Ancaman Wallace

"Maaf..."

Suara Celine terdengar lirih, hampir tercekik. Lehernya yang masih perih akibat cengkeraman Wallace membuatnya kesulitan berbicara.

Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakit di balik kepasrahan. Tatapannya menelusuri wajah pria yang ada di depannya—dingin, penuh kemarahan, dan tidak mengenali siapa dirinya.

"Dia sama sekali tidak mengenaliku lagi..." batin Celine.

Matanya berkaca-kaca, beradu pandang dengan mata Wallace yang begitu tajam, menusuk, dan menyayat perasaan.

Tiba-tiba, pintu ruang UGD terbuka cepat, menciptakan hentakan kecil yang memecah ketegangan. Seorang dokter keluar dengan wajah lelah, lalu melepaskan masker medisnya.

"Siapa keluarga pasien?" tanya dokter itu dengan suara formal namun cemas.

Mendengar itu, Wallace melepaskan cekalannya dari leher Celine secara kasar. Tubuh gadis itu terhempas ke lantai.

Bruk!

Suara benturan tubuh dengan lantai membuat beberapa suster dan perawat menoleh sejenak. Celine meringis kesakitan, tubuhnya menggigil, dan ia terbatuk-batuk sambil memegangi lehernya yang mulai memar.

"Bagaimana dengan keponakanku?" tanya Wallace tajam, sorot matanya menusuk seperti bilah baja.

Dokter itu menunduk sedikit, menunjukkan hormat sekaligus tekanan berat yang ia rasakan.

"Pasien kehilangan banyak darah. Tapi, dia sudah melewati masa kritis. Dia hanya butuh banyak istirahat dan perawatan intensif," jelas sang dokter dengan tenang, meski peluh membasahi dahinya.

"Lakukan yang terbaik."

Wallace mendekat satu langkah, aura kemarahannya menyesakkan udara di sekitar.

"Kalau sampai dia meninggal... rumah sakit ini akan ku ratakan dengan tanah!"

Para staf medis saling berpandangan, ngeri akan ancaman itu.

"Kami akan berusaha menyelamatkan pasien sebaik mungkin," jawab dokter dengan hati-hati.

"Aku tidak butuh janjimu."

Wallace menyipitkan mata, suaranya rendah namun menggelegar.

"Yang kuinginkan hanyalah bukti dari tindakanmu."

Sementara itu, Celine mulai beringsut bangkit. Tubuhnya masih lemah, tapi kecemasan di wajahnya jauh lebih kuat dari rasa sakit di tubuhnya. Ia berdiri perlahan, lalu menatap ruang UGD tempat Mark dirawat.

"Mark... maafkan aku. Aku tak bisa melindungimu. Kalau bukan karena kau melindungiku... kau pasti tidak akan berada di sana," bisik batinnya penuh rasa bersalah.

Air mata mengalir di pipinya, tanpa suara, tanpa henti.

Wallace, yang telah berbalik arah, kini menoleh kembali ke arah Celine. Tatapannya lebih gelap dari sebelumnya.

"Aku tidak peduli siapa dirimu."

Kata-katanya menggantung dingin di udara.

"Mulai detik ini, jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Dan... jangan pernah bertemu Mark. Jika kau berani melanggar, aku pastikan kau... tidak akan bisa meneruskan hidupmu."

Tanpa menunggu jawaban, Wallace melangkah pergi, diiringi denting sepatu kulitnya yang terdengar nyaring dan menyeramkan di lantai rumah sakit yang sunyi.

Celine menunduk, menggigit bibirnya. Tangannya menggenggam sebuah kalung batu giok bermotif naga—kalung yang sudah lama ia pakai. Memiliki makna baginya.

Ia mengangkatnya perlahan, menatap ukiran naga di batu giok itu.

"Kakak Wallace... sekian lama tidak bertemu, kau telah berubah. Lebih kejam dari dulu..."

"Yang lebih mengejutkan... ternyata Mark adalah keponakanmu."

Senyum tipis melintas di wajahnya, pahit dan penuh luka.

"Mark sering menyebutmu. Katanya, kau paman yang sangat menyayanginya... meski juga dikenal kejam. Dan... kau juga telah memiliki seorang tunangan."

Celine mengepalkan kalung itu erat-erat, seolah kalung itu menyimpan jawaban dari semua luka yang kini ia rasakan.

Beberapa saat kemudian.

Celine berada di toilet rumah sakit. Ia mencuci tangan kirinya yang terluka—sayatan cukup dalam. Ia menahan rasa sakit itu, hingga wajahnya berkeringat dingin. Dengan susah payah, ia melilitkan perban sendiri untuk menutup lukanya.

"Mark, aku tidak bisa menemuimu lagi. Tapi aku juga tidak akan tinggal diam. Apa yang kakakku lakukan padamu, membuatku kehilangan harapan terhadap hubungan persaudaraan ini. Aku akan menebusnya, meski harus mengorbankan nyawaku sendiri," ucap Celine sambil menatap wajah pucatnya di cermin, akibat rasa sakit dan pendarahan yang cukup lama.

Di sisi lain.

Wallace berdiri bersama Nico di ujung ranjang Mark yang tengah berbaring lemah.

"Tuan, sampai saat ini kami belum menemukan jejak Mike Lin. Biasanya dia suka pergi ke klub malam," lapor Nico.

"Ikuti saja Celine Lin. Sebagai adiknya, dia pasti tahu di mana kakaknya!" perintah Wallace.

"Baik, Tuan," jawab Nico.

"Kalau Celine Lin berani menghalangi kita, jangan ragu memberi pelajaran padanya," tambah Wallace dingin.

"Siap, Tuan."

Di rumah keluarga Celine.

Plak!

Tamparan keras menggema di ruangan sempit itu. Celine terkapar, menerima tamparan dari ibunya.

"Kurang ajar! Dia itu kakakmu! Kenapa kau malah membelanya demi orang luar? Siapa Mark Huang itu, ha? Sampai kau berani melawan kakakmu sendiri demi dia?" bentak sang ibu dengan nada tinggi.

"Ma, Kakak melakukan hal bodoh. Dia menangkap dan memukuli Mark hingga mengalami pendarahan hebat. Kalau terjadi sesuatu pada Mark, kita semua juga bisa ikut terseret. Apa Mama tidak tahu kalau Mark memiliki paman seorang mafia?" jawab Celine dengan napas terengah.

"Mafia? Kalau benar begitu, dan mereka berhasil menemukan Mike, kau yang harus bertanggung jawab! Segera kirim uang dan biarkan kakakmu pergi ke luar negeri!" seru ibunya ketus.

"Baiklah. Aku akan siapkan uang dan tiket keberangkatan besok. Untuk sekarang, Kakak tidak bisa pulang. Aku akan kemas pakaiannya dan antar ke tempat persembunyiannya," ujar Celine lirih, seraya berdiri dengan wajah yang masih memerah bekas tamparan.

"Ingat! Jangan coba-coba bertindak macam-macam! Dia adalah anak laki-laki harapan keluarga ini. Kau, sebagai adik, bertanggung jawab melindunginya. Apa pun yang dia lakukan, kau harus menutupinya. Kalau mafia itu benar-benar datang, kau harus rela mengorbankan nyawamu demi kakakmu!" ujar sang ibu dengan dingin dan tegas.

Celine menatap ibunya dengan pandangan kosong.

"Beritahu aku di mana kakak sekarang, sebelum mereka menemukannya," gumamnya lirih.

"Ma... maafkan aku. Mungkin saat itu kau akan membunuhku karena ini. Tapi aku tidak bisa lagi membiarkan kakak terus berbuat sesuka hati. Hanya ada satu cara... menghentikannya kemudian mati bersamanya," batin Celine.

Celine Lin, telah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak tiga kali. Dengan keberanian dan penderitaan yang ia alami selama ini berhasil meluluhkan Wallace Huang, si mafia iblis.

Terpopuler

Comments

yuning

yuning

aku tunggu bucin seorang mafia iblis

2025-06-17

2

Bu Kus

Bu Kus

harus kuat Lin

2025-07-02

0

🍁Angel𝐀⃝🥀❣️

🍁Angel𝐀⃝🥀❣️

Celine akuu padamuuuuu😍😍😍

2025-06-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!