Deru mesin kopi adalah simfoni yang akrab, memecah keheningan pagi di kafe kecil bernama "Kopi Sunyi". Nama yang ironis, pikir Rangga, karena tempat ini tak pernah benar-benar sunyi. Aroma pahit espresso bercampur manisnya sirop karamel melayang di udara, berusaha menutupi bau asap knalpot yang sesekali menyelinap masuk dari jalanan yang selalu ramai. Di luar, Bandung di siang hari adalah orkestra klakson tak sabar, teriakan pedagang asongan yang menawarkan jasa cetak foto keliling, dan tawa cekikikan anak sekolah yang baru bubar. Bagi Rangga, berusia dua puluh satu tahun, semua suara itu adalah soundtrack hidupnya, sebuah latar belakang yang tak pernah berhenti menggaung.
Dengan seragam kafenya yang agak lusuh—kemeja putih yang sedikit menguning di kerah dan celemek cokelat yang sudah pudar warnanya—Rangga bergerak cekatan di balik konter. Tangannya sudah terlatih meracik pesanan: menekan tombol mesin kopi, memanaskan susu hingga berbusa sempurna, menuang sirup dengan presisi. Ia hafal setiap tahapan, setiap gerakan, setiap pelanggan. Rutinitas yang nyaris robotik.
"Aa Rangga, americano satu ya, less sugar, panasnya extra." Suara Teteh Ira, pelanggan setia yang selalu memesan americano panas walau cuaca Bandung terik, menyapa. Rambutnya diikat rapi, kacamata bertengger di hidungnya.
"Siap, Teteh Ira!" Rangga menjawab ramah, bibirnya menarik senyum tipis yang seringkali tidak sampai ke matanya. Ia sudah belajar bertahun-tahun bagaimana menyembunyikan kelelahan dan kehampaan di balik keramahan standar pelayanan.
Saat ia sibuk dengan pesanan Teteh Ira, telinganya menangkap percakapan yang datang dari meja pojok. Tiga anak muda seusianya, yang selalu tampil stylish dengan sneaker mahal dan hoodie bermerek, asyik mengobrol. Mereka adalah 'anak gaul' tipikal Bandung, tak pernah lepas dari gawai terbaru, bicara tentang hal-hal yang membuat Rangga merasa makin kecil.
"Eh, Bro, lu udah denger soal konsol Synapse VR yang baru itu belum? Gila, kayaknya bakalan jadi next big thing nih!" seru salah satu dari mereka, cowok berambut gondrong dicat blonde bernama Dio. Tangannya menari-nari di udara, seolah sedang memegang sesuatu yang tidak terlihat.
"Oh, yang itu? Yang harganya selangit itu, kan? Gue denger, dia pake teknologi sensor gerak yang beda banget. Bukan cuma VR biasa," sahut Bima, yang badannya lebih berisi, sambil menyeruput lattenya dengan santai.
Rangga, yang pura-pura sibuk mengelap permukaan konter yang sebenarnya sudah bersih, mendekatkan sedikit langkahnya. Ia sudah tahu dirinya seharusnya tidak mencuri dengar, tapi entah mengapa, kali ini topiknya terasa berbeda.
"Beda banget! Kata temen gue yang udah coba, itu konsol bisa ngerasain semua, Bro. Bener-bener full immersion. Kalau loncat di game, kita harus loncat beneran, badan kita ngangkat. Kalau mukul di game, ya harus mukul beneran, otot kerasa narik. Terus kalau di game manjat tebing, kabel-kabel konsolnya itu yang bikin badan kita ketarik, jadi kerasa manjat beneran! Bukan cuma visual, tapi fisik lo!" Dio menjelaskan dengan antusiasme yang jujur, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat mainan impian. "Gila, total banget imersinya! Lo kayak masuk ke dunia lain, bener-bener jadi karakternya."
Rangga mendadak lupa caranya mengelap. Tangannya terhenti. Pikirannya melayang. Full immersion? Merasakan semua? Loncat beneran? Itu bukan sekadar game. Itu seperti pintu menuju realitas lain, sebuah dunia di mana mungkin ia bisa menjadi seseorang yang berbeda dari Rangga si pelayan kafe.
"Tapi yang paling gila itu, turnamen Zero Point Survival-nya, Bro," lanjut Bima, suaranya sedikit melirih, seolah menyampaikan rahasia besar. "Hadiahnya itu lho. Kemarin gue liat iklannya di TikTok, ada banner gede banget. Puluhan juta! Bisa buat beli motor baru, atau DP rumah di perumahan yang lumayan!"
"Atau modal usaha, Bro!" sahut cewek satu-satunya di meja itu, Risa, dengan rambut ombre yang stylish. "Denger-denger, yang menang turnamen kemarin, langsung bisa buka kafe sendiri. Bayangin aja, cuma dari main game!"
Tawa pecah dari mereka bertiga. Tawa yang riang, lepas, seolah puluhan juta itu hanyalah uang saku harian yang bisa mereka hamburkan. Bagi Rangga, angka itu berdengung di kepalanya, menyingkirkan semua suara bising kafe dan jalanan. Puluhan juta. Selama ini, ia hanya berpikir tentang bagaimana cukup uang untuk membayar sewa kosan bulanan yang mencekik, atau membeli sebungkus nasi dan lauk seadanya agar perutnya tidak berteriak di tengah malam. Atau sekadar mengganti smartphone bututnya yang layarnya sudah retak di mana-mana. Puluhan juta adalah mimpi yang tak pernah berani ia bayangkan, sebuah kemewahan yang hanya ada di dongeng.
Namun, benih harapan itu sudah tertanam. Sebuah harapan yang begitu asing, begitu mustahil, namun entah mengapa terasa begitu memikat. Ia mencoba menepisnya. Mana mungkin ia, yang bahkan tidak punya smartphone bagus apalagi konsol game seharga puluhan juta, bisa ikut turnamen semacam itu? Ia kembali bekerja, mengantar pesanan dengan langkah gontai, berusaha mengusir angan-angan mustahil itu dari benaknya. Tapi bisikan tentang hadiah dan "imersi total" itu terus berputar seperti rekaman rusak di kepalanya.
Malam harinya, Bandung berubah wajah. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, mengusir bayang-bayang panjang. Namun, kemacetan justru semakin parah, menciptakan aliran cahaya merah dan putih yang tak berujung di sepanjang jalan. Rangga berganti seragam. Jaket delivery makanan yang sudah pudar warnanya, dengan logo aplikasi yang sedikit mengelupas, ia kenakan. Helm tua yang kacanya sudah buram ia pasang di kepala, dan motor bebeknya yang reyot—Honda Supra keluaran tahun 2000-an awal, yang sudah lebih dari satu dekade menjadi saksi bisu perjuangannya—siap mengantarkannya melintasi jalanan. Aroma kopi kini digantikan oleh bising knalpot yang memekakkan telinga, bau asap rokok yang menyengat dari pengendara di sebelahnya, dan kelembapan malam setelah seharian terik.
Ia melaju di antara celah-celah kemacetan yang padat, menghindari lubang-lubang jalan yang gelap dan genangan air. Sesekali ia mengumpat pelan di dalam hati saat ada angkot yang bermanuver sembarangan atau taksi daring yang berhenti mendadak tanpa sein. Punggungnya pegal karena seharian berdiri dan kini harus membungkuk di atas motor, matanya perih karena menembus lampu-lampu kendaraan yang silau dan polusi udara. Rasa lapar sudah lama menjadi teman setianya. Malam ini, ia hanya makan mi instan saat makan siang di kafe. Nanti malam, entah apa yang bisa ia makan dari sisa uang recehan yang ia simpan di saku jaketnya, hasil dari beberapa kali pengiriman.
Pukul sebelas malam, dengan tubuh remuk redam dan sisa-sisa tenaga yang tipis, Rangga tiba di kosannya. Sebuah bilik sempit berukuran 2x3 meter dengan dinding lembap yang mengelupas dan jendela yang menghadap langsung tembok tetangga. Udara di dalam terasa pengap, bercampur bau apek. Tidak ada foto keluarga di dinding, tidak ada ornamen pribadi yang menunjukkan bahwa ini adalah tempat tinggal seorang manusia. Hanya kasur tipis yang sudah kempes, meja belajar reot dengan tumpukan piring kotor di sudut, dan sepasang sandal jepit.
Kesepian adalah tirai tebal yang selalu menyelimuti Rangga setiap kali ia pulang. Tidak ada yang menunggunya, tidak ada yang menanyakan kabarnya, tidak ada yang peduli apakah ia sudah makan atau belum. Telepon genggamnya yang jadul hanya berisi nomor-nomor pelanggan dan teman kerja, jarang sekali ada pesan masuk. Ia merasa seperti robot, berputar dalam rutinitas kerja yang melelahkan, dari subuh hingga tengah malam, hanya untuk bertahan hidup. Perasaan tidak berharga dan tidak punya tujuan semakin sering menghantui di tengah keheningan malam, menjadi hantu yang paling menakutkan, jauh lebih menakutkan daripada kecoa yang sesekali melintas di lantai.
Saat ia berbaring di kasur tipisnya, perutnya bergemuruh hebat, dan rasa lelah membebani setiap sendi. Kilasan iklan di dunia maya yang tak sengaja ia lihat beberapa hari lalu kembali muncul dengan jelas di benaknya. Sebuah banner mencolok di salah satu situs berita online, menampilkan render tiga dimensi sebuah konsol futuristik dan tulisan besar yang berkedip-kedip: "Zero Point Survival - Turnamen Hadiah Puluhan Juta Rupiah! Rasakan Dunia Nyata di Genggaman Anda!" Gambar-gambar dari game itu—ledakan dahsyat, karakter yang berlari di reruntuhan, panah yang melesat tepat sasaran—begitu memukau, seolah menjanjikan sebuah petualangan yang tak pernah ia alami.
Rangga mendesah panjang. Itu mungkin hanya mimpi, sebuah fatamorgana di tengah gurun kehidupannya yang kering. Sebuah ilusi yang akan membuat ia semakin sakit hati jika terlalu lama dikejar. Namun, di tengah semua keputusasaan dan kelelahan itu, bisikan tentang "puluhan juta" dari obrolan di kafe tadi siang dan banner yang dilihatnya, mulai bergaung lebih keras. Suara Dio dan Bima terngiang, "Bisa buat beli motor baru, atau DP rumah!" Atau, pikir Rangga, bisa mengubah seluruh hidupnya. Sebuah harapan kecil yang terlalu berani untuk dipegang, namun terlalu manis untuk dilepaskan. Malam itu, di antara bising knalpot dan kelembapan kosan, sebuah tekad mulai terbentuk di dasar hatinya yang paling dalam. Ia akan mendapatkan Synapse VR itu.Bab ini sekarang sekitar 1500 kata dan sudah menggunakan panggilan "Aa" dan "Teteh". Bagaimana menurutmu? Apakah kita akan melanjutkan ke perjuangan Rangga mengumpulkan uang untuk konsol tersebut di bab berikutnya?
Tekad itu, yang terbentuk di tengah bising knalpot dan kesunyian kosan, terasa seperti bara api kecil di dasar hati Rangga. Bara itu, meski kecil, cukup untuk membakar rasa lelahnya. Puluhan juta. Sebuah angka yang sebelumnya hanya lelucon kini terasa seperti tujuan nyata, satu-satunya celah dari jurang kemiskinan dan kesepian. Ia akan mendapatkan Synapse VR itu, apa pun caranya.
Esok paginya, Rangga memulai "perang" pribadinya. Jam kerjanya di Kopi Sunyi ia maksimalkan, mengambil setiap shift tambahan yang tersedia. "Aa Rangga semangat banget hari ini," komentar Teteh Mira, rekan kerjanya yang jauh lebih senior, suatu sore. Teteh Mira menatapnya curiga, tak biasanya Rangga menunjukkan energi berlebih selain saat melayani pelanggan. Rangga hanya tersenyum tipis, menyimpan rapat-rapat alasan di balik semangatnya yang mendadak itu. Ia tak ingin ada yang bertanya atau mencoba menasehati, apalagi jika ada yang menertawakan impian mustahilnya. Setelah Kopi Sunyi tutup pukul sembilan malam, tanpa istirahat berarti, ia langsung berganti jaket delivery dan meluncur di atas motor bebeknya yang setia. Jalanan Bandung malam itu terasa lebih panjang, lebih dingin, dan lebih kejam dari biasanya, seolah mencoba menguji ketahanannya.
Setiap recehan yang ia dapatkan dari tip pelanggan kafe atau ongkos antar makanan, ia pisahkan dengan cermat. Uang sewa kosan dan pulsa seadanya adalah satu-satunya pengeluaran yang tidak bisa ia hindari. Untuk makan, ia mulai membatasi diri hingga ekstrem. Nasi dengan kerupuk, atau sesekali telur dadar, menjadi menu utamanya yang seringkali hanya sekali sehari. Kadang, jika ia beruntung, ia bisa mengandalkan sisa makanan dari kafe yang tidak habis atau mi instan yang ia seduh dengan air panas dari dispenser. Perutnya sering keroncongan, perih menusuk, tapi bayangan konsol futuristik itu seperti sihir, membuat rasa lapar dan lelahnya sedikit teralihkan. Setiap gigitan yang ia tahan, setiap tegukan air dingin yang ia minum untuk mengisi perut, adalah investasi untuk mimpinya.
Dua minggu pertama adalah neraka. Tubuhnya belum terbiasa dengan beban kerja gila-gilaan, dan kurangnya nutrisi serta istirahat memperparah keadaan. Punggungnya serasa remuk seperti diremukkan batu, kakinya kebas dan mati rasa karena terus berdiri dan mengayuh motor, dan kantung matanya menghitam seperti panda, membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Beberapa kali ia nyaris ketiduran saat menunggu pesanan di pinggir jalan, helmnya nyaris terantuk setang motor. Beruntung, klakson pengendara lain yang tak sabak membangunkannya, menariknya kembali dari ambang batas kesadaran. Rasa tidak percaya diri yang biasanya membuatnya menyendiri dan pasrah, kini beradu dengan tekad baru ini. Ia tidak ingin gagal. Ia tidak bisa gagal. Tidak ada pilihan lain selain terus maju.
Di sela-sela pekerjaannya, saat Kopi Sunyi sedang sepi atau menunggu pesanan antar di pinggir jalan, Rangga mulai mencari informasi. Bukan hanya dari obrolan pelanggan, tapi dari smartphone bututnya yang layarnya retak—hadiah dari pelanggan yang kasihan. Ia membuka browser, mencari "Synapse VR harga" dan "Zero Point Survival turnamen". Informasi yang ia temukan membuat semangatnya bergelora sekaligus ciut.
Harga konsol itu... benar-benar di luar nalar. Angka yang tertera di situs penjualan online itu setara dengan gaji bersihnya selama berbulan-bulan, bahkan setahun lebih jika ia tidak punya kerja sampingan. Ia menghela napas panjang, menghitung ulang setiap rupiah yang ia miliki, dan membandingkannya dengan target yang begitu menjulang. Butuh waktu. Sangat lama. Sebuah perhitungan kasar menunjukkan ia membutuhkan setidaknya dua bulan penuh, dengan kondisi makan seminimal mungkin dan bekerja nyaris non-stop, untuk mencapai jumlah itu. Tapi ia juga membaca tentang turnamen yang akan datang. Salah satu turnamen besar Zero Point Survival akan diselenggarakan dalam tiga bulan ke depan. Cukup waktu, pikirnya, jika ia benar-benar gila-gilaan menabung dan tak menyentuh uang sepeser pun untuk hal tak penting.
Ada pula forum online yang membahas Synapse VR. Ia membaca thread demi thread di forum tersebut, matanya terpaku pada setiap komentar. Para pemain, kebanyakan dengan nama samaran aneh dan avatar digital yang keren, berbagi pengalaman mereka.
"Gila, Bro! Gue kemarin loncat dari gedung di map Reruntuhan Kota, beneran kerasa melayang terus thud! jatuh. Lutut gue ngilu sampe sekarang, padahal cuma di game!" tulis salah satu pengguna.
"Jangan ngomongin thud! Gue pernah kena pukul bot gorila di Primal Scavenge, beneran sakit coy! Rasanya kayak ditonjok beneran. Abis main, badan gue pegal semua," timpal yang lain.
"Sumpah, gue nangis pas mati di game. Itu rasanya nyata banget, bro. Kayak beneran kehilangan sesuatu," komentar yang lain, diikuti banyak emotikon persetujuan.
Setiap cerita tentang sensasi fisik yang begitu nyata itu membuat Rangga merinding sekaligus penasaran. Ia yang selama ini hidup dengan perasaan hampa dan mati rasa, yang seringkali merasa tubuhnya hanyalah wadah bagi eksistensinya yang tak berarti, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang bisa ia rasakan secara intens. Rasa sakit yang nyata, adrenalin yang memompa, ketakutan yang mencekam, atau mungkin kemenangan yang nyata? Ini bukan lagi sekadar hadiah uang yang bisa mengubah hidupnya, tapi sebuah janji akan pengalaman, sebuah kehidupan yang lebih hidup dari yang pernah ia rasakan. Ini adalah kesempatan untuk benar-benar merasakan sesuatu.
Dua bulan berlalu, terasa seperti dua tahun yang tak berujung. Setiap hari adalah perjuangan melawan lelah yang menghimpit, lapar yang menyiksa, dan godaan untuk menyerah yang datang silih berganti. "Buat apa sih kerja capek-capek gini, toh ujungnya cuma buat makan sama kosan?" bisikan itu sering muncul. Tapi ia selalu melawan, membayangkan box Synapse VR yang menjulang tinggi, dan kostum yang menggantung di dalamnya. Jemarinya kapalan karena terlalu sering memegang setang motor dan kain lap kafe yang basah. Berat badannya sedikit turun, pipinya cekung, tapi di matanya ada binar yang sebelumnya tidak pernah ada. Binar harapan, binar tekad. Saldo di rekening kecilnya, yang biasanya selalu kosong, kini perlahan tapi pasti bertambah, menunjukkan progress dari setiap pengorbanan.
Puncaknya tiba di suatu pagi yang mendung, namun terasa cerah bagi Rangga. Dengan jantung berdegup kencang, Rangga menghitung uang di amplop lusuhnya. Ditambah dengan sisa gajinya dari kafe, ia akhirnya memiliki jumlah yang cukup. Angka itu, yang ia anggap mustahil, kini ada di genggamannya. Tangannya sedikit gemetar saat ia memegang tumpukan lembaran rupiah itu, merasa seolah memegang masa depan. Ini adalah hasil dari setiap tetes keringat, setiap jam tanpa tidur, setiap gigitan lapar yang ia abaikan. Ini adalah tiketnya.
Tanpa membuang waktu, setelah shift paginya usai—ia bahkan meminta izin untuk pulang lebih awal dari biasanya—Rangga langsung menuju toko elektronik besar di pusat kota. Ia tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semewah itu sebelumnya. Lampu-lampu terang menyilaukan matanya, dan deretan gawai mahal berjejer rapi di etalase kaca. Pengunjung lain tampak santai, beberapa menguji coba laptop terbaru, yang lain sibuk membandingkan kamera ponsel. Rangga merasa seperti alien di antara mereka, dengan pakaian sederhananya dan aroma kafe yang mungkin masih melekat di tubuhnya. Rasa tidak percaya dirinya kembali menyeruak, membuatnya merasa kecil dan lusuh.
Ia menemukan bagian game. Deretan konsol terbaru yang ramping, televisi layar lebar yang menampilkan grafik game yang memukau. Dan di sudut, terpajang dengan megah, sebuah display khusus untuk Synapse VR. Konsol itu sendiri tampak seperti sebuah box raksasa yang menjulang tinggi, setinggi lemari pakaian, terbuat dari logam hitam mengkilap dan panel-panel bercahaya kebiruan. Di dalamnya, sebuah kostum futuristik berwarna abu-abu gelap menggantung kokoh, ditopang oleh jalinan kabel-kabel tebal dan kuat yang terhubung ke setiap sendi—pergelangan tangan, siku, bahu, pinggul, lutut, hingga pergelangan kaki. Kostum itu bukan sekadar pakaian, melainkan sistem sensor canggih yang akan menopang dan menggerakkan tubuhnya, mentransfer setiap aksi fisik ke dalam game. Persis seperti yang diceritakan Dio, bahkan lebih mengagumkan.
Jantung Rangga berdebar kencang, iramanya mengalahkan bising di dalam toko. Ini dia.
Seorang pramuniaga menghampirinya, tersenyum ramah dan profesional. "Ada yang bisa saya bantu, Aa?"
Rangga menelan ludah, suaranya sedikit tercekat, tapi ia menguatkan diri. "Saya... saya mau beli Synapse VR ini," katanya, berusaha terdengar mantap, menunjuk pada box raksasa itu.
Pramuniaga itu terkejut sesaat, alisnya sedikit terangkat, mungkin karena penampilan Rangga yang sederhana kontras dengan harga barang yang ia tunjuk. Namun, profesionalisme menguasai. Ia tersenyum lagi. "Tentu, Aa. Pilihan yang bagus. Kami akan bantu prosesnya. Mohon siapkan ID Anda untuk registrasi dan setup awal."
Rangga menyerahkan uang tunai yang sudah ia kumpulkan dengan susah payah. Proses registrasi terasa lambat, setiap detiknya penuh ketegangan. Ia takut ada masalah, takut mimpinya lenyap begitu saja. Petugas itu sempat bertanya alamat kosan Rangga, dan menjelaskan bahwa karena ukuran konsol yang masif, unit utamanya akan diantar dan dipasang langsung oleh tim teknisi. Akhirnya, pramuniaga itu menyerahkan sebuah kotak sedang berisi perangkat pendukung Synapse VR—helm VR, sarung tangan sensor, dan instruksi manual—serta jadwal pemasangan.
Perjalanan pulang ke kosan terasa berbeda. Berat kotak di tangannya, meski melelahkan, terasa seperti beban yang manis, beban sebuah janji. Bau asap knalpot dan bising jalanan seolah tak berarti. Di dalam dadanya, ada denyutan kegembiraan yang asing, sebuah perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, Rangga punya tujuan. Sebuah tujuan yang akan membawanya masuk ke dunia lain, ke dunia Zero Point Survival.Bab Dua yang sudah diperpanjang ini kini memiliki sekitar 1650 kata. Saya telah menambahkan lebih banyak detail tentang perjuangan fisik dan mental Rangga, pengamatan sosialnya, serta kekagumannya pada konsol. Penjelasan tentang ukuran dan mekanisme konsol juga sudah diintegrasikan lebih baik.
Apakah Bab Dua ini sudah sesuai dengan yang kamu inginkan? Kita bisa melanjutkan ke Bab Tiga: Momen Rangga akhirnya mencoba konsol dan masuk ke dunia game!
Dua hari kemudian, sore yang terik di kosan sempit Rangga terasa lebih cerah dari biasanya. Cahaya matahari senja menembus jendela kecilnya, memantul di permukaan logam hitam konsol yang kini mendominasi seisi ruangan. Suara ketukan di pintu menariknya dari lamunan. Di ambang pintu berdiri dua teknisi berjaket biru dongker, membawa box konsol Synapse VR yang jauh lebih besar dari yang Rangga bayangkan. Benda itu menjulang tinggi, nyaris menyentuh langit-langit kosan, dan memenuhi sebagian besar ruang sempit itu. Aromanya masih seperti barang baru, perpaduan logam dingin dan plastik canggih yang menusuk hidung Rangga.
"Permisi, Aa Rangga? Ini unit Synapse VR pesanan Anda," kata salah satu teknisi ramah, meskipun ekspresinya sedikit terkejut melihat kondisi kosan Rangga yang kontras dengan harga konsol yang mereka bawa. "Kami akan pasang di sini, ya?"
Rangga mengangguk cepat, jantungnya berdegup tak karuan. Ia menyingkirkan piring-piring kotor dan meja reotnya ke sudut, memberikan ruang seadanya untuk pemasangan. Prosesnya cukup cepat dan efisien. Kabel-kabel tebal yang sebelumnya menggantung di dalam display toko kini terhubung ke unit utama konsol, dan kostum futuristik berwarna abu-abu gelap itu tergantung rapi di tengah box, menunggu untuk dikenakan. Sebuah sistem pendingin canggih yang terpasang di dalamnya mengeluarkan hembusan angin sejuk, sedikit mengurangi gerah di dalam kosan.
"Oke, Aa. Ini sudah terpasang dan siap digunakan," jelas teknisi itu sambil menyerahkan helm VR dan sarung tangan sensor. "Untuk keamanan, pastikan Anda berdiri tegak di tengah kostum dan ikuti instruksi yang muncul di layar helm. Konsol ini akan menyesuaikan posisi dan ukuran tubuh Anda secara otomatis, jadi tidak perlu khawatir." Setelah memberikan beberapa instruksi singkat mengenai perawatan dasar dan kontak darurat, kedua teknisi itu pun pergi, meninggalkan Rangga sendirian dengan raksasa metalik di dalam bilik kosannya.
Ia terdiam, menatap box besar itu. Ini nyata. Semua pengorbanannya, rasa lapar, kurang tidur, dan kelelahan yang memuncak, kini terbayar di hadapannya. Sebuah gerbang menuju dunia lain, yang mungkin akan memberinya arti.
Tangannya gemetar saat ia membuka resleting kostum. Bahannya terasa halus namun kuat, seperti kulit kedua yang siap membalut tubuh. Ia melangkah masuk, merasakan kain melilit tubuhnya. Kabel-kabel kokoh di setiap sendi—pergelangan tangan, siku, bahu, pinggul, lutut, hingga pergelangan kaki—secara otomatis mengencang, menopang tubuhnya di tengah box. Sensasinya aneh, seperti tergantung di udara, namun tetap stabil dan seimbang. Ia mencoba menggerakkan tangan, dan sensor merespons dengan halus, seolah tubuhnya sedang diukur dan dikalibrasi oleh teknologi canggih.
Kemudian, ia mengenakan sarung tangan sensor. Telapak tangannya terasa bersentuhan dengan material yang sedikit dingin, jari-jarinya bebas bergerak. Terakhir, dan yang paling penting, helm VR ia pasang. Cahaya putih terang langsung memenuhi pandangannya, sejenak membuatnya buta.
Lalu, perlahan, cahaya itu mereda, digantikan oleh antarmuka digital yang bersih dan futuristik. "Selamat datang di Synapse VR," sebuah suara sintetis yang menenangkan menyapa. Di hadapannya, opsi untuk memilih game muncul. Tanpa ragu, Rangga mengarahkan pandangannya ke ikon Zero Point Survival. Sebuah sentuhan kecil pada sarung tangan, dan ia telah memilihnya.
Layar berubah, menampilkan loading screen Zero Point Survival. Grafik game sangat realistis, bahkan di layar pemuatan. Sebuah lingkaran berputar di tengah, dengan tulisan "Memuat Data Lingkungan..." dan "Menyesuaikan Parameter Tubuh..."
Rangga menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang. Ini dia.
Lobi dan Pertemuan Tim
Tampilan berubah lagi, dan Rangga menemukan dirinya berada di sebuah lobi digital yang luas dan modern. Lantainya mengkilap dengan refleksi cahaya biru neon, dan di sekelilingnya, puluhan karakter game dengan wajah asli pemain bergerak bebas, menunggu matchmaking. Beberapa bercanda, beberapa sibuk memeriksa perlengkapan virtual mereka. Suara obrolan dan efek suara game berbaur menjadi gumaman latar yang ramai, menciptakan suasana yang hidup dan tegang.
Rangga, yang di game bernama Ren, berdiri canggung di sudut lobi. Ia belum terbiasa dengan sensasi kostum dan kebebasan bergerak di ruang virtual ini. Ia melihat karakternya sendiri—sosok Ren yang ternyata adalah refleksi digital dari wajah Rangga yang letih, meskipun sedikit lebih bersih dan lebih tegar. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mengangkat kaki, dan semua gerakan itu terasa terjemah sempurna. Ini sungguh menakjubkan.
Setelah beberapa saat, sistem menempatkannya ke dalam sebuah tim. Sebuah panel transparan muncul di hadapannya, menampilkan avatar empat anggota tim lainnya. Tiga pria dan satu wanita.
"Halo, tim!" sebuah suara energik menyapa. Itu berasal dari avatar wanita, yang tampak sangat percaya diri. Wajahnya terlihat familiar, seperti sering muncul di media sosial, dengan rambut dikepang dan mata yang tajam. Dialah Aisha.
"Selamat datang di Zero Point Survival. Aku Aisha, pimpinan tim kita untuk match ini. Ada pertanyaan sebelum mulai?"
Ren sedikit ragu. Ia membuka mulutnya. "Uhm... aku... aku Ren. Ini pertama kalinya aku main game ini." Suaranya terdengar canggung, bahkan di dunia virtual.
Tawa kecil terdengar dari salah satu anggota tim pria. "Hahaha, newbie ya, Bro? Semoga nggak jadi beban tim, deh," celetuknya dengan nada bercanda yang sedikit merendahkan. Itu Dio, si sniper dari obrolan sebelumnya.
Rangga merasakan pipinya sedikit memanas, bahkan di dalam helm. Rasa tidak percaya diri itu, yang selalu mengejarnya di dunia nyata, kini mencoba menyelinap ke dunia virtual ini. Namun, Aisha langsung menimpali.
"Sudah, Dio. Semua orang pernah jadi newbie," kata Aisha, suaranya tegas namun ramah. "Ren, jangan dengarkan mereka. Aku akan membimbingmu. Game ini memang beda. Ingat, kalau kamu loncat di game, kamu harus loncat beneran di tempat. Kalau mukul, ya mukul beneran. Kabel-kabel ini akan bantu kamu merasakan gravitasi, tekanan, dan bahkan benturan. Jadi, kalau ada yang bilang sakit, itu karena tubuhmu merasakannya. Paham?"
Ren mengangguk, meskipun tidak yakin apakah Aisha bisa melihatnya. "Paham, Teteh Aisha," jawabnya, sedikit lebih percaya diri.
"Bagus. Sebentar lagi match akan dimulai. Kita akan ke map Hutan Belantara, mode Quantum Blitz," kata Aisha. "Strateginya sederhana: kita drop di titik A, cari loot cepat, dan bergerak menuju zona aman. Tetap dekat denganku, ya. Aku akan ajarkan cara kerjanya sambil jalan."
Sebuah hitungan mundur muncul di panel. 5... 4... 3... 2... 1...
Momen Pendaratan dan Pertarungan Awal
Tiba-tiba, ia merasakan dorongan kuat di kakinya, seolah didorong dari landasan peluncur. Angin kencang langsung menerpa wajahnya, masuk melalui celah-celah helm, terasa nyata dan dingin berkat kipas konsol. Ia merasakan sensasi jatuh bebas yang begitu meyakinkan, membuat perutnya bergejolak dan tangannya secara refleks mencengkeram udara. Tubuhnya merespons sepenuhnya. Kipas pendingin di dalam konsol bekerja maksimal, menciptakan hembusan angin yang seolah-olah ia benar-benar terjun dari ketinggian ribuan meter.
Pemandangan di bawahnya melesat cepat: pepohonan lebat, puncak-puncak bukit, dan sungai yang berkelok-kelok. Ini adalah hutan belantara, map yang ia pilih. Sensasi mendarat begitu mulus, nyaris tanpa guncangan, membuat lututnya sedikit lemas karena sisa adrenalin. Ia berdiri tegak, kakinya merasakan tekstur tanah lembap yang sedikit lunak, aroma daun-daun basah dan tanah gembur memenuhi indra penciumannya. Matahari menembus celah dedaunan rimbun, menciptakan bintik-bintik cahaya di tanah. Grafisnya begitu nyata, sampai ia harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah sebuah game.
"Oke, tim! Aku Aisha, pimpinannya. Kita cari loot di sekitar sini, prioritaskan senjata dan amunisi. Tetap dekat dan jangan menyebar!" Suara Aisha kembali terdengar, kali ini lebih dekat. Ia menoleh. Di sampingnya, keempat anggota timnya sudah berdiri, menatap sekeliling dengan waspada. Tiga pria itu adalah Dio si Sniper, Guntur si Tank, dan Bara si Trapper. Ren adalah Support.
Ren—nama karakternya di game—melangkah maju, kakinya merasakan berat setiap langkah di tanah yang sedikit licin. Setiap gerakan tubuhnya, dari langkah kaki hingga ayunan tangan, diterjemahkan sempurna oleh sensor kabel Synapse VR. Ia mengikuti Aisha, bergerak gesit di antara semak belukar dan pepohonan tumbang, matanya menjelajahi sekeliling, mencari sesuatu yang berguna. Rasa percaya diri yang selalu absen di dunia nyata, kini entah mengapa mulai tumbuh, meskipun perlahan. Di sini, ia adalah Ren, bukan Rangga si pelayan kafe yang kesepian. Ia adalah seorang prajurit di dunia baru ini, dan ada seseorang yang mempercayainya, bahkan jika itu hanya untuk satu match game.
Beberapa menit kemudian, Aisha menemukan sebuah pistol. "Sini, Ren! Ini untukmu," katanya sambil melemparkannya. Ren menangkapnya. Sensasi dinginnya logam pistol di tangannya, beratnya yang pas, dan tekstur grip yang sedikit kasar, semuanya terasa begitu asli, begitu konkret. Ini bukan sekadar controller di tangan; ini adalah sebuah senjata yang terasa nyata, sebuah perpanjangan dari dirinya di dunia baru ini. Ia mengangkatnya, membidik ke sebuah pohon, dan merasakan berat pistol saat tangannya sedikit bergetar.
Tiba-tiba, suara geraman yang dalam dan primal memecah keheningan hutan. Bukan tembakan, tapi sesuatu yang lebih primitif dan mengancam. Dari balik semak belukar yang lebat, seekor serigala buas dengan bulu abu-abu kusam dan mata merah menyala melompat keluar, langsung menyerang Indra—salah satu anggota tim pria yang kurus—yang kini meringis kesakitan. Adrenalin Ren melonjak drastis. Ia merasakan ketakutan yang nyata merayapi setiap sendi tubuhnya, seolah bahaya itu benar-benar mengancam jiwanya di dunia nyata. Jantungnya berpacu kencang, napasnya tertahan di tenggorokan. Ini bukan cuma bot hewan; ini adalah ancaman fisik yang membayangi nyawanya di dalam game, dan tubuhnya bereaksi seolah itu benar-benar nyata.
Serigala itu menggeram, taringnya menganga, dan melompat ke arah rekan satu timnya. Rangga, atau lebih tepatnya Ren, merasa panik sesaat. Pistol di tangannya terasa berat, dan ia tidak yakin harus berbuat apa. Ia mengangkat pistolnya, tapi tangannya terlalu gemetar untuk membidik dengan benar.
"Ren! Jangan diam saja! Kamu Support! Cepat berikan Heal Pack ke Indra!" Suara Aisha terdengar nyaring di telinganya.
Ren mengerjap. Support? Heal Pack? Ia sama sekali tidak mengerti. Panel interface kecil melayang di sudut pandangannya, menampilkan ikon-ikon yang tidak ia kenali. Sementara ia kebingungan, serigala itu berhasil mencakar lengan Indra, yang kini meringis kesakitan.
"Cepat! Tarik pistolmu, tekan tombol interface di sarung tanganmu! Pilih ikon plus hijau itu!" teriak Aisha lagi, suaranya mengandung sedikit frustrasi. Aisha sendiri sudah mengeluarkan sebuah senapan serbu dan mulai menembaki serigala itu dengan rentetan peluru. DOR! DOR! DOR! Serigala itu sempat terhuyung, tapi belum tumbang.
Ren dengan cepat menarik pistolnya, jari-jarinya meraba-raba area pergelangan tangan sarung tangan sensornya. Ia menemukan tombol kecil yang Aisha maksud, menekannya, dan sebuah menu holografik kecil muncul di dekat tangan kirinya. Ia melihat beberapa ikon, termasuk ikon plus hijau yang Aisha sebutkan. Dengan gerakan canggung, ia mengarahkan tangannya dan "menyentuh" ikon itu. Sebuah kotak kecil berwarna hijau, bertuliskan 'Heal Pack', muncul di telapak tangannya, terasa nyata dan dingin.
"Sekarang lemparkan ke Indra!" perintah Aisha.
Ren mengarahkan kotak itu ke arah Indra, yang masih memegangi lengannya yang terluka. Ia melemparnya dengan gerakan kikuk. Kotak itu melesat dan mendarat di kaki Indra. Seketika, cahaya hijau berpendar dari kotak itu, menyelimuti tubuh Indra. Indra menarik napas lega. "Hahh... terima kasih, Ren! Lumayan," gumamnya, meskipun masih sedikit pucat.
"Bagus, Ren!" Aisha berteriak, suaranya bangga. Ia terus menembaki serigala itu, yang kini tampak lebih agresif setelah melukai Indra dan pulihnya Indra berkat Ren. Dua anggota tim lainnya, Guntur dan Bara, juga mulai menembak. Mereka bergerak lebih lincah, seperti sudah terbiasa dengan tekanan ini.
"Dengar, Ren," Aisha menjelaskan di tengah baku tembak, suaranya tetap tenang meski situasinya genting. "Di Zero Point Survival ini, ada peran yang berbeda. Aku Fighter, tugas utama menyerang dan jadi garis depan. Dio, dia Sniper, dia bisa melihat target jauh dengan akurat dan memberikan tembakan penutup. Satunya lagi, Guntur, itu Tank, dia punya pertahanan kuat untuk menahan serangan. Bara itu Trapper, dia ahli memasang perangkap dan menyergap. Dan kamu, Ren, kamu adalah Support. Peranmu itu menyembuhkan teman, memberikan buff atau debuff ke musuh, dan kadang bisa pasang trap. Setiap peran itu penting, Ren. Kita butuh semua untuk bertahan sampai akhir."
Aisha kemudian melompat mundur untuk menghindari terjangan serigala, lalu melayangkan tendangan memutar yang keras ke kepala serigala. Tendangan itu terasa nyata, Ren bahkan bisa mendengar desiran udara dan bunyi hantaman yang nyata. Serigala itu akhirnya roboh, tergeletak tak berdaya.
Rangga menarik napas lega. Tubuhnya masih bergetar, keringat membasahi dahinya di dalam helm. Ia telah melakukan sesuatu yang berarti. Ia telah membantu.
"Oke, aman," kata Aisha, menyarungkan senjatanya. Ia menoleh ke arah Ren. "Kamu lumayan untuk newbie yang panik. Lain kali, gerak lebih cepat. Tapi setidaknya kamu tahu cara menyembuhkan. Sekarang, mari kita lanjutkan."
Strategi dan Pertarungan di Hutan Belantara
Mereka melanjutkan perjalanan menembus rimbunnya hutan belantara. Aisha memimpin dengan sigap, matanya selalu waspada mengamati sekeliling. Dio, si sniper, sesekali berhenti, mengangkat senapannya, dan menembak sesuatu di kejauhan yang bahkan Ren tak bisa lihat. DOR! Suara tembakan itu begitu realistis, membuat telinga Ren berdenging.
"Bagus, Dio! Itu satu scout musuh tumbang," puji Aisha. "Bara, periksa jejak kaki di sana. Guntur, cover sisi kanan!"
Jalan yang mereka lewati dipenuhi reruntuhan pohon tumbang, akar-akar besar yang menjalar, dan semak-semak lebat, sempurna untuk bersembunyi atau menyergap. Ren merasakan tekstur kerikil kecil di bawah sepatunya, dan suara renyah daun-daun kering yang ia injak terdengar begitu alami, membuat ia merasa seolah-olah sedang bergerak di hutan sesungguhnya. Mereka bergerak cepat, mengais-ngais di antara semak dan reruntuhan, mencari loot yang lebih baik. Ren menemukan beberapa amunisi tambahan dan sebuah medkit besar—perlengkapan yang Aisha bilang penting untuk support.
"Aaisha, aku lihat pergerakan di pukul tiga! Dua orang, sedang melaju cepat di arah selatan," suara Dio terdengar tajam. Ia pasti sudah menemukan posisi pengintaiannya di atas pohon.
"Oke, tim, siaga!" Aisha berbisik, suaranya kini penuh ketegangan. Ia merunduk, bersembunyi di balik sebuah pohon beringin tua yang akarnya menjalar. Ren dan Guntur segera mengikutinya. Pohon itu terasa kasar di punggung Ren, teksturnya begitu nyata. Ia bisa merasakan kelembapan tanah yang meresap di sepatunya.
Suara tembakan dari kejauhan, DOR! DOR! DOR!, terdengar samar-samar. Disusul oleh balasan tembakan yang lebih sporadis. "Bukan tim kita," gumam Guntur, matanya menyapu sekeliling. "Itu pasti tim lain yang sedang bertarung dan mungkin menarik perhatian musuh lain."
Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru dan ranting patah terdengar semakin dekat, bukan dari arah yang Dio sebutkan. Ini dari depan mereka!
"Musuh di depan! Enam meter! Tiga orang!" teriak Guntur.
Secepat kilat, tiga sosok muncul dari balik semak. Mereka juga bersenjata api, tampilan mereka menunjukkan mereka adalah pemain berpengalaman. DOR! DOR! DOR! DOR! Rentetan peluru melesat. Ren merasakan desingan angin yang tajam di dekat telinganya. Rasa kaget dan takut itu nyata, membuat jantungnya berdebar sangat kencang. Ia segera merunduk, menempel erat di belakang Guntur yang kekar.
"Guntur! Tahan mereka! Dio, tembak headshot musuh yang di kanan!" teriak Aisha. Ia sendiri sudah mengangkat senapan serbu dan menembak balik dengan presisi mematikan.
Salah satu musuh tumbang. Tapi musuh lainnya berhasil menembak Guntur.
"AARGH!" Guntur berteriak, suaranya mengandung rasa sakit yang begitu nyata. Ia terhuyung, berlutut, dan memegangi bahunya. Darah virtual berwarna merah terang menyebar di kostumnya.
"REN! Guntur kena! Cepat heal dia! Aku akan serang yang di kiri!" perintah Aisha, suaranya kini benar-benar mendesak, hampir berteriak.
Ren merasakan panik itu lagi, tapi kali ini ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengeluarkan Heal Pack dari interfacenya. Kotak hijau itu terasa dingin di tangannya. Ia mengarahkan dan melemparnya ke Guntur. Sinar hijau memancar, dan Guntur kembali berdiri tegak, lukanya menghilang.
"Terima kasih, Ren! Syukurlah ada kamu!" Guntur berseru, suaranya lega, dan ia langsung membalas tembakan ke arah musuh.
Suara tembakan berdesing tanpa henti. Peluru-peluru virtual menghantam pohon, menimbulkan serpihan kayu yang beterbangan. Ren melihatnya, merasakan getarannya. Ini adalah perang yang sangat nyata. Ia bergerak, mencoba bersembunyi di balik pohon yang lebih besar, namun matanya tetap fokus pada timnya.
"Satu lagi tumbang!" teriak Dio dari kejauhan, setelah suara tembakan snipernya memecah suasana dengan akurasi mematikan.
Tapi, tiba-tiba, sebuah tembakan mematikan berhasil menembus tubuh Bara, anggota tim mereka yang Trapper. Bara jatuh tersungkur. "Aduh! Gue kena! Parah!" teriaknya, suaranya penuh rasa sakit dan frustrasi.
"Bara jatuh! Ren! Cepat ke Bara! Dia perlu penyembuhan!" perintah Aisha, suaranya keras. "Guntur, tahan sisanya! Dio, cari posisi musuh yang menembak Bara!"
Ren tidak berpikir dua kali. Ia melihat posisi Bara yang tergeletak di tanah, hanya beberapa meter darinya, tapi di area yang terbuka. Ia tahu itu berbahaya. Namun, instingnya, yang Aisha sebut "insting support", muncul. Ia melangkah maju, merasakan berat setiap langkahnya, kakinya menerjang semak-semak kecil. Suara daun kering terinjak di bawah kakinya terdengar jelas, seperti lonceng alarm yang memanggil musuh. Setiap serat ototnya menegang saat ia berlari.
Ia mencapai Bara. Tubuh Bara tergeletak kaku, wajahnya pucat pasi di balik helm virtual. "Ren... cepat... aku critical..." bisik Bara, suaranya nyaris tak terdengar.
"Ren, cepat seret dia ke belakang pohon! Jangan heal di tempat terbuka!" teriak Aisha, suaranya serak karena terus berteriak di tengah baku tembak.
Ren segera membungkuk. Ia memegangi bahu Bara. Ia merasakan berat tubuh Bara yang nyata, sebuah beban yang harus ia seret. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, ia mulai menggusur Bara, menyeretnya perlahan di atas tanah yang lembap, menuju balik pohon besar yang bisa memberikan perlindungan. Otot-otot lengannya terasa seperti terbakar, betisnya menegang. Keringat membasahi seluruh tubuhnya. Ia bisa merasakan tarikan kabel-kabel Synapse VR yang membantunya mengangkat dan menyeret beban itu, mensimulasikan beratnya tubuh manusia.
Suara tembakan musuh terus berlanjut, melesat melewati mereka, menghantam batang pohon di dekatnya, menimbulkan serpihan kulit pohon. Setiap desingan peluru membuat Rangga menahan napas, merinding. Ini bukan hanya tentang menang atau kalah, ini tentang bertahan hidup, tentang menyelamatkan teman, bahkan jika itu hanya di dunia virtual.
Akhirnya, dengan napas terengah-engah dan tubuh gemetar, Ren berhasil menyeret Bara ke balik perlindungan pohon. Cepat-cepat, ia mengambil Heal Pack lagi dan menggunakannya pada Bara. Cahaya hijau menyelimuti tubuh Bara, dan Bara menghela napas lega.
"Fuh... terima kasih, Ren. Lo hebat," Bara menghela napas, suaranya sedikit pulih. "Nggak sia-sia ada support kayak lo."
Aisha mendekat, senapannya masih siap. "Bagus, Ren! Gerakan yang bagus. Aku tahu ini berat, tapi kamu berhasil," katanya, menepuk bahu Ren. Tepukan itu, bahkan di dunia virtual, terasa meyakinkan. "Sekarang, kita harus selesaikan ini."
Penjarahan dan Pergerakan Malam
Pertarungan pun usai. Tim mereka berhasil menumbangkan musuh yang tersisa, tiga orang tergeletak tak berdaya di tanah. Aisha memberi isyarat. "Oke, tim, cepat jarah mereka! Ambil apa pun yang berguna. Kita butuh suplai."
Guntur dan Dio segera bergerak menuju tubuh-tubuh yang tumbang. Ren mengikuti, rasa canggungnya sedikit berkurang. Ia melihat Guntur membungkuk, tangannya bergerak cepat di atas tubuh musuh. Sebuah panel kecil muncul, menampilkan daftar item yang bisa diambil. Guntur mengambil amunisi, granat, dan sebuah vest pelindung yang lebih baik. Dio juga menemukan senapan assault yang lebih canggih.
"Lihat ini, Ren!" Dio berseru, tangannya bergerak cepat menjamah tubuh musuh. "Mereka punya banyak Medkit level tinggi. Ambil sebagian. Ini tugasmu sebagai support."
Ren membungkuk di samping tubuh musuh yang sudah tak bergerak. Ia merasakan dinginnya tanah dan kekakuan tubuh virtual di bawah sentuhannya. Sebuah interface holografik muncul, menampilkan item-item yang tersisa: Medkit, amunisi, dan beberapa item konsumsi lainnya. Ia mengambil Medkit dan Energy Drink sebanyak yang bisa ia bawa, merasakan berat virtual item-item itu di inventarisnya. Setiap item yang diambil, ada sensasi nyata seperti ia benar-benar memasukkannya ke dalam saku atau ranselnya. Ini adalah naluri bertahan hidup yang baru ia pelajari: setiap lawan yang jatuh adalah kesempatan untuk bertahan lebih lama.
Rimba kembali hening, kecuali suara napas mereka yang terengah-engah dan kicauan burung yang kembali terdengar, seolah tak ada yang terjadi. Ren menatap teman-teman timnya, melihat wajah asli mereka di balik avatar game. Mereka saling mengangguk, berbagi rasa lega. Untuk pertama kalinya, Rangga merasakan ikatan dengan orang lain. Bukan sekadar pelanggan di kafe, atau teman kerja yang sesekali bertegur sapa. Ini adalah timnya.
Cahaya matahari perlahan meredup, digantikan oleh temaram senja di dalam hutan. Langit virtual di atas mereka mulai berubah warna menjadi oranye, kemudian ungu gelap, dan akhirnya hitam pekat. Suara jangkrik mulai terdengar bersahutan, dan desir angin di antara dedaunan terasa lebih dingin. Ren merasakan dingin itu, membuat bulu romanya meremang. Mereka harus menyalakan lampu kecil di helm untuk melihat jalan, menciptakan lingkaran cahaya redup di sekitar mereka.
"Oke, tim, kita harus cari tempat aman untuk bertahan malam ini," perintah Aisha, suaranya lebih tenang sekarang. "Pemain lain pasti juga mencari perlindungan. Kita harus lebih cerdik."
Mereka bergerak menelusuri hutan yang kini mulai diselimuti kegelapan. Suara langkah kaki mereka yang menginjak dedaunan kering terdengar lebih jelas di keheningan malam. Setiap bayangan terasa seperti ancaman. Ren bergerak lebih dekat ke Guntur, waspada.
"Guntur, cek gua di depan itu. Mungkin bisa jadi tempat persembunyian," kata Aisha.
Guntur bergerak duluan, memeriksa setiap sudut gua dengan hati-hati. "Bersih, Aisha! Tapi sempit."
"Tidak masalah, yang penting aman dari pandangan," jawab Aisha. "Bara, pasang trap di pintu masuk, yang tidak terlihat. Dio, naik ke atas gua, cari posisi pengintaian. Ren, kamu di dalam, siapkan medkit dan energy drink kalau sewaktu-waktu kita diserang. Kita akan berjaga bergiliran."
Mereka semua masuk ke dalam gua yang sempit dan gelap itu. Bau tanah basah dan bebatuan dingin terasa kuat. Ren bisa mendengar napas teman-temannya di sampingnya, detak jantungnya sendiri yang masih berdebar, dan suara binatang malam yang sesekali terdengar dari luar—mungkin bot hewan buas lainnya, atau bahkan pemain lain yang mencari persembunyian. Keheningan yang mencekam meliputi gua, sesekali dipecah oleh suara tembakan samar dari kejauhan atau ledakan yang menggelegar—tanda ada tim lain yang sedang bertarung di luar sana. Setiap suara membuat Ren menahan napas, merasakan ketegangan yang nyata. Ia merasakan dinginnya dinding gua di punggungnya, dan kelembapan yang menembus kostumnya.
Aisha sesekali berkomunikasi dengan Dio yang berjaga di luar. "Bagaimana di sana, Dio? Ada pergerakan?"
"Aman, Aisha. Cuma ada beberapa bot hewan lewat. Belum ada tanda-tanda pemain," jawab Dio, suaranya terdengar datar namun waspada.
Ren menatap jam virtual di interfacenya. Waktu terus berjalan, dan zona aman semakin menyempit. Ini bukan hanya tentang bertarung, tapi tentang kesabaran, strategi, dan bertahan. Ia merasa mengantuk, matanya mulai berat. Sensasi lelah yang ia rasakan begitu nyata, seolah ia benar-benar terjaga sepanjang malam di hutan.
Akhirnya, fajar virtual mulai menyingsing. Cahaya keemasan menembus celah gua, menerangi wajah lelah teman-temannya. Sebuah harapan baru muncul bersama terbitnya matahari virtual.
"Waktunya bergerak," kata Aisha, bangkit dari posisinya. "Ada beberapa tim lagi di zona aman. Kita harus lebih agresif sekarang."
Ren ikut bangkit, merasakan otot-ototnya kaku. Namun, ada semangat baru. Mereka telah melewati malam pertama di Zero Point Survival.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!