Pagi menyapa, Maura dengan sinar matahari yang menyelinap masuk dari celah jendela kecil kamarnya. Ia membuka mata perlahan, tubuhnya masih terasa letih. Aktivitas seharian kemarin, ditambah kejadian mengejutkan di halte, benar-benar menguras tenaga dan emosinya.
Namun ia tahu, hidup harus terus berjalan. Ia bangkit dari tempat tidur sempitnya, melangkah ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Guyuran air dingin pagi itu membantunya mengusir kantuk dan menata semangat baru.
Usai mandi, Maura berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya. Meski sederhana, ia tetap tersenyum. “Aku bisa,” bisiknya pada diri sendiri.
Sambil mengenakan seragam kuliahnya, ia merapikan map berisi berkas-berkas lamaran kerja. Ia sudah bertekad—selepas kuliah hari ini, ia akan langsung mencari pekerjaan sambilan. Ia sadar, beasiswa saja tak cukup. Hidup di kota besar membutuhkan lebih dari sekadar mimpi.
Dengan langkah pasti dan harapan yang kembali tumbuh, Maura bersiap meninggalkan kosan, menuju kampus.
Maura langsung menuju kelas jurusannya ketika sampai di kampus. Di dalam ruangan, ia melihat Laila sudah duduk di pojok dekat jendela, tempat favorit mereka. Maura menghampiri dan duduk di sampingnya. Sapaan hangat dari Laila membuat lelah Maura seolah menguap. Mereka pun mengikuti mata kuliah dengan tenang.
Usai kelas, mereka memutuskan istirahat di kantin kampus. Sambil menikmati jus dan camilan ringan, Maura mulai bercerita pada Laila tentang rencananya mencari pekerjaan sambilan.
“Aku harus mulai mandiri, Lai. Beasiswa ini memang bantu banyak, tapi kebutuhan makin hari makin banyak juga,” ujar Maura sambil tersenyum.
Laila mengangguk penuh pengertian. “Kalau kamu butuh info kerja part time, aku bisa tanya ke sepupuku. Dia kerja di café tak jauh dari kampus.”
Belum sempat Maura menjawab, suasana kantin tiba-tiba berubah. Sekelompok gadis dengan dandanan modis dan gaya penuh percaya diri masuk dan menjadi pusat perhatian. Mereka adalah geng populer kampus—selalu tampil mencolok dan menjadi pusat perhatian.
Salah satunya, Megan, si primadona kampus yang dikenal karena kecantikannya, menatap tajam ke arah Maura. Dengan suara yang sengaja dikeraskan agar semua orang mendengar, ia berkata dengan nada sinis, “Gadis jelek kayak kamu nggak usah mimpi deketin Alex. Jangan keganjenan, ya? Alex itu milik gue.”
Suasana mendadak hening. Beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik, menatap ke arah Maura. Tapi gadis itu tetap tenang. Ia menatap Megan tanpa gentar, meski dalam hatinya bergemuruh.
Laila menggenggam tangan Maura pelan. “Abaikan, dia cuma iri,” bisiknya.
Maura menarik napas panjang, menahan emosinya. Ia tahu, hidup di kota bukan hanya tentang mengejar mimpi.
Maura mencoba tenang mendengar ejekan Megan. Ia menunduk, memutar sedotan dalam gelasnya sambil menarik napas dalam. Tapi ketika tawa sinis Megan dan teman-temannya terus berlanjut, melewati batas kesabaran, Maura akhirnya berdiri.
“Cukup!” ucapnya lantang, hingga semua mata di kantin langsung menoleh.
Megan mengangkat alis, menatap Maura dengan tatapan menantang. “Oh? Berani juga kamu.”
Maura menatapnya lurus tanpa ragu. “Aku datang ke sini buat belajar, bukan buat cari masalah. Tapi kalau kamu terus hina aku hanya karena aku ngobrol sama Alex, itu artinya kamu yang insecure.”
Beberapa mahasiswa menahan napas, terkejut mendengar keberanian Maura.
“Kamu pikir siapa dirimu sampai bisa nentuin siapa yang pantas dekat sama siapa?” lanjut Maura dengan suara tenang tapi tajam. “Kalau kamu emang sehebat itu, kenapa kamu takut banget sama cewek kayak aku?”
Wajah Megan memerah, antara marah dan malu. Ia melipat tangan di dada, mencoba menjaga wibawa di depan teman-temannya.
“Ayo, Lai.” Maura menoleh pada Laila. “Tempat ini udah terlalu penuh drama.”
Maura yang ingin berjalan keluar dari kantin bersama Laila. saat baru mau melangkah dari tempat mereka ,Megan bersama Astrid dan Rena menghadang mereka. Wajah Megan tampak memerah karena emosi yang tak tertahan.
“Kamu pikir bisa sok berani di kampus ini tanpa akibat?” desis Megan sambil melipat tangan, wajahnya mendekat ke Maura.
Maura baru akan menjawab, tapi tiba-tiba Megan menarik rambutnya dengan kasar.
“Berani-beraninya kamu ngomong begitu di depan umum!” teriak Megan.
“Astaga, Megan!” Laila menjerit panik, berusaha memisahkan mereka, namun Astrid dan Rena langsung menahan Laila.
“Aduh, lepasin!” Maura mengerang, tapi bukan karena takut. Perlahan ia pegang tangan Megan yang masih mencengkram rambutnya, lalu dengan cepat, ia tepis kasar dan mundur beberapa langkah.
Matanya menatap tajam, wajahnya dingin. “Aku udah kasih kamu kesempatan buat berhenti, Megan.”
“Dan aku gak butuh dikasih kesempatan sama cewek kampung kayak kamu!” balas Megan dengan tawa menghina.
Namun belum sempat Megan melangkah lagi, sebuah suara dingin menggema dari arah koridor.
“Ada apa ini?”
Semua orang langsung diam. Alex berdiri tak jauh dari mereka, mengenakan kemeja putih dan celana jins. dengan tatapan tajam yang mengintimidasi. Suasana mendadak hening. Mahasiswa lain mulai berkerumun, menyaksikan keributan kecil yang kini jadi sorotan.
“Aku tanya, ada apa ini?” ulang Alex, kali ini lebih dingin.
Maura menatapnya sejenak, lalu dengan tenang membetulkan rambutnya yang sempat acak-acakan. “Tidak ada apa-apa. Hanya beberapa orang yang tak tahu sopan santun.”
Alex melangkah mendekat ke arah Megan dan teman-temannya. “Megan, aku gak peduli seberapa populernya kamu, tapi kalau kamu sentuh siapapun di kampus ini dengan cara seperti itu lagi, kamu yang akan aku minta keluar.”
Megan terdiam. Astrid dan Rena mulai mundur pelan, tak berani melawan tatapan tajam Alex.
“ Bukan aku yang mulai Alex, cewek kampung ini yang mulai duluan…iya kan teman teman?”. Megan dengan nada kelem mencari pembelaan.
Maura yang melihat aksi Megan hanya tersenyum geli. Laila segera menghampiri Maura, memegang tangannya. Maura tau maksut Laila ,hanya mengangguk pelan sebagai ucapan terima kasih pada Alex, lalu menarik Laila pergi dari kerumunan.
Alex menatap punggung Maura yang menjauh, entah kenapa ada rasa tak biasa yang muncul di dadanya.
Setelah insiden panas di kantin, Maura dan Laila memilih pergi ke perpustakaan. Mereka duduk di sudut yang sepi, mencoba menenangkan diri. Maura membuka buku, namun pikirannya masih berkecamuk.
Tak lama, notifikasi dari grup kelas muncul di ponsel Laila. Ia membaca cepat lalu menoleh ke Maura.
“Dosennya nggak masuk. Katanya kita bisa pulang,” ujar Laila dengan senyum lega.
Maura menghela nafas panjang. “Syukurlah… aku bisa cepat-cepat cari kerjaan.”
Laila tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Aku sebenernya ada info kerja, tapi… ya, nggak tahu kamu mau atau nggak.”
Maura menatapnya penasaran. “Kerja apa?”
“Temenku bilang tempat dia membutuhkan pelayan. Tapi tempatnya kayak semacam klub malam gitu,” jawab Laila hati-hati. “Cuma nganterin minuman ke pelanggan. Nggak lebih dari itu.”
Maura terdiam sejenak, mencerna informasi itu. “Klub malam?” ulangnya pelan.
Laila buru-buru menambahkan, “Iya, tapi bukan yang aneh-aneh. Tempatnya aman kok. Dan bayaran lumayan. Kalau kamu bilang aku yang rekomendasiin, pasti langsung diterima.”
Maura menatap sahabatnya itu. Ia memang butuh uang, dan jika tugasnya hanya sekadar mengantarkan minuman, mungkin tidak terlalu buruk.
“Baiklah,” akhirnya ia mengangguk. “Kasih aku alamatnya ya.”
Laila tersenyum senang, lalu membuka ponselnya dan menuliskan alamat di kertas kecil, menyerahkannya pada Maura.
“Ini, nanti malam kamu datang aja. Pake baju rapi ya, yang sopan tapi agak modis dikit.”
Maura menerima kertas itu dan tersenyum kecil. “Makasih, Laila. Serius deh, kamu penyelamat aku hari ini.”
Mereka beranjak dari perpustakaan, dan di wajah Maura, terselip rasa penasaran—dan sedikit gugup—tentang dunia baru yang akan ia masuki malam nanti.
Mereka berpisah di depan kampus. Laila dijemput oleh supir keluarganya, sementara Maura melangkah menuju halte bus. Tapi ia tak langsung pulang ke kos. Masih ada hal yang harus ia lakukan: mencari baju yang pantas untuk bekerja malam nanti.
Ia turun di dekat pasar swalayan dan berjalan masuk ke deretan toko baju. Maura menelusuri rak demi rak, menyentuh beberapa dress simpel dan atasan modis. Tapi begitu melihat label harganya, hatinya langsung ciut.
“Mahal banget…” gumamnya pelan.
Ia melangkah ke toko lain, berharap ada diskon, namun tetap saja harganya terlalu tinggi untuk dompetnya yang belum terisi gaji.
“Aku belum kerja, nggak bisa boros sekarang…” desahnya pelan.
Saat ia hendak berbalik keluar dari toko, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Refleks, Maura menoleh. Di hadapannya berdiri seorang wanita tua dengan rambut keperakan yang disanggul rapi, mengenakan mantel hangat berwarna abu.
Maura membelalak. “Nenek Margaret?”
Wajah wanita tua itu menyunggingkan senyum hangat. “Kau ingat nenek, ya? Nenek yang kamu tolong waktu dijambret itu, sayang.”
Maura tersenyum kaget. “Iya, tentu saja! Waktu itu nenek hampir jatuh setelah tasnya ditarik jambret... Saya cuma refleks ngejar pelakunya.”
“Nenek nggak akan lupa kebaikanmu, Nak,” ucap nenek itu dengan mata berkaca. “Kalau bukan karena kamu, mungkin tas dan semua surat penting nenek hilang.”
Maura mengangguk, tersipu. “Saya cuma kebetulan lewat, Nek.”
“Nenek lihat kamu sedang bingung, ada yang bisa nenek bantu?”
Maura sempat ragu, lalu mengangguk pelan. “Saya lagi cari baju buat kerja sambilan, Nek… Tapi harganya pada mahal, saya belum kerja, jadi belum bisa beli.”
Nenek Margaret tersenyum. “Kalau begitu, ikut nenek. Nenek tahu tempat bagus, dan kamu nggak perlu keluar uang sepeserpun. Dan kalau kamu mau kerja kamu bisa kerja di tempat nenek. Kamu ada ponsel nenek minta dong no kamu supaya nenek bisa menghubungi kamu ..boleh ?”.
Maura segera memberikan no ponsel kepada Margaret.dan segera menyimpan nya.
Maura belum sempat membuka suara ketika tangan hangat Nenek Margaret menggenggam pergelangan tangannya dan menariknya lembut masuk ke dalam salah satu butik elegan yang ada di deretan toko itu.
“Nenek… ini serius?” tanya Maura gugup, matanya melirik interior butik yang begitu mewah.
“Diam dan ikut saja. Nenek nggak suka banyak debat,” ucap nenek Margaret tegas tapi dengan senyum ramah.
Begitu mereka masuk, semua penjaga toko langsung membungkuk hormat. Seorang wanita muda berseragam segera menghampiri.
“Selamat datang, Nyonya Margaret. Ada yang bisa kami bantu?”
“Siapkan baju terbaik untuk nona ini,” kata nenek Margaret tanpa basa-basi. “Model yang kekinian, tapi tetap sopan dan pantas. Jangan yang terlalu terbuka, dia bukan untuk dijual.”
“Siap, Nyonya!”
Dengan sigap, para penjaga toko mulai bergerak cepat. Rak-rak dibuka, gantungan baju dipenuhi berbagai pilihan. Dress elegan, blus cantik, rok semi formal, hingga celana panjang berpotongan modis—semuanya dikeluarkan dan disodorkan untuk Maura coba.
Maura berdiri kaku, menatap satu per satu baju yang disodorkan padanya. Matanya membesar. “Aku… bingung… Ini semua bagus banget…”
Nenek Margaret mengambil beberapa baju, memeriksanya dengan teliti, lalu menggeleng dan meletakkannya kembali ke rak.
“Ini terlalu pucat untuk kulitmu. Ini terlalu ketat. Nah, ini...,” katanya sambil mengangkat blus berwarna hijau tua dan rok selutut dengan potongan simpel tapi elegan, “ini cocok. Kamu cantik, sayang. Tapi jangan biarkan pakaian murahan membuat orang salah menilaimu.”
Maura terdiam, terharu.
“Nek… ini terlalu mewah. Aku nggak bisa menerimanya…”
“Nenek tahu kamu butuh. Anggap ini balasan kecil dari apa yang kamu lakukan buat nenek waktu itu. Kamu tolong nenek tanpa pamrih, sekarang giliran nenek bantu kamu.”
Maura hanya bisa terdiam saat penjaga toko mulai membungkus semua pilihan yang sudah ditentukan oleh Nenek Margaret—dari baju-baju trendy, sepasang sepatu kulit elegan, hingga tas tangan yang tampak mahal dan berkelas.
“Semua ini… untukku?” tanya Maura pelan, nyaris tak percaya.
“Ya, untukmu. Jangan banyak tanya. Nenek nggak suka orang yang nolak rezeki,” jawab Nenek Margaret sambil tersenyum, tapi sorot matanya tegas.
Maura melotot tak percaya saat melihat kasir menyebut total belanjaan mereka. Jumlah yang tertera di layar membuatnya nyaris kehilangan napas.
“Ne-nek! Itu… itu mahal banget! Aku nggak bisa… nggak mungkin menerima semua ini. Nenek udah terlalu baik!”
Nenek Margaret menghela napas sambil menatap Maura dengan lembut. “Sayang, kamu pernah menolong nenek waktu orang lain cuma nonton. Kamu mungkin lupa, tapi nenek nggak. Dan sekarang, nenek mau kamu melangkah percaya diri. Dunia ini keras, kamu harus terlihat kuat. Penampilan bisa bantu itu.”
“ Reno ….tolong bantu bawa barang belanjaan ke mobil , kita akan mengantar maura kerumah nya”. Margaret memerintahkan sopir nya .
Maura menggigit bibirnya. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan.
Akhirnya, dengan berat hati, Maura mengangguk dan menerima semua pemberian itu.
“Terima kasih, Nek… Aku janji akan memakainya dengan bijak.”
Nenek Margaret tersenyum puas dan menggandeng Maura keluar dari butik. Ia bahkan memaksa mengantar gadis itu pulang ke kosannya dengan mobil pribadi.
Sepanjang jalan, Maura hanya diam, sesekali mencuri pandang pada Nenek Margaret yang sedang sibuk memainkan cincin di jarinya. Saat mobil berhenti di depan kosannya, Maura menatap nenek itu.
“Nek…suatu saat aku akan membalas, kebaikan nenek , ya…”
Nenek Margaret menoleh, menepuk pelan tangan Maura. “Kamu cukup balas dengan jadi wanita kuat dan bijak. Itu saja.”
Maura tersenyum. Dan mencium tangan nenek Margaret serta berterimakasih.ia segera turun dari mobil masuk kedalam kos . maura merasa capek dan segera beristirahat.
begitu Maura membuka mata dengan tubuh yang terasa lebih segar setelah beristirahat. Ia melirik jam dinding di kamar kosnya, jarum jam menunjukkan pukul empat sore. Waktu yang cukup untuk bersiap-siap.
Dengan semangat yang masih dibalut sedikit kegugupan, Maura mengenakan pakaian rapi yang baru—hadiah tak terduga dari Nenek Margaret. Setelah memeriksa kembali berkas-berkas yang diperlukan, ia pun berangkat lebih awal menuju alamat yang diberikan Laila.
Perjalanan menuju tempat itu terasa panjang. Maura menatap bangunan bergaya modern dengan lampu-lampu yang mulai menyala di senja hari. Di bagian depan tertulis nama klub malam tersebut, elegan dan tidak mencolok. Ia menarik nafas panjang sebelum masuk.
Begitu melangkah ke dalam, suasana yang mewah dan tertata rapi menyambutnya. Seorang wanita berpenampilan tegas menyambutnya di meja depan. Ia adalah manajer tempat itu.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.
"Saya... Maura. Saya datang untuk melamar kerja, atas rekomendasi dari Laila," jawabnya sambil menyerahkan berkas.
Wanita itu membuka dan membaca cepat CV Maura, lalu memandang gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Dengan senyum singkat, ia berkata, "Kamu mulai malam ini."
Maura terpana. "Malam ini?"
"Ya. Kami butuh tambahan tenaga, dan kamu cukup memenuhi syarat. Kerjamu hanya mengantar pesanan, jangan khawatir. Ambil seragammu di ruang staf."
Maura menunduk sopan. “Terima kasih banyak.”
Keluar dari ruang manajer, senyum kecil tersungging di bibirnya. Meski pekerjaan ini bukan impiannya, tapi untuk pertama kalinya, ada harapan kecil bahwa semuanya akan mulai membaik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments