It's not easy to be an angel
When you're just human with imperfection
***
"Apa pekerjaanmu?" tanya Zen ketika ia berada di ruang kerja Joanna. Ia tidak melihat sesuatu yang spesial dari kantor Joanna. Bahkan di depan kantor kecil yang ada di sudut jalan itu, Zen tak membaca tulisan tentang nama kantor itu, atau apa tepatnya kantor itu.
"Membantu menyelidiki beberapa kasus," jawab Joanna enteng seraya duduk di kursi putar di depan meja kerjanya, tepat di depan jendela.
"Dan bagaimana caramu bekerja?" Zen berkeliling di seluruh ruangan, mengamati apa pun yang ada di sana.
"Hanya duduk dan menunggu kasus, terkadang keluar untuk penyelidikan, bertemu temanku untuk memberikan laporan, dan duduk di sini," urainya santai, seraya menarik sebuah berkas di ujung mejanya, dan mulai sibuk membaca berkas itu.
"Apa yang sedang kau baca?" Zen menghampiri Joanna dengan penasaran.
"Kasus yang sedang kuselidiki," sahut Joanna. "Seorang gadis yatim piatu yang tinggal dengan paman dan bibinya, meninggal karena bunuh diri, terjun ke sungai dari jembatan."
Zen mengerutkan kening. "Kau menyelidiki kasus bunuh diri?"
Joanna menggeleng, masih membaca berkas itu. "Kurasa itu bukan kasus bunuh diri," ucapnya. "Ketika diotopsi, ternyata gadis itu sedang hamil beberapa minggu, dan ada luka akibat pukulan benda tumpul di kepala belakangnya."
"Mungkin dia menabrak pagar pembatas, atau batu ketika jatuh ke sungai, atau ..."
Joanna akhirnya mendongak dari berkasnya, mengerutkan kening menatap Zen. "Kupikir kau tak tahu apa pun tentang dunia luar," sebutnya.
Zen menggeleng. "Hanya ... seseorang yang aku tahu di proyek bangunan juga meninggal karena jatuh ke sungai dan kepalanya terbentur batu di dasar sungai."
"Oh," desah Joanna simpati. "Yah, tapi ... luka di kepala gadis itu bukan karena hal-hal seperti itu. Maksudku ... itu berbeda. Karena selain itu juga ... rusuknya retak. Jadi, kurasa dia dianiaya lebih dulu, baru dibuang ke sungai."
Zen terdiam.
Joanna mendesah berat. "Bagaimana bisa ada orang sejahat itu ..." gumamnya.
"Bukankah dunia ini memang penuh dengan orang jahat?" celetuk Zen.
Joanna menatap Zen geli. "Kau bahkan tidak mengenal cukup banyak orang untuk mengatakan itu."
"Tapi, hanya orang-orang jahat yang kukenal sepanjang hidupku," sahut Zen.
Joanna tersenyum simpati. "Itu karena kau belum pernah pergi ke luar lingkaran hitam itu," ucapnya. "Di dunia ini juga banyak orang baik. Tapi selama ini, kebanyakan orang jahatlah yang berkuasa di dunia ini."
"Bagaimana kau mengkategorikan orang jahat dan orang baik?" tanya Zen.
Joanna mengedikkan bahu santai. "Hanya mereka yang punya hati nurani, dan yang tidak. Apa kau pernah mendengar, tidak semua penjahat adalah orang jahat? Aku percaya dengan pernyataan itu. Lagipula, kebanyakan orang yang tampaknya tidak melakukan kejahatan, justru melakukan lebih banyak kejahatan yang ditutupi kemunafikan. Orang-orang itu pasti tidak punya hati nurani. Menurutku, mereka yang masih memiliki hati nurani, adalah orang-orang baik. Karena di dunia ini, kita tidak bisa menghakimi seseorang dari status mereka. Terkadang, orang yang kita pikir lebih rendah dari orang lain, adalah orang yang lebih layak untuk hidup sebagai manusia."
Zen tertegun. Gadis ini ... bagaimana dia ...?
"Oh, siang ini aku akan bertemu dengan temanku. Seorang detektif polisi. Aku bekerja sama dengannya. Aku menyelidiki kasus ini untuk membantunya, jadi aku harus memberikan laporan ini padanya siang nanti. Kau tinggal di sini tidak apa-apa, kan? Aku akan membelikan makan siang untukmu nanti," kata Joanna.
Zen tak mengatakan apa pun, dan hanya mengangguk. Ia masih menatap Joanna ketika gadis itu kembali sibuk dengan berkasnya, dan mulai mencatat di atas sebuah note.
***
"Tidak ada saksi," keluh Joanna ketika ia duduk di sofa untuk tamu dengan lesu. Tangan kanannya kemudian terangkat, menunjukkan tas plastik berisi makan siang untuk Zen.
Zen yang tadinya sedang menonton televisi di sofa seberang Joanna, kontan berdiri. "Aku sudah lapar," katanya.
Joanna tersenyum menyesal. "Maaf, aku sama sekali tidak menyangka akan selama tadi. Temanku berkata kasus ini akan sedikit sulit karena tidak ada saksi, atau lebih tepatnya, tidak ada yang cukup berani untuk bersaksi."
Zen mengerutkan kening heran. "Adakah yang seperti itu?"
Joanna mengangguk. "Banyak. Membeli kesaksian, melenyapkan saksi, itu hal biasa. Itulah kenapa terkadang para saksi enggan ikut campur dengan kasus seperti ini. Bahkan meskipun mereka tahu, mereka lebih memilih untuk tutup mulut."
Zen duduk dengan lesu di sofa. "Di dunia ini ... kenapa ada begitu banyak ketidakadilan?"
Joanna tersenyum kecil seraya mengangsurkan makan siang Zen. "Mungkin karena kebanyakan orang yang bisa mengendalikan dunia ini adalah orang yang tidak memiliki hati nurani."
Zen menatap Joanna lekat. "Begitukah?"
Joanna tersenyum geli. "Kau baru saja keluar dan melihat dunia luar. Tidakkah ini terlalu jauh? Seharusnya kau melihat lingkungan sekitarmu dulu sebelum memikirkan nasib semua orang di dunia ini."
Zen tak mengatakan apa pun dan hanya mengangguk. Joanna mengamati pria itu lantas mengambil makan siangnya. Joanna tersenyum kecil. Zen begitu ingin tahu, polos dan kekanakan. Jika Joanna tidak tahu tentang kehidupannya sebelum ini, dia mungkin berpikir pria ini idiot. Joanna tersenyum geli. Rasanya seperti memiliki adik, lagi. Jika dipikir-pikir, George bahkan tampak lebih dewasa dibandingkan Zen.
***
"Apa kita benar-benar harus belanja sebanyak ini?" keluh Zen.
Joanna mengangguk tanpa menoleh seraya mengambil dua kaos lain untuk ditambahkan dalam tumpukan pakaian yang dibawa Zen. Joanna juga membelikan dua jaket untuk Zen, beberapa kemeja, celana tiga perempat, jeans dan celana pendek.
"Sedari tadi orang-orang menatap kita dan berpikir kita ini sepasang kekasih. Tapi, aku merasa seperti ibumu," keluh Joanna seraya menumpuk pakaian terakhir untuk Zen.
Zen meringis. "Kau tidak tampak seperti ibu-ibu."
Joanna memutar mata. Zen bahkan tidak mengerti apa itu perumpamaan, jadi Joanna mengingatkan dirinya untuk tidak membicarakan hal-hal seperti itu lagi dengannya.
"Ayo pergi ke kamar pas dan mencobanya, lalu membayarnya. Kita masih harus membeli sepatu untukmu." Joanna memimpin Zen ke arah kamar pas.
"Haruskah aku mencobanya?" Zen menatap tumpukan pakaian itu ragu.
Joanna mengangguk mantap. "Jangan membuang waktu lagi. Kita harus kembali sebelum makan malam."
Joanna mendorong Zen ke kamar ganti, tapi ia sendiri ikut masuk.
"Apa ... apa yang kau lakukan di sini?" Zen tampak panik.
Joanna mengangkat alis. "Kau tidak perlu bantuanku?"
Zen melongo selama beberapa saat, sebelum mendorong Joanna keluar, wajahnya tampak memerah. Ia lantas meletakkan tumpukan pakaian itu di kursi tunggu, lalu kembali untuk menarik Joanna ke sebelah pakaian-pakaian yang akan dicobanya.
"Di sini saja, dan berikan aku pakaian yang harus kucoba tanpa masuk ke dalam, oke?" kata Zen seraya mengambil beberapa pakaian.
Joanna mengerutkan kening, lalu mengangguk. Sebelumnya, dia juga membantu George dan yang lain berganti pakaian karena mereka awalnya tak berani mencoba pakaian-pakaian itu. Belakangan Joanna tahu mereka khawatir jika mereka dituduh sebagai pencuri. Ia pikir, mungkin Zen akan bertingkah seperti itu dan ...
"Apa aku harus keluar dan menunjukkan padamu apakah pakaiannya pas atau tidak denganku?" tanya Zen sebelum ia masuk ke kamar pas.
"Jika kau merasa nyaman dengan pakaiannya, kau bisa mengambilnya," sahut Joanna.
Zen mengangguk, lalu ia pun masuk ke kamar pas, meninggalkan Joanna yang masih berdiri di tempatnya dengan kening berkerut dalam. Zen yang barusan ... sangat berbeda dengan Zen yang pertama kali ditemui Joanna. Zen yang barusan ... tampak sangat baik mengendalikan keadaan. Itu membuat Joanna sedikit bingung.
***
"Kalian tadi seharian pergi ke mana?" interogasi George saat ia baru pulang bekerja, membuat Jonna memutar mata.
"Kau terdengar semanis seorang ibu, George," sarkas Joanna.
"Aku tidak bercanda, Jo," balas George tajam.
"Begitu pun aku," sahut Joanna santai. "Cepat cuci tangan dan makan, lalu istirahatlah. Kau harus beristirahat dengan cukup jika ingin menghajar Zen besok."
George mengerutkan kening. "Menghajar ... Zen?"
Joanna mengangguk. "Besok, ajari dia pertahanan diri. Kau bisa memanfaatkan itu untuk sedikit menghajarnya, kan? Asal jangan membuatnya terlalu babak belur, oke?"
George menoleh ke arah Zen yang bahkan tidak protes. George tidak tahu apa rencana pria ini, tapi besok, dia mungkin bisa menunjukkan pada Joanna bahwa sejak datang ke rumah ini, pria ini hanya berpura-pura.
***
"Sudah kubilang, untuk beberapa waktu, jangan temui aku," Thunder berbicara dalam bisikan ke arah pria berambut hitam pendek dan bermata cokelat di hadapannya.
"Ketua terus mencarimu, Thunder. Kurasa kau perlu kembali ke rumah dulu," pria berambut pendek itu berbicara.
"Hans, kukira kau bisa mengurus itu. Katakan pada ayahku jika aku akan kembali jika kurasa waktunya tepat. Dan katakan padanya aku baik-baik saja, astaga! Kau juga tidak bisa melakukan itu?" Thunder tak dapat menahan kekesalannya.
"Kau sudah menghilang selama sepuluh tahun. Begitu kembali, kau tidak langsung kembali ke rumah dan menemui ayahmu. Ketua tentu saja kebingungan dan cemas karenamu. Tidak ada yang tahu, apa yang terjadi sepuluh tahun lalu hingga membuatmu melarikan diri begitu saja. Karena itu ..."
"Kau tahu," sela Thunder tajam. "Karena itu, berikan alasan apa pun pada ayahku, selama itu bukan yang sebenarnya. Aku tidak ingin membuat ayahku lebih khawatir lagi. Tidak setelah kejadian empat belas tahun lalu."
Hans mendesah berat. "Aku akan berusaha meyakinkannya bahwa kau akan kembali begitu kau bisa."
Thunder mengangguk.
"Tapi, gadis itu ... tidakkah dia mengenalimu?" tanya Hans hati-hati.
Thunder menggeleng. "Sejauh ini, belum." Dan ia harap, tidak akan pernah.
Hans mengangguk. "Baiklah. Aku akan pergi. Tapi kau tahu, aku masih harus mengawasimu. Karena jika sampai orang-orang Jackal tahu kau kembali, mereka ..."
"Aku bisa menjaga diriku sendiri, jadi berhenti mengikutiku," sela Thunder. "Saat ini, akulah orang yang mengawasi mereka, dan bukan sebaliknya."
Hans lagi-lagi hanya bisa mengangguk pasrah. "Jika kau perlu apa-apa ..."
"Aku juga akan mengurusnya sendiri. Jadi, lakukan saja tugasmu dengan benar dan jangan mengacaukan rencanaku," potong Thunder cepat.
Hans mendesah, mengangguk. "Aku pergi," pamitnya, sebelum ia melesat menghilang di balik kegelapan malam.
Thunder masih tinggal di luar selama beberapa saat, menarik napas dalam, membiarkan udara dingin memenuhi paru-parunya, dan sedikit membantu otaknya tetap terjaga.
Sedikit kesalahan kecil saja, rencananya bisa hancur. Kesalahan sekecil apa pun, bisa menyeret Joanna ke dalam bahaya. Dan itu, adalah hal terakhir yang Thunder inginkan.
***
Ketika tak sedikit pun Zen berusaha melawan atau setidaknya menghindar, Geroge mendaratkan pukulan yang lebih keras ke perutnya, membuat pria itu tersungkur dan mengerang kesakitan. Hal itu otomatis membuat Joanna seketika melompat di antara mereka.
"George, apa yang kau lakukan?" kesal Joanna seraya membantu Zen berdiri. "Sudah kubilang untuk tidak membuatnya babak belur. Tapi, apa ini?"
"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja," Zen berusaha menenangkan Joanna.
George mendengus kasar. "Tidakkah kau ingin berhenti berpura-pura?"
"George, cukup!" Joanna berusaha menghentikannya.
"Aku tahu apa yang kau lakukan semalam!" teriak George akhirnya, dan sekilas, ia sempat melihat keterkejutan di mata Zen, sebelum keterkejutannya lenyap dan berganti kebingungan saat Joanna menoleh ke arah pria itu. George mendengus tak percaya.
"Apa maksudnya? Apa yang kau lakukan semalam?" Joanna bertanya.
"Semalam, dia meninggalkan tempat tidurnya, dan entah pergi ke mana," lanjut George.
Joanna mengerutkan kening, menatap Zen lekat. "Benarkah yang George katakan?"
Zen mendesah. "Aku hanya keluar untuk mencari udara segar," ucapnya.
Joanna seketika menoleh ke arah George, tampak kesal. "George, kau benar-benar ..."
"Dia bertemu dengan seseorang!" seru George tak sabar. Ia menatap Zen dan lagi-lagi melihat perubahan ekspresinya, yang kemudian dengan cepat berganti kebingungan seperti sebelumnya ketika Joanna menatapnya, menuntut kepastian.
"Benarkah? Kau bertemu seseorang? Kau bilang, kau tidak punya teman ataupun keluarga. Lalu ..."
"George mungkin bermimpi," sela Zen bahkan tanpa keraguan.
George menatap pria itu gusar. "Aku tidak bermimpi. Aku benar-benar ..."
"Aku juga tidak berbohong," lagi-lagi pria itu berkata dengan begitu yakinnya.
Joanna menatap George jengkel. "Hentikan semua tuduhan tidak masuk akalmu padanya. Kurasa mulai sekarang, aku sendiri yang akan mengajarinya pertahanan diri."
Setelah mengatakan itu, Joanna membawa Zen masuk ke dalam rumah, sementara di belakangnya, George hanya bisa mengepalkan tangan, menahan amarahnya.
Semalam ia tidak bermimpi. Ketika ia mendengar Zen meninggalkan tempat tidurnya, George mengikutinya dan keluar lewat jendela. Zen menemui seorang pria, yang juga tampak sama berbahayanya dengan dirinya. Ia tidak tahu apa tepatnya yang mereka bicarakan, tapi ia sempat mendengar pria itu memanggil Zen dengan nama lain.
Thunder.
Yang George tahu, nama itu cukup ditakuti oleh kebanyakan orang-orang yang dikenalnya ketika ia masih hidup di jalanan. Bahkan ketika saat itu sang pemilik nama menghilang, nama itu masih menjadi teror bagi mereka. Namun di sini, di rumah ini, ketika George menemukan hidup baru yang lebih baik, ia justru bertemu dengan teror yang disebut-sebut bagai kematian itu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments