Olivia melempar handphonenya ke atas meja sambil menggerutu kesal. Sudah 3 hari ia mencoba menghubungi Thomas via telepon dan wa tapi belum ada satu pun yang berhasil.
”Kenapa ?” tanya Nindya melirik sekilas lalu kembali fokus le layar laptop.
“Kayaknya udah lebih dari 100 pesan gue kirim ke Tom tapi semuanya cuma dibaca doang, nggak ada satu pun yang dibalas.”
“Memangnya ada urusan apa lagi sama mantan kakak ipar lo itu ? Jangan bilang elo berencana jadi ibu sambung alias turun ranjang,” ledek Nindya sambil tertawa.
“Ngaco lo ! Ogah banget gue sama dia, mending tetap jadi perawan tua daripada nikah sama cowok
songong gitu.”
“Hati-hati Say, orangtua bilang ucapan adalah doa.”
Nindya langsung tergelak melihat ekspresi Olivia yang mengetuk-ngetuk mejanya sambil mengucap “Amit-amit, amit-amit.”
“Kalau begitu datangi aja kantor atau rumahnya, cegat di lobi dan paksa sampai dia mau bicara sama elo.”
“Gimana cara memaksanya bicara ?” gumam Olivia sambil memainkan bibirnya.
Nindya kembali tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Di antara kita bertiga, elo yang paling jago meyakinkan pelanggan bahkan yang lebih alot dari kakak ipar lo.”
“Hhhhmmm,” Olivia mengangguk-anggukkan kepala.
“Kalau begitu siang ini gue samperin ke kantornya. Tapi…..”
“Tapi kenapa ?”
“Sebetulnya gue nggak tahu Tom kerja dimana karena mbak Rosa nggak pernah cerita dan gue juga nggak tanya.”
“Tinggal tanya sama bokap nyokapnya. Elo kenal sama mereka kan ?”
Olivia terkekeh. “Ternyata elo pinter juga !”
Nindya mencibir tapi malah dapat kedipan mata Olivia.
***
Olivia sampai cuti untuk memastikan urusannya dengan Thomas pasti tuntas hari ini namun ia tidak memberitahu mama apalagi papa.
Terkadang Olivia curiga kenapa orangtuanya bisa pasrah begitu saja dengan semua keputusan Thomas padahal Olivia sudah mencoba membuka pikiran mereka tentang segala kemungkinan soal kematian Rosa yang tiba-tiba meski ia belum sempat memberitahu soal curhatan kakaknya di restoran tempo hari.
Mama memang sudah pernah menceritakan kronologis kejadian mulai dari Rosa yang ditemukan pingsan di ruangan kerjanya lalu dibawa ke rumah sakit sampai akhirnya meninggal sebelum sempat diperiksa oleh dokter penyakit dalam karena diagnosa dokter di IGD, Rosa menderita gerd akut.
Tapi Olivia tidak terlalu yakin apalagi saat melihat sikap Thomas dan kondisi Rosa saat mereka bertemu terakhir kalinya.
Terkejut mendengar suara ketukan di kaca, Olivia spontan membuka kaca di sampingnya. Matanya membola karena tidak menyangka akan melihat Hendri di tempat ini.
”Selamat pagi Olivia,” sapa Hendri dengan ramah sambil tersenyum.
“Eeh, selamat pagi juga Om.”
Buru-buru Olivia turun sampai lupa menaikkan kaca dan mematikan mesin mobil.
“Kok Om ada di sini pagi-pagi begini ?”
Hendri tertawa. Seorang pria baya turun dari pintu pengemudi, memakai kemeja dan menganggukkan kepalanya dengan sopan pada Olivia.
“Matikan dulu mesin mobilmu dan kita bicara di dalam.”
Meski masih bingung Olivia menuruti perintah Hendri dan berjalan beriringan memasuki bangunan gedung 7 lantai.
Sepanjang jalan mata Olivia melirik ke kiri dan kanan, memperihatikan orang-orang yang menyapa dan mengangguk dengan hormat setiap kali mereka berpapasan.
Awalnya Olivia masih menebak-nebak tapi begitu seorang pemuda seusia Thomas menyambut di dekat meja resepsionis, Olivia yakin kalau Hendri adalah pemilik bangunan ini.
“Jadi selama ini Tom… eh maksud saya, kak Thomas kerja di perusahaan sendiri ?”
Hendri terkekeh saat Olivia tidak bisa lagi menahan rasa ingin tahunya.
“Kamu baru tahu toh ?”
Kepala Olivia mengangguk. “Kemarin waktu telepon, tante Yenni tidak memberitahuku kalau tempat kerja kak Thomas adalah perusahaan Om.”
“Sepertinya hanya kamu yang tidak tahu soal pekerjaan Tom.”
Mereka sudah sampai di depan lift. Pria muda tadi mempersilakan Hendri dan Olivia masuk dulu sementara ia menahan pintu supaya jangan tertutup.
”Jadi papa dan mama juga sudah tahu ?” gumam Olivia namun masih terdengar oleh kedua pria yang ada bersamanya di dalam lift.
“Biasanya Thomas datang sekitar pukul setengah sembilan, masih ada 45 menit lagi jadi kamu tunggu saja di ruangan Om.”
“Saya tidak mau menganggu Om pagi-pagi, biar saya menunggu…”
Hendri mengangkat tangannya, menolak permintaan Olivia:
“Tidak ada yang terganggu. Jam kantor juga belum dimulai lagipula kita masih keluarga meskipun Rosa sudah tiada.”
Olivia tidak membantah dan mengikuti Hendri keluar dari lift di lantai 7.
Meskipun ia tengah berbincang dengan Hendri, matanya yang cekatan merekam interior dan nuansa yang terasa berbeda.
Aura kepemilikannya begitu kuat di lantai ini, berbeda dengan suasana dan tatanan di lobi yang memberi kesan sederhana.
“Masuk Liv, kamu mau minum apa ? Sudah sarapan ? Danu bisa membelikan makanan untukmu.”
Akhirnya Olivia tahu nama pemuda itu. Danu. Pria itu langsung ke meja kerjanya yang ada di dekat pintu sedangkan Hendri mengajak Olivia masuk ke dalam ruangan yang menurutnya mewah dan membuatnya berdecak dalam hati.
“Tidak usah repot-repot Om, saya sudah sarapan sebelum berangkat.”
“Kalau begitu mau kopi atau teh ?”
Tangan Hendri mempersilakan Olivia untuk duduk di sofa lalu Danu menyusul masuk sambil membawa tab.
“Air putih saja,” ujar Olivia sambil menatap Danu.
Pria itu mengangguk, keluar sebentat lalu masuk lagi sambil membawa 3 botol air mineral berukuran sedang.
Hendri sempat ke meja kerjanya sebentar dan berbincang dengan Danu sebelum menemani Olivia duduk di sofa sedangkan Danu lagi-lagi keluar dari ruangan.
“Jam berapa kamu harus balik ke kantor Liv ?”
“Kebetulan hari ini saya cuti, Om.”
“Apa ada urusan penting dengan Thomas sampai kamu cuti segala ?”
Olivia tertawa pelan dan menggelengkan kepala. “Tidak terlalu penting juga. Beberapa hari yang lalu saya sempat mendatangi rumah lama mereka ternyata benar-benar sudah ganti pemilik. Saya hanya ingin minta beberapa baranh milik mbak Rosa untuk kenang-kenangan.”
“Oooohh.” Hendri mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak lama Danu kembali masuk dan berdiri di dekat Hendri.
“Pak Tom sudah ada di lobi. Saya minta beliau datang kemari atau saya antar nona Olivia ke ruangan Pak Tom ?”
“Suruh Tom saja yang kemari menjemput Olivia,” sahut Hendri.
“Om bagaimana kalau saya saja yang pergi ke ruangan kak Tom ?”
Olivia buru-buru beranjak, tatapannya memohon supaya Hendri mengabulkan permintaannya. Beberapa saat Hendri hanya diam, seperti sedang berpikir.
“Baiklah ! Antarkan Olivia ke ruangan Tom dan pastikan dia tidak langsung mengusirnya !”
Hendri sempat tertawa tapi Olivia yakin kalau pria itu bisa menebak kemungkinan Thomas menolak bertemu Olivia.
“Saya pamit dulu Om.”
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan minta tolong pada Danu.”
“Terima kasih Om.”
Meski banyak yang ingin diketahui Olivia namun selama berduaan dengan Danu, ia tidak membuka suara begitu juga dengan pria itu.
Ternyata tebakan Olivia salah, ruang kerja Thomas tidak selantai dengan ruangan Hendri tapi di lantai 6.
Interiornya lebih sederhana dan sepertinya ada divisi lain serta ruang rapat.
Ruangan Thomas ada sisi kanan lift dan letaknya paling ujung. Seorang pria dan wanita baya duduk di meja kerja di satu ruang besar dan ada sofa di situ.
Danu menyapa keduanya tanpa memperkenalkan Olivia yang hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum.
Lalu Danu mengetuk pintu dan setelah diperintahkan untuk masuk, ia pun membukakan pintu dan mempersilakan Olivia masuk.
“Bagaimana jadwal…..”
Thomas yang tadi menundukkan kepala karena sedang membaca terlihat kaget melihat Olivia berdiri persis di pintu yang terbuka.
“Selamat pagi Thomas.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
vj'z tri
semangat livi 🤩🤩🤩🤩
2025-05-13
2