Maura baru saja selesai mandi, Tubuhnya masih basah, dan rambutnya terurai lembab. Ia harus segera ke kampus, tapi bajunya kotor karena terkena muntahan nya tadi malam. Dengan hanya mengenakan handuk mandi berwarna putih yang menutupi tubuh mungilnya, Maura berdiri ragu di balik pintu kamar mandi.
Sementara itu, Shaka menghubungi Dio sekretaris nya, untuk mengirim baju cewek lengkap dengan dalaman dengan ukuran yang disebutkan shaka. sebelum maura keluar dari kamar mandi. Ia duduk pinggir ranjang dengan hanya mengenakan celana pendek. Matanya yang masih mengantuk sontak terbuka lebar ketika mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.
Pintu kamar mandi berderit pelan saat terbuka. Maura melangkah keluar dengan perlahan. Handuk putih membalut tubuh mungilnya, hanya cukup untuk menutupi bagian penting. Air masih menetes dari rambutnya yang basah, mengalir pelan di sepanjang leher jenjang hingga ke bahu.
Shaka menoleh dari posisi duduknya di tepi ranjang. Pandangannya terpaku. Detik itu juga, udara kamar terasa lebih berat. Pupil matanya sedikit membesar saat melihat Maura berdiri canggung di depan kamar mandi, ia memeluk tubuhnya dengan handuk seolah berharap bisa menghilang.
Shaka berdiri. Langkahnya berat dan dalam. Ia mendekat, matanya tak bisa lepas dari tetes air yang menyusuri kulit Maura.
“Kau seharusnya tak keluar seperti ini, Maura,” gumamnya, suaranya terdengar serak.
“Kau tau nama ku? “ Tanya maura .
“ Aku melihat tas mu semalam “.jawab Shaka .
“ Tapi aku tak tau siapa anda tuan.” kembali maura bertanya .
“ Shaka ..Shaka prawira.” Kembali Shaka menjawab.
“A-aku... tak punya baju lagi. Aku harus ke kampus...” jawab Maura pelan, hampir tak terdengar. Tangannya mencengkram erat sisi handuk.
Shaka berhenti hanya sejengkal dari tubuhnya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh setitik air di bahu Maura dengan jari telunjuknya. Maura tersentak, matanya melebar. Tapi tubuhnya membeku. Ia tak bisa bergerak, bahkan untuk menarik napas panjang pun terasa sulit.
“Lehermu...,” bisik Shaka, sebelum perlahan membungkuk.
Tanpa peringatan, bibirnya menyentuh kulit basah di leher Maura. Lembut, hangat... dan membakar. Maura memejamkan mata, tubuhnya menegang, kedua tangannya masih berusaha mempertahankan handuk.
“Shaka... jangan... kita tidak boleh...,” bisiknya, suaranya bergetar.
Tapi Shaka tak menghentikan dirinya. Ia mencium pelan sepanjang garis leher Maura, lalu membawa maura naik ke ranjang, sampai akhirnya Shaka menemukan bibirnya. Ia berhenti sejenak, menatap mata gadis itu—seolah meminta izin….
Maura sempat menggeleng lemah, nafasnya tak beraturan. Tapi saat bibir Shaka menyentuh bibirnya... tubuhnya kehilangan kekuatan. Ciuman itu bukan paksaan. Itu lembut... hangat... dan menghanyutkan.
Awalnya Maura pasif, hanya diam, membiarkan. Tapi perlahan, hatinya mulai bergetar. Ia mulai membalas ciuman itu. Bibir mereka menyatu, seolah waktu berhenti. Tangannya yang tadinya menjaga handuk, kini beralih menempel di dada Shaka, merasakan detak jantung yang sama cepatnya.
Shaka menarik tubuh Maura memperdalam ciuman mereka, tanpa melewati batas. Ia menahan diri dengan sisa kendali yang masih ia punya, namun keintiman itu terlalu nyata untuk diabaikan.
Beberapa detik kemudian, keduanya terpisah. Kerena terdengar ketukan pintu apartemen. Nafas mereka berat, mata mereka saling menatap dalam diam. Tak ada kata, tapi semua sudah terucap melalui sentuhan dan debar yang tak bisa mereka sembunyikan.
Shaka akhirnya berkata lirih,” bajumu sampai. Kau bisa langsung kuliah.”
Setelah ciuman itu... sunyi kembali menguasai kamar. Maura terdiam. Nafasnya masih tersengal pelan, tapi matanya mulai membelalak. Kesadarannya perlahan kembali.
“Apa yang barusan terjadi...?” pikirnya panik.
Wajahnya memerah bukan karena malu, tapi karena kecewa—pada dirinya sendiri. Ia menggigit bibir, lalu buru-buru memalingkan wajah.
“Aku harus pergi,” ucapnya cepat, hampir seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
Begitu Shaka masuk ke kamar membawa pakaian yang baru saja diantar Dio, Maura menyambar pakaian itu dan masuk kembali ke kamar mandi. Ia menatap bayangan dirinya di cermin—wajah polos dengan rambut masih agak basah.
“Kenapa aku begitu lemah... kenapa aku begitu gampang... menerima perlakuan dari cowok mesum itu?” bisiknya lirih, hampir dengan air mata. Ia cepat-cepat berganti pakaian, mengenakann deres selutut sangat pas di badan maura lengkap dengan sepatu datar.
Sementara itu, Shaka berdiri di dapur. Dengan tangan sendiri, ia mengoleskan selai kacang ke roti panggang dan menyiapkan segelas susu dingin. Raut wajahnya sedikit berbeda kali ini—lebih tenang, tapi juga ada ketegangan di matanya.
“Dia pasti butuh sarapan. Dia akan kuliah. Aku hanya ingin... dia merasa nyaman,” gumamnya.
Maura keluar dari kamar dengan langkah cepat. Ia sudah rapi, wajahnya bersih tanpa riasan, tapi mata itu—mata yang sedang ingin melarikan diri. Saat melihat meja makan kecil di dekat dapur, ia sempat terdiam.
Roti dan susu... ditata rapi.
Shaka menoleh, sedikit tersenyum. Tapi sebelum sempat bicara, Maura sudah lebih dulu membuka suara.
“Terima kasih untuk pakaiannya... dan ….” katanya datar, tanpa tatapan. “Tapi aku harus pergi.”
“Maura... tunggu sebentar. Aku cuma—”
“Aku tahu apa yang barusan terjadi. Dan aku benci diriku sendiri karena membiarkan itu terjadi,” potong Maura, suaranya tegas tapi sedikit bergetar. “Aku datang ke kota untuk belajar. Bukan untuk terjebak dalam... hal seperti ini.”
Shaka menghela napas panjang, tapi tak memaksanya.
“Maura, tunggu.”
Maura berhenti di ambang pintu, tidak menoleh.
“Jangan kembali kerja di klub itu lagi.”
Maura mengerutkan alis, akhirnya menoleh sedikit. “Apa?”
“Tempat itu berbahaya. Orang-orang di sana... mereka bisa menyakiti orang sepertimu,kamu terlalu polos. Aku nggak mau kamu ada di situ lagi.”
Maura menatap Shaka dengan ragu, antara tersentuh dan bingung. “Kenapa kamu peduli? Karena semalam? Karena pagi ini?” nada suaranya sinis, tapi gemetar.
Shaka menghela napas, langkahnya makin dekat.
“Bukan cuma karena itu. Aku tahu aku sudah kelewatan. Tapi aku juga tahu kamu nggak cocok ada di dunia yang kotor seperti itu. Kamu bisa kenapa-napa.”
Maura terdiam sejenak. Hatinya terombang-ambing. Ada sisi dirinya yang ingin percaya, ingin merasa dilindungi. Tapi sisi lainnya merasa ia tak boleh lagi terlalu lemah.
“Aku butuh uang, tuan Shaka. Aku butuh biaya hidup. Kamu pikir aku mau ada di sana?”
“Aku akan bantu,” jawab Shaka cepat.
Maura menggeleng, mata mulai berkaca.
“Aku nggak mau jadi beban orang lain. Aku bisa usaha sendiri ….. aku cuma mau hidup tenang, lulus kuliah, dan keluargaku bangga padaku.”
Ia membuka pintu.
“Terima kasih atas... semuanya.” Maura pergi dengan menutup pintu.
Shaka menatap pintu yang tertutup, sementara hatinya terasa dicekam rasa bersalah.
Maura duduk di dekat jendela, memeluk tasnya erat-erat. Matanya menerawang, melihat gedung-gedung kota yang berkelebat dari balik kaca. Hatinya masih campur aduk, malu, kesal, juga bingung. Apartemen Shaka ternyata cukup jauh dari kampus, dan bus yang ia tumpangi pun sempat terjebak macet.
Maura berlari kecil memasuki gerbang kampus. Bel berbunyi menandakan kelas pertama sudah dimulai. Ia buru-buru menyusuri lorong kampus, menuju kelas nya dan mencari seseorang yang paling ingin ia temui saat ini.
“Laila... ” gumamnya lirih.
Begitu melihat sahabatnya itu duduk di kursi paling sudut Maura langsung menghampirinya.
“Maura? Kamu dari mana aja, sih? Kok bisa terlambat ,untung dosen belum masuk.” tanya Laila heran, tapi langsung terdiam melihat wajah Maura yang tampak kacau.
Maura duduk, menarik napas panjang sebelum membuka suara.
“Aku keluar dari kerjaan itu, Lai... Aku nggak tahan …..”
“Hah? Kenapa?” Laila langsung menegang.
Nanti pas istirahat aku ceritakan semua.
Maura menunduk. Dengan suara pelan tak lama dosen yang mengajar masuk dan memulai dengan pelajarannya.
Waktu begitu cepat berlalu waktunya istirahat. maura dan Laila ke kantin untuk makan karena maura sangat lapar belum sempat sarapan . Setelah pesan sudah Sampai Laila menagih janji maura untuk mencerita tentang pekerjaan nya itu.
Maura pelahan menceritakan apa yang terjadi semalam. Tentang bagaimana Megan dan gengnya memperlakukannya, tentang insiden memalukan di klub, hingga bagaimana ia bisa berakhir di apartemen Shaka.
Laila mendengarkan dalam diam, matanya membulat marah.
“GILA! Mereka keterlaluan, Maura! Si Megan sama temen-temennya itu bener-bener brengsek!” katanya geram.
“Aku cuma pengen kerja halal, Lai. Tapi malah dilecehkan kayak gitu...”
Laila menggenggam tangan Maura erat.
“Kamu bener udah keluar dari sana. Tempat itu tidak cocok untuk mu. Mulai sekarang, jangan pernah dekat-dekat mereka lagi, oke? Aku bakal bantu cari kerja part time lain yang lebih aman. Kita cari bareng.”
Maura mengangguk pelan, matanya berkaca.
“Makasih ya, Lai...”
“Kamu nggak sendiri, Maura. Ingat itu.”
Suasana kantin kampus cukup ramai. Maura dan Laila duduk di pojok ruangan sambil menikmati makan siang mereka. Obrolan ringan sesekali mengisi waktu.
Tiba-tiba, ponsel Maura bergetar. Di layar muncul nama yang membuat Maura langsung tersenyum: Nenek Margaret.
“Bentar ya, Lai,” ucapnya sambil mengangkat panggilan.
“Halo, Nenek?”
Suara di seberang terdengar lembut dan hangat.
“Maura sayang, Nenek ingin bertemu. Kalau kamu tidak sibuk, bisakah kita bertemu nanti sore? Nenek rindu ingin berbincang.”
Maura langsung tersenyum.
“Tentu, Nek. Selepas kuliah aku bisa ke sana. Kita ketemu di mana?”
“Restoran kecil dekat taman kota. Kamu tahu yang itu, kan?”
“Tahu, Nek. Aku ke sana nanti ya.”
Setelah telepon ditutup, Laila menatapnya penasaran.
“Nenek siapa tuh, Maura?”
Maura menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyumnya masih menggantung.
“Namanya Nenek Margaret. Aku pernah nolongin beliau waktu kejambretan di depan taman kota. Waktu itu aku nggak sengaja lewat dan bantu kejar jambretnya. Dan di sana teryata ada Alex juga yang iku meringkus jamret itu. Sejak saat itu kami jadi dekat. Beliau baik banget.”
Laila mengangguk, kagum.
“Wah, kayak ketemu tokoh dalam novel aja. Sekarang beliau ajak kamu ketemu?”
“Iya, mungkin cuma mau ngobrol. Nenek itu suka cerita tentang masa mudanya.”
“Beliau tinggal di kota juga?”
“Iya. Tapi aku nggak tahu banyak tentang keluarganya, sih.”
Laila meneguk air minumnya lalu menatap Maura.
“Kalau kamu butuh ditemenin, aku bisa batalin urusanku deh.”
Maura menggeleng cepat sambil tersenyum.
“Nggak usah, Lai. Aku bisa sendiri kok. Lagian ini cuma ngobrol ringan.kan urusanmu jauh lebih penting .”
Laila tersenyum, tapi tetap mengingatkan.
“Kalau ada hal aneh, langsung kabarin aku. Siapa tahu nenek itu ternyata bagian dari keluarga sultan juga.dan punya cucu yang good looking untuk di jodohkan sama kamu ha..ha….”.
Mauradan Laila tertawa ersamaan , tidak tahu bahwa kalimat Laila itu nyaris benar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments