Penampilan bisa menipu
Namun, seorang iblis
Tak akan bisa menjadi malaikat
***
"Apa kau tahu siapa namamu?" tanya Joanna kemudian.
Pria itu mendongak dan menatap Joanna. "Arzen. Orang-orang memanggilku Zen."
Joanna mengangguk. Setidaknya pria ini tahu namanya, meski tanpa nama keluarga. "Umurmu ..."
Pria itu menggeleng, membuat Joanna mendesah pelan.
Baiklah, ada beberapa pilihan tentang dugaan sementara Joanna. Pria ini bisa saja pria idiot karena tekanan bertahun-tahun di rumah majikannya. Atau, bisa juga dia hanya pria bodoh yang polos karena tak pernah tahu dunia luar. Atau yang sedikit lebih ekstrim, pria ini gila, meski untuk orang gila, ia tampak terlalu tenang.
"Baiklah." Joanna mengambil keputusan cepat untuk menentukan pria ini termasuk golongan yang mana. "Maaf jika pertanyaanku ini lancang, tapi apa kau pernah bersekolah sebelumnya?"
Pria itu mengangguk. "Hanya sampai elementary school," beritahunya.
"Kau masih mengingat pelajaran Matematika, atau pelajaran apa pun semasa sekolah?" selidik Joanna.
Pria itu kembali mengangguk. "Aku cukup andal dengan Matematika. Orang-orang menyebutku jenius Matematika. Aku juga masih ingat pelajaran Aljabar, dan juga ..."
"Oke," sela Joanna. Itu berarti dia bukan pria idiot.
"Aku bukan idiot," ucap pria itu tiba-tiba, membuat wajah Joanna memerah karena pemikirannya beberapa saat lalu.
"Maaf, aku hanya menduga. Setidaknya aku perlu melakukan beberapa tindakan jika situasinya seperti itu," terang Joanna.
"Aku bukan orang gila, dan bukan idiot," kata pria itu lagi.
Joanna meringis. Apakah pria ini bisa mendengar pikiran Joanna?
"Aku hanya sudah lama tidak melihat dunia luar," lanjut pria itu.
Joanna menarik napas dalam, lalu mengangguk, menyadari dirinya bersalah untuk tuduhan kejamnya tadi. "Sudah berapa lama tepatnya kau tidak melihat dunia luar?"
"Sejak aku tiga belas tahun. Aku tidak tahu lagi hidup macam apa yang kujalani," ucap pria itu seraya menunduk.
Joanna menatap pria itu, tak bisa mencegah dirinya untuk merasa iba. Hidup dengan cara seperti itu, itu bahkan tak bisa disebut dengan hidup.
"Aku memang belum bisa percaya sepenuhnya padamu. Tapi, untuk saat ini, aku akan membiarkanmu tinggal di sini. Kau bisa belajar beradaptasi dengan dunia luar selama kau tinggal di sini. Tapi, kuingatkan padamu, aku bisa menghajar dan mengalahkanmu dengan mudah. Jadi, jangan macam-macam padaku," kata Joanna kemudian.
Pria itu tampak senang dan lega sekaligus. Ia mengangguk cepat, berkali-kali, menanggapi keputusan Joanna.
"Aku akan memperkenalkan kau pada kelima anak di depan. Tadi kau sudah berbicara dengan George. Dia yang paling tua, usianya tujuh belas tahun. Dean dan Peter enam belas tahun, sementara Brad dan Ronald lima belas tahun. Aku menemukan mereka pertama kali sekitar tiga tahun lalu. Dalam keadaan kurang lebih sama sepertimu. George yang pertama datang ke rumah ini. Beberapa bulan kemudian, aku membawa Ronald. Lalu menyusul Dean, Brad dan Peter.
"Mereka juga tidak punya rumah untuk pulang. Tapi, aku tahu mereka tidak akan berbuat jahat. Karena itu, aku membawa mereka kemari, memberi mereka tempat untuk pulang. Setiap pagi mereka sekolah, dan malamnya mereka bekerja paruh waktu di restoran salah satu kenalanku. Sejauh ini, mereka lebih menikmati kehidupan kedua mereka di sini. Kuharap, kau juga bisa segera memulai kehidupan barumu, dan menikmatinya." Joanna tersenyum pada pria yang kini menatapnya bingung.
"Kenapa kau ... mau menolong mereka, dan juga aku?" tanya pria itu.
Joanna menatap langit-langit, berpikir sekilas. "Apakah perlu alasan untuk menolong sesama manusia, dan membantu mereka untuk hidup lebih baik?" Ia menatap pria itu. "Dunia ini sudah penuh dengan orang jahat. Mungkin kita tidak bisa mengubah dunia yang sudah seperti ini, tapi bukan berarti kita akan menutup mata dari hidup yang masih bisa kita perjuangkan, kan? Setiap manusia, berhak mendapatkan kesempatan kedua. Entah itu untuk mengulangi kesalahan yang sama, atau untuk menjadi lebih baik."
Pria itu tertegun.
"Ayo, aku akan memperkenalkanmu pada anak-anak, lalu mengantarmu ke kamar barumu. Kurasa kau bisa berbagi kamar dengan George," kata Joanna seraya beranjak ke pintu dapur. Ia menghentikan langkah di pintu untuk menatap pria itu. "Oh, namamu tadi.."
"Zen," pria itu menyebutkan namanya. "Namaku Zen."
Joanna tersenyum dan mengangguk kecil. "Selamat datang, Zen."
***
"Joanna mungkin bisa mempercayaimu, tapi aku tidak akan semudah itu percaya padamu," kata George ketika ia berada di kamar yang sama dengan Zen, sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. "Aku tidak akan membiarkan Joanna terluka, jadi jika kau sampai macam-macam padanya, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri."
Zen menatap George yang tampak bersungguh-sungguh dengan kata-katanya.
"Kenapa kau berpikir aku berbahaya bagi Joanna?" Zen menatap George penasaran.
George menatap Zen tajam. "Aku sudah lama hidup di jalanan. Sejak kecil, aku hidup di jalanan yang keras, sampai Joanna memberiku tempat untuk pulang. Tapi, aku bahkan bisa merasakan bahwa kau lebih berbahaya dari preman mana pun yang pernah kutemui."
"Tidakkah itu hanya karena kau terlalu khawatir pada Joanna?" tanya Zen.
"Sejauh ini, instingku tidak pernah salah. Terakhir kali, aku memergoki seorang anak jalanan yang dibawa Joanna pulang, mencuri di rumah ini. Aku sudah curiga padanya sejak awal. Dan itu juga bukan yang pertama kalinya. Jadi kali ini, jangan berharap aku bisa tertipu oleh aktingmu. Saat ini, aku tidak punya bukti untuk mengatakan apa yang kupikirkan tentangmu, tapi segera, aku akan menunjukkan pada Joanna bahwa kau berbahaya," ungkap George penuh tekad.
Zen mengangguk santai. "Selamat bekerja keras, kalau begitu." Zen lantas berbaring di atas kasur lipatnya di lantai kamar, dengan lengan terlipat di atas kepalanya.
"Apa yang kau inginkan dari rumah ini? Dari Joanna?" interogasi George.
Zen melirik George sekilas, lalu menatap langit-langit. "Apa yang membuatmu berpikir aku kemari dengan tujuan tertentu? Aku tidak pernah tahu dunia luar selama belasan tahun dan ..."
"Bukankah sudah kuperingatkan, kau bisa berbohong pada Joanna, tapi tidak padaku?" sela George sinis. "Aku lebih mempercayai instingku daripada rasa iba Joanna padamu. Joanna selalu berpikir positif tentang seseorang."
Zen mendesah berat, lalu memejamkan matanya. "Baiklah. Lakukan apa yang kau suka. Percayai apa yang kau ingin percaya tentangku."
George mengepalkan tangannya geram. Pria ini ... entah bagaimana, ia bisa merasakan aura berbahaya pria ini. Terlalu kuat, terlalu mengerikan. Ia hanya tidak tahu, apa tujuan pria ini datang kemari. Apa yang ia inginkan dari Joanna?
***
"Mereka belum pulang?" Zen keluar dari kamarnya dan melihat Joanna masih duduk di atas karpet di ruang tengah, di depan televisi, meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Sebentar lagi mereka pulang, dan akan langsung tidur," sahut Joanna tanpa menoleh.
Zen melangkahkan kaki ke tempat Joanna duduk, mengambil tempat setidaknya satu meter dari gadis itu, tapi tatapannya masih tertuju pada Joanna.
"Kau sama sekali tidak takut hanya berdua denganku di rumah ini?" tanya Zen hati-hati.
Joanna mengalihkan tatapan dari televisi untuk menatap Zen dengan meremehkan, lalu mendengus pelan. "Kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri. Kenapa aku harus takut padamu? Aku bisa dengan mudah menghadapimu."
"Tapi, George percaya bahwa aku berbahaya," kata Zen.
Joanna mengerutkan kening sejenak. "Kurasa ada kalanya instingnya salah. Dia masih manusia, bagaimanapun. Tak ada satu pun manusia yang luput dari kesalahan," sahutnya enteng.
Zen menatap gadis itu lekat, lalu tersenyum tipis. Semua pemikiran gadis itu membuat Zen berpikir tentang satu kata; pengampunan. Namun, semudah itukah?
"Oh, besok pagi aku harus ke kantor. Apakah kau mau ikut atau tinggal di rumah?" tanya Joanna.
"Apakah tidak apa-apa?" Zen balik bertanya.
Joanna mengangguk. "Ikut ke kantorku, atau tinggal di rumah ini, yang tidak apa-apa?"
Zen meringis. "Ikut denganmu. Jika itu tidak apa-apa, kurasa aku akan ikut denganmu saja, agar George berhenti curiga tentang aku akan mengosongkan rumah ini."
Joanna tergelak. "Tidak ada barang-barang berharga di rumah ini," beritahunya.
Zen mendesah. "Jika aku memang pencuri, kenapa aku tidak memanfaatkan kesempatan itu sekarang? Toh kau sedang sendiri." Ia mengedikkan bahu.
Joanna kembali tertawa. "Jangan bicara omong kosong. Kau bahkan tidak bisa menjaga dirimu sendiri," katanya geli.
Zen meringis. "George sepertinya tidak tahu itu."
"Besok lusa, sekolah anak-anak libur. Akan kubiarkan George membuktikan betapa berbahayanya dirimu," kata Joanna dengan sedikit sarkasme.
Zen tersenyum kecil dan mengangguk. "Mungkin dia harus membuatku babak belur dulu, baru dia akan puas."
Joanna mendengus geli. "Aku masih tak mengerti kenapa dia berpikiran seperti itu tentangmu."
Melihat cara Joanna menatapnya, Zen bisa mengerti kenapa gadis itu begitu mudah tertipu. Meski ia ingin tersenyum, tapi Zen menjaga ekspresinya.
***
Joanna mengamati penampilan Zen.
Saat ini, Zen memang memakai kaos yang tampak kekecilan, karena itu milik Geo, dan celana tiga perempat yang juga tampak lebih pendek. Sepertinya Zen perlu pakaian baru, Joanna memutuskan. Ia lantas menatap wajah Zen yang dipenuhi memar dan lecet. Tidak ada sesuatu yang berbahaya di sana, selain ekspresi polosnya yang tampak begitu bodoh.
Namun, Joanna tampak lebih baik ketika melihat rambut cokelat madu Zen. Setelah mandi, rambutnya sudah tidak lagi tampak kucel dan berantakan. Yah, setidaknya ia tampak lebih bersih sekarang. Sejauh pengamatannya tentang penampilan Zen, pria itu tidak tampak seperti pria yang berbahaya. Ia begitu ... bodoh, atau polos?
"Besok sepulang aku kerja, ayo kita belanja pakaianmu," putus Joanna.
"Tapi, aku tidak punya uang," keluh Zen.
"Aku akan meminjamkan uangku," balas Joanna. "Nanti begitu kau sudah terbiasa dengan dunia luar, ayo kita cari pekerjaan untukmu agar kau bisa membayar hutangmu padaku."
Zen tersenyum kecil, sedikit meringis karena luka di bibirnya. Namun, ia tampak senang mendengar penawaran dan rencana Joanna untuknya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Susi Andriani
awal cerita aku mulai suka
2020-12-11
0