigit bibir, menahan erangan yang akan memberinya kepuasan lebih. Tapi di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, sebuah suara aneh muncul di benakku, sebuah suara robotik, tanpa emosi, namun terasa begitu nyata, seolah ada chip yang tertanam di otakku.

 

[Identifikasi Ancaman: Tingkat Bahaya Tinggi]

[Target: Grom, Penjaga Budak – Status: Agresif, Intensi Membunuh Rendah, Menyakiti Tinggi]

[Mengaktifkan Sistem Reinkarnasi: Pindai Ras Terdekat...]

[Ras Terdeteksi: ‘Goblin Pekerja’ – Level 3. Atribut Khas: Kelincahan Peningkatan, Indera Penciuman Tajam, Keberanian Semu. Kelemahan: Mudah Panik, Kekuatan Fisik Rendah.]

[Apakah Anda ingin meng-copy ras ini? Konsekuensi: Perubahan Atribut Fisik dan Kecenderungan Kepribadian Sementara. (Ya/Tidak)]

 

Mataku terbelalak, kaget bukan main. Sistem? Apa-apaan ini? Copy ras? Ini bukan mimpi, ini nyata! Aku bahkan sempat melirik tanganku sendiri yang gemetar, takut tiba-tiba berubah jadi hijau dan keriput. Tapi... ancaman? Kesempatan? Ini mungkin satu-satunya tiket keluar dari neraka ini!

 

“Ya!” bisikku, tak peduli rasa sakit yang masih menguasai. Itu bukan lagi pilihan, itu adalah kebutuhan.

 

Seketika itu juga, sensasi aneh nan intens menjalar di seluruh tubuh. Kulitku terasa gatal, otot-ototku menegang dan kemudian rileks dengan cara yang aneh, dan tulang-tulangku seperti bergeser, membuat suara gemeretak kecil yang hanya bisa kudengar. Dunia di sekitarku tiba-tiba tampak sedikit lebih besar, atau mungkin aku yang menyusut? Bau tanah dan kotoran tiba-tiba terasa lebih tajam, bahkan bau keringat Tuan Grom yang menyengat kini tercium jelas, pendengaranku juga meningkat drastis, bisa membedakan bisikan angin dari desahan para budak di kejauhan.

 

Saat cambuk Tuan Grom kembali mengayun, kali ini dengan kekuatan penuh, aku melihatnya dengan jelas, seolah waktu melambat menjadi gerakan lamban. Refleksku meningkat tajam, pikiran yang cepat muncul di benakku. Dengan gerakan aneh yang entah dari mana datangnya, sebuah kombinasi antara menghindar, merunduk, dan meluncur, aku berhasil menghindar dari ayunan cambuk itu lalu menyelinap di antara kedua kakinya. Kakiku yang kini pendek tapi entah kenapa terasa lincah luar biasa, berlari zig-zag, membuat si pria cambuk mengayunkan cambuknya ke udara kosong, nyaris mengenai lututnya sendiri.

 

“Apa-apaan ini?!” teriaknya kaget, matanya melotot. Dia pasti tidak menyangka bocah cilik yang ringkih ini bisa lolos dari serangannya.

 

Aku menoleh, menyeringai lebar. Seringai goblin. Wajahku mungkin belum berubah total secara fisik—masih wajah bocah Ahlana, pucat dan kotor—tapi indra dan instingku sudah sepenuhnya beradaptasi. Sebuah pikiran melintas: Aku ingin menusuk tumitnya! Menggigit betisnya! Atau paling tidak, membuat dia tersandung dan jatuh ke lumpur! Dorongan impulsif untuk melakukan kekacauan kecil muncul begitu saja, bukan dari pikiranku sendiri.

 

Tentu saja, aku tidak punya pisau, dan menggigit betisnya sepertinya bukan ide yang baik. Tapi aku punya ide lain yang lebih menjengkelkan. Aku melompat, menabrak betisnya dengan keras, lalu berguling ke samping dengan gerakan yang tak terduga. Tuan Grom, yang sedang memutar tubuh untuk mengayunkan cambuk lagi, kehilangan keseimbangan. Dengan raungan frustrasi, ia terhuyung-huyung, kakinya berselip di lumpur, dan BRUK! Ia jatuh terduduk, celananya kini penuh lumpur pekat.

 

Aku tertawa cekikikan, tawa yang sedikit serak dan menjengkelkan—tawa goblin yang riang atas musibah orang lain. Para budak lain yang tadinya tegang kini menahan tawa, beberapa bahkan menyunggingkan senyum samar.

 

“Dasar bocah sialan! Jangan harap kau bisa lari!” raungnya, matanya dipenuhi amarah bercampur sedikit ketakutan. Dia tahu ada yang aneh. Bocah ini, Ahlana, selalu rewel dan provokatif, tapi tidak pernah seberani atau secekatan ini.

 

“Paman, Paman! Main yuk! Kejar aku!” seruku, menirukan suara anak kecil yang menjengkelkan, dengan sedikit nada barbar ala goblin yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja aku merasa dorongan kuat untuk berlari, untuk membuat dia mengejarku hingga kelelahan. Itu adalah insting ras goblin: kelincahan dan kemampuan untuk kabur, bahkan jika itu hanya untuk menjahili.

 

Aku melesat di antara barak-barak kumuh tempat para budak tidur, sengaja memancingnya. Ini akan jadi petualangan yang menarik, bukan? Siapa sangka, kematian hanyalah pintu gerbang menuju hidup yang jauh lebih gila dan penuh perubahan ini. Dan aku—atau lebih tepatnya, Ahlana—baru saja memulai permainan ini.

 

 

To be continue........

Episodes
1 Bab 1: Terjebak di Rawa Kehidupan Baru
2 Bab 2: Eksperimen Pertama dan Gaun Berenda
3 Bab 3: Pelarian dengan Sentuhan Anggun
4 Bab 4: Identitas yang Berubah, Masalah yang Tetap
5 Bab 5: Taring Bayangan dan Tawa Setan
6 Bab 6: Api Unggun, Kisah, dan Ikatan Baru
7 Bab 7: Beruang yang Menguji, Elf yang Membingungkan
8 Bab 8: Kebijaksanaan Elf dan Janji Bantuan
9 Bab 9: Perjalanan Melalui Hutan dan Pelajaran Pertama Elias
10 Bab 10: Harpy Pemburu dan Kejutan di Angkasa
11 Bab 11: Monyet Hutan dan Pengalih Perhatian yang Berbulu
12 Bab 12: Pemukiman Tersembunyi dan Pertanyaan dari Elias
13 Bab 13: Pemukiman Tersembunyi dan Bisikan Kluster
14 Bab 14: Bisikan Kristal dan Kilasan Ingatan
15 Bab 15: Latihan Keras dan Bayangan Masa Lalu yang Menghantui
16 Bab 16: Ujian Troll Gunung dan Kekuatan Tanah
17 Bab 17: Sebuah Rencana dan Ancaman yang Mendekat
18 Bab 18: Pertahanan Kluster Malam dan Kedatangan Arsitek
19 Bab 19: Taktik Troll dan Jebakan Hutan
20 Bab 20: Serangan Balik dan Perubahan Tak Terduga
21 Bab 21: Tawanan dan Rencana yang Berubah
22 Bab 22: Portal Kristal dan Bisikan Dunia Lain
23 Bab 23: Darah di Kabut dan Harga Sebuah Portal
24 Bab 24: Kebangkitan di Kandang Kaca dan Rahasia yang Terkunci
25 Bab 25: Percobaan Kejam dan Kilas Balik yang Terungkap
26 Bab 26: Rencana Pelarian dan Jeda yang Tak Terduga
27 Bab 27: Kebebasan yang Berdarah
28 Bab 28: Kunci Data dan Misteri Dunia yang Dingin
29 Bab 29: Senyum di Sudut Lorong dan Sentuhan Kebaikan
30 Bab 30: Sarang Tikus dan Cahaya di Kegelapan
31 Bab 31: Bayangan Masa Lalu dan Rencana Nekat
32 Bab 32: Infiltrasi ke Nexus Prime
33 Bab 33: Jaringan Rahasia dan Bisikan Kebenaran
34 Bab 34: Hutan Aneh dan Pertanyaan Baru
35 Bab 35: Kebenaran yang Terungkap dan Pilar Omnia
36 Bab 36: Latihan di Simpul Dimensi
37 Bab 37: Gerbang Antar Dimensi
38 Bab 38: Reuni di Kluster Malam
39 Bab 39: Rapat Dewan dan Rencana Perlawanan
40 Bab 40: Perjalanan ke Gurun Api
41 Bab 41: Jantung Pilar dan Pengorbanan yang Tak Terduga
42 Bab 42: Mundur dan Kerusakan yang Terlihat
43 Bab 43: Kabar dari Samudra dan Biaya Kemenangan
44 Bab 44: Benih Aliansi
45 Bab 45: Melangkah ke Dimensi Kaca dan Bayangan yang Bergeser
46 Bab 46: Mengungkap Kerusakan Refleksi
47 Bab 47: Jejak di Dimensi Kaca
48 Bab 48: Nomad dan Perpecahan
49 Bab 49: Pilihan Nomad dan Sebuah Pertanyaan
50 Bab 50: Rencana Baru dan Pertanyaan yang Menggantung
51 Bab 51: Di Antara Awan
52 Bab 52: Badai di Bawah Awan dan Saudara Kembar
53 Bab 53: Negosiasi yang Keren dan Kece
54 Bab 54: Serangan Guntur di Sarang Awan
55 Bab 55: Inti Sang Badai
56 Bab 56: Kembang Api di Awan
57 Bab 57: Gerbang ke Dunia Lama
58 Bab 58: Jantung Perang di Lembah Batu Api
59 Bab 59: Di Ambang Keputusasaan
60 Bab 60: Benang Harapan
61 Bab 61: Benang-Benang Keraguan dan Kebenaran
62 Bab 62: Jejak Astral dan Nexus Primer
63 Bab 63: Gema dari Kaca
64 Bab 64: Panggilan dari Masa Lalu
65 Bab 65: Harga Pengetahuan
66 Bab 66: Hati Proyek Omnia
67 Bab 67: Perencanaan Terakhir
68 Bab 68: Jantung Kekosongan
69 Bab 69: Reuni di Jantung Nexus
70 Bab 70: Melampaui Takdir
Episodes

Updated 70 Episodes

1
Bab 1: Terjebak di Rawa Kehidupan Baru
2
Bab 2: Eksperimen Pertama dan Gaun Berenda
3
Bab 3: Pelarian dengan Sentuhan Anggun
4
Bab 4: Identitas yang Berubah, Masalah yang Tetap
5
Bab 5: Taring Bayangan dan Tawa Setan
6
Bab 6: Api Unggun, Kisah, dan Ikatan Baru
7
Bab 7: Beruang yang Menguji, Elf yang Membingungkan
8
Bab 8: Kebijaksanaan Elf dan Janji Bantuan
9
Bab 9: Perjalanan Melalui Hutan dan Pelajaran Pertama Elias
10
Bab 10: Harpy Pemburu dan Kejutan di Angkasa
11
Bab 11: Monyet Hutan dan Pengalih Perhatian yang Berbulu
12
Bab 12: Pemukiman Tersembunyi dan Pertanyaan dari Elias
13
Bab 13: Pemukiman Tersembunyi dan Bisikan Kluster
14
Bab 14: Bisikan Kristal dan Kilasan Ingatan
15
Bab 15: Latihan Keras dan Bayangan Masa Lalu yang Menghantui
16
Bab 16: Ujian Troll Gunung dan Kekuatan Tanah
17
Bab 17: Sebuah Rencana dan Ancaman yang Mendekat
18
Bab 18: Pertahanan Kluster Malam dan Kedatangan Arsitek
19
Bab 19: Taktik Troll dan Jebakan Hutan
20
Bab 20: Serangan Balik dan Perubahan Tak Terduga
21
Bab 21: Tawanan dan Rencana yang Berubah
22
Bab 22: Portal Kristal dan Bisikan Dunia Lain
23
Bab 23: Darah di Kabut dan Harga Sebuah Portal
24
Bab 24: Kebangkitan di Kandang Kaca dan Rahasia yang Terkunci
25
Bab 25: Percobaan Kejam dan Kilas Balik yang Terungkap
26
Bab 26: Rencana Pelarian dan Jeda yang Tak Terduga
27
Bab 27: Kebebasan yang Berdarah
28
Bab 28: Kunci Data dan Misteri Dunia yang Dingin
29
Bab 29: Senyum di Sudut Lorong dan Sentuhan Kebaikan
30
Bab 30: Sarang Tikus dan Cahaya di Kegelapan
31
Bab 31: Bayangan Masa Lalu dan Rencana Nekat
32
Bab 32: Infiltrasi ke Nexus Prime
33
Bab 33: Jaringan Rahasia dan Bisikan Kebenaran
34
Bab 34: Hutan Aneh dan Pertanyaan Baru
35
Bab 35: Kebenaran yang Terungkap dan Pilar Omnia
36
Bab 36: Latihan di Simpul Dimensi
37
Bab 37: Gerbang Antar Dimensi
38
Bab 38: Reuni di Kluster Malam
39
Bab 39: Rapat Dewan dan Rencana Perlawanan
40
Bab 40: Perjalanan ke Gurun Api
41
Bab 41: Jantung Pilar dan Pengorbanan yang Tak Terduga
42
Bab 42: Mundur dan Kerusakan yang Terlihat
43
Bab 43: Kabar dari Samudra dan Biaya Kemenangan
44
Bab 44: Benih Aliansi
45
Bab 45: Melangkah ke Dimensi Kaca dan Bayangan yang Bergeser
46
Bab 46: Mengungkap Kerusakan Refleksi
47
Bab 47: Jejak di Dimensi Kaca
48
Bab 48: Nomad dan Perpecahan
49
Bab 49: Pilihan Nomad dan Sebuah Pertanyaan
50
Bab 50: Rencana Baru dan Pertanyaan yang Menggantung
51
Bab 51: Di Antara Awan
52
Bab 52: Badai di Bawah Awan dan Saudara Kembar
53
Bab 53: Negosiasi yang Keren dan Kece
54
Bab 54: Serangan Guntur di Sarang Awan
55
Bab 55: Inti Sang Badai
56
Bab 56: Kembang Api di Awan
57
Bab 57: Gerbang ke Dunia Lama
58
Bab 58: Jantung Perang di Lembah Batu Api
59
Bab 59: Di Ambang Keputusasaan
60
Bab 60: Benang Harapan
61
Bab 61: Benang-Benang Keraguan dan Kebenaran
62
Bab 62: Jejak Astral dan Nexus Primer
63
Bab 63: Gema dari Kaca
64
Bab 64: Panggilan dari Masa Lalu
65
Bab 65: Harga Pengetahuan
66
Bab 66: Hati Proyek Omnia
67
Bab 67: Perencanaan Terakhir
68
Bab 68: Jantung Kekosongan
69
Bab 69: Reuni di Jantung Nexus
70
Bab 70: Melampaui Takdir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!