NovelToon NovelToon

Who Am I?

Bab 1: Terjebak di Rawa Kehidupan Baru

Bau anyir tanah basah bercampur aroma busuk kotoran hewan menusuk hidungku, sebuah aroma yang sama sekali asing dari wangi antiseptik rumah sakit atau aroma kopi instan yang jadi teman begadang. Tubuhku terasa remuk redam, setiap otot menjerit protes seolah baru saja dipaksa memanggul beban seribu ton. Kelopak mata yang terasa seberat timah akhirnya terbuka perlahan, menyingkap langit abu-abu yang dihiasi awan berarak malas. Ini bukan langit-langit plafon kamarku, bukan pula lampu neon ruang ICU.

 

“Sialan...” desahku, sebuah kutukan familiar yang dulu sering keluar dari bibirku saat deadline tugas menumpuk. Namun, suara yang keluar kini hanyalah rintihan kecil seorang anak. Suara serak, cempreng, dan jauh dari beratnya vokalku dulu. Astaga, ini mimpi buruk macam apa?

 

Aku, seorang mahasiswa akut yang menghabiskan dua puluh tiga tahun hidupnya bergulat dengan buku-buku tebal dan penyakit langka yang menggerogoti, kini mendapati diriku teronggok di tengah lumpur. Celana kumal dan kemeja lusuh yang kebesaran membungkus tubuh kecilku. Tangan-tangan mungilku yang kotor mencoba mengusap wajah, namun hanya merasakan pipi tirus dan hidung pesek. Ini bukan aku. Ini… bocah ingusan.

 

Kilasan memori terakhir menerjang benakku, terasa begitu nyata dan menyakitkan. Monitor detak jantung yang melambat hingga berhenti, tatapan cemas kedua orang tuaku yang memudar di batas pandang, dan kegelapan absolut yang merenggut kesadaranku. Aku mati. Itu pasti. Lalu, apa ini? Reinkarnasi? Apakah aku baru saja mendapatkan kesempatan kedua, ataukah ini hanyalah bentuk neraka yang lebih kreatif?

 

“Bangun, dasar bocah pemalas! Matahari sudah di ubun-ubun dan kau masih saja bermimpi jadi raja!” sebuah tendangan keras mendarat di tulang rusukku. Aku terkesiap, rasa perih menusuk hingga ke ulu hati. Sesosok pria kekar dengan cambuk di tangan, wajahnya dipenuhi kumis lebat dan seringai kejam, berdiri menjulang di atasku. Matanya menyorotkan kebencian yang mendalam, seolah aku adalah sampah paling menjijikkan di muka bumi ini.

 

“Cepat kerja! Atau kau mau kupastikan kau tidur selamanya di rawa ini, hah?!” dia mengayunkan cambuknya, membuat suara crack tajam di udara yang cukup untuk membuatku bergidik.

 

Aku bangkit tergagap, rasa sakit menjalar di sekujur tubuh. Ratusan pasang mata anak-anak lain menatapku, ekspresi mereka kosong, lelah, dan penuh ketakutan. Kami semua budak. Budak di tempat terkutuk ini, yang kelihatannya seperti perkebunan atau mungkin tambang, entahlah. Lumpur di mana-mana, bau busuk yang tak kunjung hilang, dan bisikan putus asa yang terus-menerus menguar dari setiap sudut.

 

Namaku... entah apa nama anak ini. Tapi si pria cambuk tadi menyebutku Ahlana. Ahlana. Nama yang aneh, dan sepertinya takdirku di sini jauh lebih aneh. Selama beberapa hari pertama, aku berusaha keras memahami situasi ini. Ingatan bocah Ahlana samar-samar. Yang jelas, dia—atau aku—terjebak di sini sejak lahir, tidak tahu apa-apa selain kerja keras, cambuk, dan kelaparan. Ini menjijikkan. Aku benci situasi ini. Aku benci diperintah, apalagi oleh bajingan kasar seperti si pria cambuk yang kemudian kuketahui bernama Tuan Grom. Instingku untuk memprovokasi musuh, yang dulu kupikir sudah mati bersama tubuh lamaku, tiba-tiba bergejolak seperti api yang baru disiram bensin.

 

Suatu sore, saat Tuan Grom menghampiriku yang tengah berjongkok di samping tumpukan lumut—pekerjaan kami hari ini adalah membersihkan lumut dari bebatuan di tepi rawa—senyum licik merekah di bibir pucatku. Sebuah ide jahil melintas.

 

“Wah, Paman Grom,” ujarku dengan suara yang kuusahakan seprovokatif mungkin, dengan nada manja yang dibuat-buat, “perutmu makin buncit saja, ya? Apa karena terlalu banyak makan jatah kami? Pantas saja tubuh Paman kekar sekali, padahal kerjaannya Cuma cambuk-cambuk saja. Tidak seperti kami, kurus kering.”

 

Matanya langsung menyala. Itu berhasil. Cambuk itu langsung menghantam punggungku, perihnya menusuk hingga ke tulang. Namun, aku tak menahan seringaiku. Dia mendidih. Bagus. Reaksi yang sangat memuaskan.

 

“Berani sekali kau, bocah tengik!” teriaknya, wajahnya memerah padam seperti kepiting rebus. Urat-urat di lehernya menonjol jelas. “Akan kuhajar sampai kau tak bisa bicara lagi dan busuk di rawa ini!”

 

Cambuknya kembali mengayun, kali ini lebih brutal. Aku hanya bisa melindungi kepalaku dengan tangan, pasrah menerima rentetan sabetan yang terasa seperti palu godam menghantam tubuhku yang ringkih. Aku menggigit bibir, menahan erangan yang akan memberinya kepuasan lebih. Tapi di tengah rasa sakit yang tak tertahankan, sebuah suara aneh muncul di benakku, sebuah suara robotik, tanpa emosi, namun terasa begitu nyata, seolah ada chip yang tertanam di otakku.

 

[Identifikasi Ancaman: Tingkat Bahaya Tinggi]

[Target: Grom, Penjaga Budak – Status: Agresif, Intensi Membunuh Rendah, Menyakiti Tinggi]

[Mengaktifkan Sistem Reinkarnasi: Pindai Ras Terdekat...]

[Ras Terdeteksi: ‘Goblin Pekerja’ – Level 3. Atribut Khas: Kelincahan Peningkatan, Indera Penciuman Tajam, Keberanian Semu. Kelemahan: Mudah Panik, Kekuatan Fisik Rendah.]

[Apakah Anda ingin meng-copy ras ini? Konsekuensi: Perubahan Atribut Fisik dan Kecenderungan Kepribadian Sementara. (Ya/Tidak)]

 

Mataku terbelalak, kaget bukan main. Sistem? Apa-apaan ini? Copy ras? Ini bukan mimpi, ini nyata! Aku bahkan sempat melirik tanganku sendiri yang gemetar, takut tiba-tiba berubah jadi hijau dan keriput. Tapi... ancaman? Kesempatan? Ini mungkin satu-satunya tiket keluar dari neraka ini!

 

“Ya!” bisikku, tak peduli rasa sakit yang masih menguasai. Itu bukan lagi pilihan, itu adalah kebutuhan.

 

Seketika itu juga, sensasi aneh nan intens menjalar di seluruh tubuh. Kulitku terasa gatal, otot-ototku menegang dan kemudian rileks dengan cara yang aneh, dan tulang-tulangku seperti bergeser, membuat suara gemeretak kecil yang hanya bisa kudengar. Dunia di sekitarku tiba-tiba tampak sedikit lebih besar, atau mungkin aku yang menyusut? Bau tanah dan kotoran tiba-tiba terasa lebih tajam, bahkan bau keringat Tuan Grom yang menyengat kini tercium jelas, pendengaranku juga meningkat drastis, bisa membedakan bisikan angin dari desahan para budak di kejauhan.

 

Saat cambuk Tuan Grom kembali mengayun, kali ini dengan kekuatan penuh, aku melihatnya dengan jelas, seolah waktu melambat menjadi gerakan lamban. Refleksku meningkat tajam, pikiran yang cepat muncul di benakku. Dengan gerakan aneh yang entah dari mana datangnya, sebuah kombinasi antara menghindar, merunduk, dan meluncur, aku berhasil menghindar dari ayunan cambuk itu lalu menyelinap di antara kedua kakinya. Kakiku yang kini pendek tapi entah kenapa terasa lincah luar biasa, berlari zig-zag, membuat si pria cambuk mengayunkan cambuknya ke udara kosong, nyaris mengenai lututnya sendiri.

 

“Apa-apaan ini?!” teriaknya kaget, matanya melotot. Dia pasti tidak menyangka bocah cilik yang ringkih ini bisa lolos dari serangannya.

 

Aku menoleh, menyeringai lebar. Seringai goblin. Wajahku mungkin belum berubah total secara fisik—masih wajah bocah Ahlana, pucat dan kotor—tapi indra dan instingku sudah sepenuhnya beradaptasi. Sebuah pikiran melintas: Aku ingin menusuk tumitnya! Menggigit betisnya! Atau paling tidak, membuat dia tersandung dan jatuh ke lumpur! Dorongan impulsif untuk melakukan kekacauan kecil muncul begitu saja, bukan dari pikiranku sendiri.

 

Tentu saja, aku tidak punya pisau, dan menggigit betisnya sepertinya bukan ide yang baik. Tapi aku punya ide lain yang lebih menjengkelkan. Aku melompat, menabrak betisnya dengan keras, lalu berguling ke samping dengan gerakan yang tak terduga. Tuan Grom, yang sedang memutar tubuh untuk mengayunkan cambuk lagi, kehilangan keseimbangan. Dengan raungan frustrasi, ia terhuyung-huyung, kakinya berselip di lumpur, dan BRUK! Ia jatuh terduduk, celananya kini penuh lumpur pekat.

 

Aku tertawa cekikikan, tawa yang sedikit serak dan menjengkelkan—tawa goblin yang riang atas musibah orang lain. Para budak lain yang tadinya tegang kini menahan tawa, beberapa bahkan menyunggingkan senyum samar.

 

“Dasar bocah sialan! Jangan harap kau bisa lari!” raungnya, matanya dipenuhi amarah bercampur sedikit ketakutan. Dia tahu ada yang aneh. Bocah ini, Ahlana, selalu rewel dan provokatif, tapi tidak pernah seberani atau secekatan ini.

 

“Paman, Paman! Main yuk! Kejar aku!” seruku, menirukan suara anak kecil yang menjengkelkan, dengan sedikit nada barbar ala goblin yang entah dari mana asalnya. Tiba-tiba saja aku merasa dorongan kuat untuk berlari, untuk membuat dia mengejarku hingga kelelahan. Itu adalah insting ras goblin: kelincahan dan kemampuan untuk kabur, bahkan jika itu hanya untuk menjahili.

 

Aku melesat di antara barak-barak kumuh tempat para budak tidur, sengaja memancingnya. Ini akan jadi petualangan yang menarik, bukan? Siapa sangka, kematian hanyalah pintu gerbang menuju hidup yang jauh lebih gila dan penuh perubahan ini. Dan aku—atau lebih tepatnya, Ahlana—baru saja memulai permainan ini.

 

 

To be continue........

Bab 2: Eksperimen Pertama dan Gaun Berenda

Tuan Grom mengamuk. Raungannya menggema di seluruh area rawa, diikuti makian kasar yang entah kenapa terdengar seperti lagu pengantar tidur di telingaku yang kini tajam. Aku, dalam wujud Ahlana yang sedikit lebih lincah dan berjiwa goblin, terus melesat di antara barak dan tumpukan lumut, sesekali melirik ke belakang hanya untuk melihat wajah Tuan Grom yang merah padam. Puas rasanya melihatnya terengah-engah, dengan keringat membasahi kumis lebatnya. Ini adalah kebebasan kecil yang tak ternilai harganya.

 

Namun, efek “Goblin Pekerja” ini tidak bertahan lama. Setelah sekitar sepuluh menit berlari dan menjahili, sebuah notifikasi muncul lagi di benakku:

 

[Efek Ras ‘Goblin Pekerja’ Berakhir. Cooldown: 1 Jam]

[Atribut Fisik Kembali ke Normal. Kecenderungan Kepribadian Kembali ke Normal.]

 

Dan benar saja, tubuhku terasa kembali ke ukuran semula, otot-ototku kembali lemas, dan kelincahanku menghilang. Napasku tersengal-sengal, kakiku terasa berat seperti diikat beban. Sial. Tuan Grom, yang tadi terpaut jauh, kini sudah di depanku, seringai bengis kembali menghiasi wajahnya.

 

“Tertangkap kau, bocah iblis!” dia mencengkeram lenganku, tarikannya begitu kuat hingga aku merasakan sendi bahuku bergeser. “Kau pikir bisa main-main denganku, hah?! Akan kuhajar kau sampai kau minta ampun pada nenek moyangmu!”

 

Aku tahu dia tidak main-main. Kali ini, cambuk itu mungkin akan benar-benar menghabisiku. Mataku melirik ke sekeliling, mencari celah. Tidak ada. Budak-budak lain hanya menunduk, tak berani menatap.

 

[Identifikasi Ancaman: Tingkat Bahaya Ekstrem]

[Target: Grom, Penjaga Budak – Status: Sangat Agresif, Intensi Menyakiti Tinggi, Potensi Membunuh Menengah.]

[Pindai Ras Terdekat: Hanya Mengidentifikasi Target Hidup Aktif dalam Radius 10 Meter.]

[Ras Terdeteksi: ‘Grom, Penjaga Budak’ – Level 7 (Ras: Manusia Liar) – Tidak Direkomendasikan untuk Copy (Potensi Konflik Kepribadian Internal Tinggi).]

[Mendeteksi Ras Non-Manusia Lain dalam Radius 10 Meter: ‘Peri Hutan Terluka’ – Level 5 (Status: Kritis). Jarak: 7 Meter.]

[Apakah Anda ingin meng-copy Ras ‘Peri Hutan Terluka’? (Ya/Tidak)]

 

Peri? Peri hutan? Level 5? Lebih tinggi dari goblin! Lagipula, apa pun lebih baik daripada menjadi manusia biadab seperti Grom. Tanpa berpikir panjang, aku segera menjawab, “Ya!”

 

Seketika itu juga, sensasi yang jauh lebih intens dari sebelumnya menyelimuti tubuhku. Rasa gatal dan geli bercampur seperti jutaan semut merayapi kulit. Tulang-tulangku berderak lebih keras, seolah direkonstruksi ulang. Tubuhku terasa memanjang, otot-ototku menegang dan menjadi lentur, dan napas dalam-dalam mengisi paru-paruku. Rambutku terasa tumbuh cepat, halus dan ringan. Kulitku terasa dingin dan halus. Yang paling mengejutkan, sebuah sensasi aneh muncul di area dadaku, lalu terasa sesuatu yang empuk di sana.

 

Ketika aku membuka mata, pandanganku terasa lebih jernih, lebih tajam. Warna-warna di sekitarku tampak lebih hidup. Namun, ada yang aneh. Suara Tuan Grom yang berteriak kini terdengar aneh, seperti suara kasar yang mengganggu harmoni alam.

 

“A-apa... apa-apaan ini?!” raung Tuan Grom, suaranya terdengar tercekat. Cengkeramannya di lenganku mengendur.

 

Aku menoleh ke arahnya, kemudian refleks melihat ke tanganku. Bukan lagi tangan kecil Ahlana yang kotor, melainkan jemari ramping dan panjang, kuku-kuku yang bersih dan terawat, serta kulit seputih pualam. Lenganku kini lebih panjang dan kurus. Sebuah sensasi berat di kepala membuatku mendongak, dan di antara poni hitamku yang panjang, aku bisa melihat untaian rambut berwarna hijau zamrud, berkilauan. Mataku, aku yakin, kini berwarna hijau seperti daun.

 

Dan kemudian, di depan mataku sendiri, perlahan namun pasti, tubuhku mulai berubah. Perutku rata, pinggangku mengecil. Kaki-kakiku memanjang dan menjadi jenjang. Dan yang paling mengejutkan, dadaku terasa lebih berisi, mendorong kemeja lusuhku hingga terasa sesak.

 

Aku berubah menjadi... perempuan?

 

“AAAAARRRGGHHH!” Tuan Grom tersentak mundur, wajahnya pucat pasi, matanya melotot. Dia menjatuhkan cambuknya. “I-ini... ini sihir! Monster! Penyihir!”

 

Tubuh Ahlana yang baru ini bereaksi dengan sendirinya. Alih-alih takut atau panik, sebuah perasaan jijik yang mendalam muncul di hatiku. Makhluk kasar dan menjijikkan ini berani menyentuhku? Tentu saja aku adalah Ahlana yang provokatif, tapi ini adalah tingkat provokasi yang sama sekali berbeda. Ini adalah keanggunan yang menghina.

 

“Sungguh menjijikkan,” suara lembut dan merdu keluar dari bibirku, nada dingin dan menusuk. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa mengeluarkan suara seperti itu. Itu bukan suaraku, itu suara ras Peri. “Beraninya makhluk kotor sepertimu menyentuhku? Sentuhanmu mencemari esensiku.”

 

Aku tanpa sadar mengibaskan tanganku, seolah mengusir serangga. Gerakanku begitu luwes, begitu anggun, seolah aku dilahirkan untuk bergerak seperti itu. Tuan Grom tampak ketakutan setengah mati. Dia bahkan mundur beberapa langkah, terhuyung-huyung.

 

“M-monster! Akan kubakar kau! Akan kuhabisi kau!” dia mencoba mengangkat cambuknya lagi, tapi tangannya gemetar hebat.

 

“Memalukan,” desisku, merasa jijik. Bukan dengan tubuh baruku, melainkan dengan reaksinya yang begitu barbar. Ada dorongan aneh dalam diriku untuk memperbaiki segala sesuatu yang tidak estetis dan tidak harmonis. Dan Tuan Grom adalah puncak dari segala hal yang tidak estetis. “Makhluk kasar sepertimu tidak pantas hidup di dunia yang indah ini.”

 

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi entah kenapa, tanganku terangkat secara otomatis. Sebuah cahaya hijau lembut memancar dari telapak tanganku, lalu sebuah sulur tanaman menjalar dengan cepat dari tanah, melilit kaki Tuan Grom dalam sekejap.

 

“A-apa ini?!” dia berteriak panik, mencoba melepaskan diri, tapi sulur itu semakin mengikatnya erat.

 

Aku menyeringai, seringai yang kini terasa jauh lebih elegan namun mematikan. “Ini adalah pelajaran, Tuan Kasta Rendah. Sebuah pelajaran tentang keindahan, dan kehancuran yang datang dari ketidakpedulianmu.”

 

Aku mengayunkan tangan, dan Tuan Grom tertarik ke arah rawa. Dia meronta, berteriak-teriak, namun sulur itu begitu kuat. Dalam sekejap, tubuh kekarnya terjatuh ke dalam lumpur pekat, menciptakan cipratan besar. Lumpur itu mengotorinya dari kepala hingga kaki. Dan yang paling menjijikkan bagiku—sebagai Peri Hutan—adalah lumpur itu kini menempel di rambut dan jubahnya.

 

“Dasar makhluk tak beradab!” erangku, bukan karena marah, melainkan karena jijik. Dorongan untuk membersihkan kekacauan ini begitu kuat. Aku bahkan tak sadar jika itu bukan sepenuhnya perasaanku, melainkan kepribadian Peri yang mempengaruhiku.

 

Tuan Grom meronta-ronta di dalam lumpur, kini penuh kengerian. Para budak lain menatapku dengan campuran takjub dan takut. Bocah Ahlana yang biasa mereka lihat, kini berubah menjadi... makhluk cantik dan mematikan.

 

[Efek Ras ‘Peri Hutan Terluka’ Aktif Penuh. Durasi Tersisa: 29 Menit.]

 

Aku mendesah pelan, seolah ini adalah tugas berat. “Nah, sekarang bagaimana aku bisa membersihkan kekacauan ini?” gumamku pada diri sendiri, sambil memandangi lumpur yang mengotori Tuan Grom dengan tatapan muak. Komedi situasi ini terasa begitu absurd. Aku, seorang pria yang reinkarnasi jadi bocah laki-laki, kini mendapati diriku menjadi seorang Peri perempuan, merasa jijik melihat lumpur, dan baru saja menjebloskan penyiksaku ke dalamnya.

 

Ini akan menjadi petualangan yang panjang dan… sangat, sangat aneh.

 

 

 To be Continue......

 

 

Bab 3: Pelarian dengan Sentuhan Anggun

Aku menatap Tuan Grom yang berjuang di dalam lumpur dengan perasaan campur aduk. Sebagian dari diriku, Ahlana yang asli, merasa puas melihat sang penyiksa tersiksa. Namun sebagian lainnya, sang Peri Hutan, hanya bisa merasakan jijik yang mendalam melihat kekotoran dan ketidakharmonisan. Rasanya ingin sekali memanggil para Dryad untuk membersihkan area ini, atau setidaknya memandikan Grom dengan air mata peri yang suci—tapi itu mungkin hanya akan membuat kulitnya melepuh.

“Kau... kau... akan kubunuh!” teriak Grom, suaranya teredam lumpur, sementara tangannya mencoba meraih cambuknya yang kini tergeletak tak jauh darinya.

“Dasar tidak tahu diri,” gumamku, suaraku masih bernada lembut namun dingin seperti embun pagi. “Setelah semua kekacauan yang kau ciptakan, kau masih ingin membuat lebih banyak lagi?” Aku mengangkat tanganku, dan sulur-sulur tanaman lain mulai tumbuh dari tanah, menjauhkan cambuk itu dari jangkauannya. Grom meraung frustrasi.

Di belakangku, para budak yang sedari tadi menyaksikan, kini mulai berbisik-bisik. Ketakutan yang semula mendominasi wajah mereka kini bercampur dengan tatapan takjub dan harapan. Mereka melihat seorang bocah yang disiksa, berubah menjadi makhluk anggun dan kuat yang mampu menjatuhkan penyiksa mereka. Beberapa bahkan mulai berbisik, “Peri... dia adalah Peri...”

Aku menyadari bahwa ini adalah kesempatan. Kesempatan untuk kabur, dan mungkin, membawa sebagian dari mereka. Tapi aku tidak bisa membawa semuanya. Tubuh Peri ini tidak dirancang untuk memimpin revolusi. Ia dirancang untuk melarikan diri dengan elegan.

“Dengar,” kataku, suaraku mengalun menembus bisikan-bisikan. “Siapa pun yang ingin bebas, ikuti aku. Aku tidak bisa menjamin keselamatan kalian semua, tapi aku bisa menunjukkan jalan keluar dari rawa busuk ini.”

Beberapa budak ragu-ragu. Bertahun-tahun perbudakan telah mengikis keberanian mereka. Namun, satu per satu, wajah-wajah yang lelah itu mulai menunjukkan tekad. Seorang anak perempuan kecil dengan mata besar yang ketakutan, lalu seorang remaja laki-laki yang lebih tua, dan kemudian beberapa lagi. Hanya sekitar dua puluh orang dari ratusan budak yang ada, tapi itu cukup.

“Cepat,” desisku, “sebelum makhluk kotor itu memanggil bala bantuan.”

Dengan gerakan yang tak kuduga sebelumnya, aku melompat. Tubuhku yang kini ringan dan lentur melayang di atas lumpur, mendarat dengan anggun di bebatuan kering. Kaki-kakiku terasa aneh tapi menakjubkan, seperti bisa menari di atas angin. Anak-anak yang mengikutiku berusaha meniru, tapi mereka terjatuh dan berlumuran lumpur.

“Tidak seperti itu, dasar bodoh,” gumamku secara otomatis, sebuah cibiran samar terukir di bibir Peri-ku. Oh, astaga. Kepribadian Peri ini memang agak sombong dan perfeksionis. “Sini!”

Aku menjulurkan tanganku, dan tanpa kusadari, sulur-sulur hijau muncul dari tanah di depanku, membentuk jembatan darurat yang kokoh di atas lumpur. Mereka menatapku dengan mata terbelalak, tak percaya.

“Cepat!” perintahku, kali ini dengan nada yang sedikit lebih mendesak. “Kita tidak punya banyak waktu!”

Para budak itu segera melintasi jembatan sulur yang baru kubuat. Beberapa dari mereka, yang terlalu lemah, perlu bantuan. Insting Peri-ku ingin mengeluh tentang kurangnya keanggunan, tapi insting Ahlana-ku yang asli tahu ini adalah tentang kelangsungan hidup.

Kami berlari, atau lebih tepatnya, aku terbang dan mereka berlari tertatih-tatih, menuju hutan lebat di luar perkebunan. Suara teriakan Tuan Grom dan anjing-anjing pelacak mulai terdengar di kejauhan.

“Cepat! Sembunyikan jejak kita!” perintahku pada diriku sendiri. Tanpa kusadari, tanganku kembali terangkat. Daun-daun berguguran dari pepohonan, menyebarkan wangi tanah dan lumut yang kuat. Semak belukar di belakang kami tumbuh rimbun dalam sekejap, menutupi jejak kaki kami. Bahkan beberapa pohon kecil melengkung, membentuk terowongan alami yang menyembunyikan jalur kami. Ini luar biasa! Kekuatan Peri ini sungguh di luar dugaanku.

Namun, di tengah-tengah euforia kebebasan dan kekuatan, sebuah sensasi aneh mulai muncul. Perasaan melankolis, kerinduan pada sesuatu yang hilang, mulai merayapi benakku. Sebuah dorongan untuk menyanyikan lagu tentang hutan yang terluka, atau tentang bintang-bintang yang merana.

“Kenapa... kenapa aku ingin menangis?” bisikku pada diri sendiri, kebingungan.

[Efek Ras ‘Peri Hutan Terluka’ Berkurang. Durasi Tersisa: 5 Menit.]

[Kecenderungan Kepribadian: Melankolis, Sensitif Terhadap Lingkungan, Dorongan Kreatif.]

Oh, jadi ini efek sampingnya. Peri ini ‘terluka’, jadi kepribadiannya melankolis. Dan mungkin juga ingin menyanyi. Aku menghela napas. Petualangan ini benar-benar akan menguji kewarasanku.

Kami berhasil mencapai kedalaman hutan saat Sistem kembali memberikan notifikasi.

[Efek Ras ‘Peri Hutan Terluka’ Berakhir. Cooldown: 2 Jam]

[Atribut Fisik Kembali ke Normal. Kecenderungan Kepribadian Kembali ke Normal.]

Dalam sekejap, tubuhku menyusut kembali menjadi Ahlana yang berukuran normal. Rambut hijauku kembali menjadi hitam legam yang acak-acakan. Rasa melankolis itu sirna, digantikan oleh rasa lelah dan pegal di sekujur tubuh. Sensasi berat di dada menghilang, dan gaun berenda yang entah dari mana asalnya kini terasa kotor dan robek di beberapa bagian. Tunggu, gaun berenda? Kemeja lusuhku telah berubah menjadi gaun tipis berwarna hijau muda dengan aksen dedaunan!

“Sialan!” umpatku, menyadari bahwa aku kini mengenakan gaun. Gaun! Aku seorang laki-laki! “Ini... ini memalukan!”

Para budak yang mengikutiku, kini bebas dan terengah-engah, menatapku dengan bingung. Mereka melihat bocah ajaib yang tiba-tiba berubah menjadi gadis Peri cantik, lalu kembali menjadi bocah lagi, kini mengumpat sambil menunjuk gaunnya sendiri.

“Uhm... Ahlana?” panggil salah satu anak laki-laki yang lebih tua, ragu-ragu. “Kau... baik-baik saja?”

“Tidak! Aku tidak baik-baik saja! Aku memakai gaun!” gerutuku, mencoba melepaskan gaun itu. “Astaga, aku harap tidak ada yang melihatku!”

Komedi pecah di tengah hutan. Para budak yang baru saja selamat dari perbudakan, kini tertawa kecil melihat tingkahku. Ini adalah tawa pertama yang kudengar dari mereka, tawa yang tulus, meski masih diliputi kelegaan. Mungkin ini adalah awal yang tidak terlalu buruk. Yah, selain fakta aku harus mencari cara menyingkirkan gaun sialan ini. Dan mencari tahu siapa Ahlana sebenarnya, di balik semua ras dan kepribadian yang akan kuambil. Petualangan penemuan diri ini baru saja dimulai, dan sepertinya akan sangat merepotkan.

To be continue.......

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!