Repeat Time, Saving Us [Taekook]
1.2. Upacara pemakaman
Keluarga Kim mengadakan upacara pemakaman sederhana untuk Taehyung. Semua orang berkumpul, berdoa, memberikan penghormatan terakhir. Tapi Jeon Jeongguk... tidak ada di sana.
Dia terlalu takut untuk datang. Terlalu takut menghadapi kenyataan bahwa Taehyung benar-benar pergi.
Di sudut hatinya yang rapuh, Jeongguk masih menyangkal. Masih berharap saat membuka mata besok, semuanya akan kembali seperti biasa—Taehyung akan mengirimkan pesan konyol, menelepon sambil tertawa, atau menunggunya di depan apartemen.
Itu waktu yang dibutuhkan Jeongguk untuk akhirnya berani melangkahkan kaki ke rumah keluarga Kim, tempat upacara pemakaman Taehyung diadakan.
Tiga hari penuh penyiksaan, penuh kebisuan, penuh penyesalan yang menjerat pikirannya tanpa henti.
Dan saat dia akhirnya berdiri di depan rumah itu, semuanya terasa berbeda. Biasanya rumah itu ramai dengan tawa, hangat dengan percakapan. Tapi hari ini—lampu-lampu rumah itu temaram, nyaris redup, seakan ikut berkabung.
Suasana hening. Berat. Hanya terdengar suara para pelayat yang berbicara pelan, seperti takut merusak keheningan duka yang menguasai ruangan.
Jeongguk melangkah masuk dengan ragu. Kakinya terasa berat, seolah menolak setiap langkah mendekati altar pemakaman di tengah ruangan. Dan di sana, di atas meja berbalut kain putih, berdiri foto Taehyung.
Taehyung tersenyum dalam foto itu, senyum lebar yang selalu membuat dunia Jeongguk terasa lebih cerah.
Senyum yang kini tinggal kenangan.
Jeongguk merasa tubuhnya kosong. Napasnya dangkal.
Jiwanya seolah tertinggal entah di mana, sementara dia sendiri hanya berdiri di sana—sebuah cangkang tanpa isi, dihantui kehilangan yang terlalu besar untuk dipahami.
Matanya berair saat akhirnya dia menundukkan kepala dalam-dalam, tangan di sisi tubuhnya mengepal erat, menahan rasa sesak yang membakar dadanya.
Dari sudut matanya, dia melihat Ayah Taehyung mendekat. Jeongguk menahan napas, bersiap untuk kemarahan, tuduhan, bahkan kebencian. Dia pantas mendapatkannya. Tapi yang datang bukan kemarahan.
Hanya sebuah tepukan lembut di bahunya. Sebuah sentuhan yang menghangatkan, sekaligus menghancurkannya.
Ayah
Kau pasti menderita juga.
Kata pria itu, suaranya serak namun hangat.
Jeongguk menggigit bibir bawahnya keras-keras. Tangisnya hampir pecah saat itu juga.
Ibu Taehyung ikut mendekat. Wajahnya sembab, matanya merah karena terlalu banyak menangis, namun dia memaksakan sebuah senyum kecil—senyum penuh kebaikan, yang membuat Jeongguk ingin berlutut dan meminta maaf ribuan kali.
Ibu
Terima kasih... sudah menyayangi Taehyung.
Suaranya lirih namun tulus.
Dan kemudian, Taejung. Adik Taehyung, yang biasanya menyebalkan, suka mengejek Jeongguk kapan saja diberi kesempatan. Dia berdiri sedikit lebih jauh, menunduk dalam-dalam. Saat akhirnya berbicara, suaranya pelan, hampir tak terdengar.
Taejung
Hyung pasti marah kalau lihat kamu nyalahin diri sendiri terus.
Jeongguk tidak bisa berkata apa pun.
Dia hanya berdiri di sana, menggenggam tangan di sisinya sekuat tenaga, mencoba menahan air mata yang terus mendesak keluar, mencoba menahan diri agar tidak runtuh sepenuhnya di hadapan keluarga yang seharusnya dia jaga.
Tapi bagaimana mungkin menjaga mereka...
Kalau dia bahkan gagal menjaga satu-satunya orang yang paling dia cintai?
Comments