Sebuah Maybach hitam tampak memasuki lobby WG Hotel dan parkir tepat di depan pintu masuk. Seorang pria tiga puluhan bertubuh tinggi keluar dari sedan itu setelah pintu mobil dibukakan.
Anggukan kecil pengganti ucapan terimakasih diarahkan kepada petugas yang membukakan pintu sebelum melangkah lebar memasuki gedung hotel berlantai tiga puluh. Tampak beberapa orang staf mendahului menunggu sang pria berjejer memberi hormat di depan lift khusus eksekutif. Di belakangnya, sang asisten tampak tergesa menyatukan langkah dengan bos nya.
Ting!
Kedua orang itu langsung memasuki lift menuju restoran eksklusif yang terletak di lantai paling atas gedung.
"Tunggulah di sini!" ucap pria itu kepada sang asisten saat mereka sampai di depan pintu masuk salah satu ruang makan tertutup. Sang asisten pun mengangguk sambil membukakan pintu untuk bos nya.
"Kau sudah datang?!" seorang pria lima puluhan tahun tampak duduk di ujung meja makan panjang di ruangan itu menyapa pria yang baru masuk.
"Begitulah," jawab pria itu dingin. Sembari duduk, ia mengedarkan pandangan ke arah tiga orang lainnya yang juga sudah berada di ruangan itu. Tak ada sapaan atau senyuman.
Wirautama- si pria paruh baya- menunggu sang putra duduk di tempatnya sebelum pembicaraan keluarga saat makan siang itu dimulai.
"Apa kau sudah dengar bahwa kakek tua itu sedang mencoba untuk menyingkirkan kita, Will?"
William-pria yang baru masuk- mengangkat sebelah alisnya, lalu meneguk air putih dari botol yang terletak di depan nya. Ia tersenyum miring karena seluruh anggota keluarganya sedang menunggu jawaban darinya.
"So...?!" tanya pria itu kemudian.
"Lo goblok ya?! Keluarga kita sedang terancam, kok Lo masih secuek itu?" pria muda yang duduk di depan William tampak tidak suka akan jawabannya.
"Daniel!" seru Wirautama. "Ini bukan giliran kamu bicara!" suara pria paruh baya itu menggelegar.
Daniel pun diam. Daniel Wijaya adalah Putra kedua Wirautama. Ia tidak pernah menyukai William. Selain mereka beda ibu, juga karena ia kalah segala-galanya dari pria itu.
"Apa tidak ada tanggapan lain yang bisa kamu ucapkan, Will?" Tatapan Wirautama diarahkan tajam kepada William.
William bersandar sambil memainkan botol mineral di atas meja. "Bukankah ayah sudah mendapatkan segalanya dari pria tua yang ayah sebut itu. Lalu mau apa lagi?"
Hening.
"Kamu tidak takut kehilangan jabatan? Kamu tidak takut Wijaya Grup yang sudah kita bangun ini beralih ke tangan orang lain?" cerca Wirautama.
William merasakan dirinya menjadi pusat tatapan di ruangan itu. Tidak hanya Wirautama, ibu tirinya pun tampak menatap tajam ke arahnya.
Tok. Tok.
Percakapan antara keluarga itu terhenti saat hidangan masuk dan ditata di atas meja makan. Setelah semua hidangan tersaji dan pintu ditutup, barulah William memulai kembali pembicaraan mereka.
"Jangan samakan aku denganmu, Dad!" ucap lelaki itu kepada sang ayah. "Aku tak peduli tentang kepemilikan perusahaan. Yang jelas, Adi Wijaya itu profesional. Jika dia butuh orang, dia tak akan melepas orang itu. So ... kalau ingin bertahan di Wijaya Group, jadilah orang yang dibutuhkan oleh Adi Wijaya!"
Dan... kenapa kalian takut sama seorang perempuan bau kencur? Batin William kembali tersenyum miring. Tentu saja ia mengikuti gerak-gerik Adi Wijaya. Juga tentang kepergian Adi Wijaya ke kota kecil dimana sang cucu berada.
Toh darah memang lebih kental dari air. Di ujung usianya, wajar saja Adi Wijaya ingin mewariskan harta kekayaannya kepada keluarga kandungnya.
Tuk. Tuk. Tuk.
Wirautama mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Seharusnya ia tak perlu mengajak William makan siang untuk bicara jika hasilnya seperti ini. Putra sulungnya itu dari dulu memiliki pemikiran yang berbeda dengan nya. Ia pun menghela nafas, mulai mengisi piringnya dengan makanan.
Aku harus cari cara lain agar William mau bekerjasama menguasai Wijaya Group. Ucap Wirautama dalam hati.
"Bagaimana dengan kuliahmu, Bella?" William mencoba memecah suasana hening di meja makan itu. Adik perempuan lain ibu itu adalah satu-satunya keluarga yang dianggap tidak memiliki intrik maupun haus akan kekuasaan seperti yang lain. Waktu kecil, Bella sangat lengket dengan nya. Hanya baru-baru ini saja gadis itu jadi pendiam dan terlihat takut pada William.
Bella yang duduk di sebelah William menghentikan suap nya. "Lancar dan aman-aman aja, Wil. Oh,ya. Aku sudah mengajukan surat untuk magang di kantor pusat."
William tersenyum. "Baiklah. Nanti aku lihat."
Makan siang keluarga itu pun berlanjut dalam hening.
*
Langkah Anna tertahan saat melihat ibu Tony keluar dari rumahnya.
"Ya ampun. Kalian ini! Udah gede masih basah-basahan kayak anak kecil!" seru Nimas gemas melihat anak lelakinya serta Anna muncul di depan rumah dengan pakaian basah sambil cengengesan.
"Tamunya udah pergi, Tan?"
"Sudah. Barusan," jawab Nimas. "Emm. Anna!" Nimas ragu-ragu.
"Ya...?"
"Ah. Ga jadi. Sono masuk! Mandi yang bener lalu ganti baju! Ntar masuk angin."
"Siap, Tan!" Anna memberi hormat ke Nimas dan ucapan 'duluan' tanpa suara ke arah Tony lalu berlalu memasuki rumah.
"Udah...!! Jangan dipandangi terus anak orang! Mending kamu ga usah terlalu berharap, deh!" Nimas menarik singlet Tony ke arah rumah mereka.
"Ahh. Ibu! Jangan keras-keras. Ga enak kedengaran ama Anna atau nenek." Tony bersemu merah. "Tapi apa maksud ibu jangan terlalu berharap. Bukan nya ibu juga suka sama Anna?" Tony mengiringi langkah ibunya memasuki rumah.
"Hhhh. Udahlah Ton. Mandi sana!" Nimas mengambil ancang-ancang seperti hendak memukul pantat Tony.
"Iya, Bu. Iya. Ini juga baru mau ambil salinan!"
***
Seperti malam-malam biasanya, malam ini Anna dan neneknya makan malam berdua saja.
Meski Anna merasa penasaran akan kedatangan tamu tadi siang, ia masih tutup mulut, menunggu neneknya memulai pembicaraan tentang kedatangan tamu itu.
Badriah menghabiskan nasi dengan lauk tahu tempe serta sayur asem sisa tadi pagi.
"Anna...!" panggil Badriah dengan suara seraknya.
"Ya, Nek," jawab Anna yang juga sedang membasuh tangan selesai makan.
"Ada yang mau nenek bicarakan."
Anna menatap neneknya, melihat bahwa sang nenek tercinta tampak berat memulai pembicaraan dengan dirinya. "Ya. Nek." Anna berharap bukan berita buruk.
Badriah berdiri menuju lemari dapur. Sebuah map file dikeluarkan dari sudut lemari. Tampaknya ia sudah bersiap membicarakan hal penting itu di dapur.
Anna menerima berkas yang diberikan Badriah. Jantung Anna berdebar kencang saat melihat logo Rumah Sakit yang tercetak pada map itu. Nama, nomor rekam medis dan tanggal lahir Badriah tertulis sebagai pasien.
DEG.
"A... apa ini, Nek?"
Jemari Anna bergetar, telapak tangan nya terasa dingin berkeringat. Ia pun membaca berkas yang disodorkan Badriah satu persatu.
"Jantung koroner?!" Anna membelalak tak percaya. Menatap wanita tua serta berkas di tangannya bergantian. "Ba-bagaimana nenek menyimpan semua ini dari Anna, Nek?!" Suara Anna bergetar. Cairan hangat mengalir dari pelupuk mata hingga rongga hidungnya.
"A-Anna tidak percaya ini!"
Saat ia sibuk mengurus ijazah serta wawancara kerja yang didapat atas undangan perusahaan karena ia menjadi wisudawan terbaik di jurusannya, sang nenek malah masuk Rumah Sakit tanpa sepengetahuan Anna.
Badriah melangkah menuju Anna yang terduduk lemas. Dibawanya keluarga dan cucu satu-satunya itu ke tubuhnya yang mulai renta. Seberapa besar pun ia mencoba menahan isak, ternyata dirinya tak mampu.
"M-maafkan nenek, Anna." Badriah mengusap puncak kepala hingga punggung Anna yang berguncang. "Besok." Badriah berhenti sejenak, menarik napas dalam, mengisi paru-paru tuanya dengan oksigen sebanyak-banyak nya. "Nenek sudah bicara dengan Nimas. Besok nenek akan ke Rumah Sakit untuk pemasangan cincin."
Anna melepaskan pelukan sang nenek. "Pa-pasang cincin? Besok?"
Badriah mengangguk.
"Dan..." Badriah tercekat. Ia bingung menyampaikan hal lain yang lebih penting ketimbang tentang hidupnya sendiri. Tentang Anna... dan masa depannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mưa buồn
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
2025-06-13
1