Sabrina menggigit bibir bawahnya, menahan diri agar tidak bertanya. Warga kampung berbisik-bisik tentang ayah mertuanya dan itu membuat dia penasaran. Namun, dia ingat dengan ucapan maminya dulu sudah memperingatkan, tidak semua hal harus diketahui dan ditanyakan. Karena ada kalanya tidak tahu apa-apa itu lebih baik.
"Rasa penasaran ini membuat aku gatal," batin Sabrina yang merasa frustrasi.
Sabrina melirik Zidan yang sedang menggulung karpet bersama beberapa pemuda kampung. Setiap gerakan suaminya seperti dalam slow motion di matanya—otot lengannya yang menegang saat menarik ujung karpet, helai rambut yang jatuh di keningnya karena keringat, bahkan cara dia menghela napas.
"Suamiku menawan sekali!" jerit Sabrina bahagia di dalam hatinya. Saat ini dia harus jaga sikap agar tidak mempermalukan keluarga suaminya.
“Teteh pasti sedang terpesona, ya?” bisik salah satu pemuda kampung yang tak sengaja menangkap basah tatapan Sabrina.
Sabrina langsung tersedak udara. “Hah? Terpesona sama siapa?”
Pemuda itu melirik ke arah Zidan. “Yaaa … suami sendiri.”
Sabrina tersipu. “Memangnya nggak boleh?”
Belum sempat pemuda itu menjawab, suara Bu Maryam menggema dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu menyuruh sesuatu kepada sang menantu.
"Sabrina, berikan minuman sirup ini ke orang-orang yang sudah membantu Zidan beres-beres. Letakkan saja di meja depan, biar mereka ambil sendiri masing-masing!" perintah sang ibu mertua dengan artikulasi super jelas, seperti guru yang sedang berbicara dengan murid remedial.
Sabrina menegakkan punggung. "Oke, ini tugas gampang. Aku pasti bisa!"
“Baik, Mah!” jawabnya dengan penuh semangat.
Istrinya Zidan itu berjalan pelan ke teras depan, membawa nampan berisi gelas-gelas sirup dingin. Langkahnya anggun, penuh kehati-hatian, seperti putri kerajaan yang sedang membawa mahkota. Tapi, ya … nasib tetap nasib. Satu batu kecil di halaman menjadi pengkhianat.
“Kyaaa—!”
Dalam hitungan detik, tubuhnya sedikit oleng. Namun, di tengah kepanikan, tangan Zidan sudah sigap menangkap pergelangan tangannya, menstabilkan langkahnya sebelum insiden besar terjadi.
“Woah, hati-hati, Neng!” kata Zidan dengan seringai geli. “Aku, sih, rela kalau yang jatuh sirupnya, tapi kalau istriku yang jatuh, aku nggak sanggup.”
Sabrina langsung ingin bersembunyi di dalam lubang saking malunya. Karena kejadian barusan dilihat banyak orang.
Aktivitas seharian ini membuat Sabrina kelelahan dan sempat juga menjadi beban pikiran karena gugup dan takut saat akan melakukan syukuran.
Semua rasa kelelahan itu terbayar ketika Zidan menepuk kepalanya dengan lembut. “Good job, Sayang.”
Otak Sabrina belum bisa memproses pujian yang dilontarkan oleh suaminya, dia kembali merasakan bibir hangat Zidan mengecup keningnya sekilas. “Eh—”
Beberapa pemuda bersiul menggoda pasangan pengantin baru itu. Lagi-lagi Sabrina dibuat malu di depan orang banyak.
“Zidan, ingat! Ini masih di halaman rumah!” seru salah satu pemuda, disambut tawa lainnya.
Muka Sabrina berubah merah merona. Zidan hanya terkekeh dan mengedipkan sebelah mata ke arah sang istri sebelum kembali membereskan pekerjaannya.
***
Saat malam tiba, Sabrina kembali belajar bacaan salat dengan penuh semangat. Sementara itu, Zidan harus mengumpulkan seluruh kesabaran untuk mengajari istrinya.
“Bukannya tadi aku sudah benar?” tanya Sabrina dengan polos, kepalanya miring sedikit.
Zidan menghela napas panjang. “Sayang, tasydid di situ harus lebih ditekan, bukan diabaikan.”
Sabrina mengerjapkan mata. “Tapi, kan, tadi aku bacanya pakai perasaan.”
Zidan mengusap wajahnya. “Aku, tuh, ngajarin tajwid, bukan bikin puisi.”
Tapi meski begitu, senyum Zidan tetap ada. Mau sefrustasi apa pun, bagaimana pun Sabrina tetap membuatnya jatuh cinta setiap hari—dengan segala keunikannya.
***
“Mamah, biar aku yang memasak!” seru Sabrina penuh semangat.
Bu Maryam menoleh dengan ekspresi skeptis, alisnya terangkat. “Memangnya kamu sudah bisa memasak?”
“Sudah, dong! Kan, kemarin diajarkan sama Kang Zidan. Memasak telur dadar,” jawab Sabrina dengan bangga, bahkan menepuk dada seperti seorang juru masak profesional.
Bu Maryam mendesah. “Tapi, rencananya Mamah mau buat nasi goreng. Sayang ada nasi sisa.” Ia menunjuk tumpukan nasi di dalam sangku.
Mata Sabrina berbinar. “Aku belum pernah membuatnya. Mamah mau ajari aku?” Tatapannya seperti anak kecil yang meminta permen.
Bu Maryam melipat tangan di dada, memasang ekspresi angkuh. “Baiklah. Mamah akan ajarkan kamu memasak nasi goreng yang enak.” Nada suaranya penuh kebanggaan, mengingat banyak orang memuji masakannya.
Sabrina mengikuti semua instruksi dengan penuh semangat. Awalnya. Saat mulai mengupas bawang merah, ia merasa baik-baik saja. Namun, setelah beberapa irisan terjadi sesuatu.
“Hiks … ini kenapa mataku mendadak perih dan keluar air mata?” Sabrina mengusap wajah dengan punggung tangannya, tapi justru membuat perihnya semakin menjadi.
Bu Maryam menahan tawa. “Itulah bawang merah. Pejuang dapur harus kuat.”
Namun, Sabrina sudah menyerah. “Aku benci bawang merah!” serunya, setengah menangis, setengah kesal. Dia pun berlari ke luar dapur mencari pertolongan.
Di ruang tengah, Zidan tengah merapikan barang-barang pajangan, menoleh ketika melihat istrinya datang dengan mata merah dan wajah cemberut. “Kenapa, Neng? tanya Zidan khawatir.
Sabrina menghambur ke arahnya, mengadu seperti anak kecil. “Kang, mata aku perih banget! Kenapa bawang merah harus ada di dunia ini?”
Zidan tidak bisa menahan tawanya. Dengan lembut, ia menarik tangan Sabrina, mendudukkannya di pangkuannya. “Mau tahu cara biar mata gak perih saat mengupas bawang?”
Sabrina mengangguk cepat, berharap ada solusi ajaib.
Zidan mencondongkan tubuh, mendekatkan wajah ke telinganya. “Minta tolong orang lain yang mengupasnya.”
Sabrina mengerjap. Lalu menepuk lengan suaminya. “Akang! Aku serius!”
Tawa Zidan meledak. “Oke, oke. Caranya gampang. Simpan bawangnya di kulkas dulu sebelum dikupas. Atau bisa juga potong di dekat air mengalir. Dijamin gak akan perih.”
Sabrina menghela napas lega. “Kenapa gak kasih tahu dari tadi? Aku hampir kehilangan mata, tahu!”
Zidan mengacak rambut istrinya dengan gemas. “Namanya juga belajar, Neng Sayang.”
Sabrina mendengus kecil, tapi dalam hati ia bersyukur. Memasak mungkin tidak mudah, tapi setidaknya dia punya seorang suami yang selalu bisa membuatnya bahagia.
"Terima kasih, Akang. Makin cinta, deh!" Sabrina mencium pipi suaminya.
Setelah menerima trik dari Zidan, Sabrina kembali ke dapur dengan kepala tegak dan semangat membara. “Baiklah, bawang merah! Sekarang aku siap melawanmu!” katanya dengan penuh percaya diri.
Bu Maryam melirik menantunya sambil tersenyum kecil. “Semangat sekali. Bagus. Sekarang tumis bumbunya, jangan sampai gosong.”
Sabrina mengambil wajan, menuangkan minyak, lalu mulai menumis bawang merah dan bawang putih yang sudah diiris. Aromanya menyeruak ke seluruh ruangan, dan Sabrina merasa bangga. “Wah, ini wanginya udah kayak nasi goreng mahal di restoran!”
Bu Maryam terkekeh. “Sabar. Itu baru bumbu. Ayo, lanjutkan.”
Setelah beberapa tahap—dan beberapa kali hampir menjatuhkan telur ke lantai—akhirnya Sabrina berhasil membuat nasi goreng pertama kalinya. Warna keemasan, aroma menggoda, dan saat ia mencicipi wajahnya berubah.
“Enak!” seru Sabrina.
Bu Maryam mencicipi sedikit, mengangguk puas. “Lumayan. Sedikit lagi latihan, kamu bisa buka warung nasi goreng.”
Sabrina berdecak bangga. “Kang Zidan pasti bangga!”
Tepat saat itu, Zidan masuk ke dapur. “Siapa yang panggil aku?” tanyanya dengan senyum jahil.
Sabrina menyodorkan piring berisi nasi goreng. “Tadaa! Ini karyaku! Silakan cicipi, suamiku tersayang.”
Zidan mengambil sendok, meniup sebentar, lalu menyuapkan ke mulutnya. Dia mengunyah perlahan, ekspresinya sulit ditebak.
Sabrina menatapnya penuh harap. “Gimana?”
Zidan diam sesaat, lalu mengangguk. “Hmm … boleh juga.”
Sabrina bersorak. “Yes! Berarti aku sudah bisa masak!”
Tiba-tiba terdengar suara lembut dari luar rumah mengucapkan salam. Senyum manis yang menghiasi wajah Sabrina langsung hilang.
“Siapa itu, Kang?”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Eva Karmita
sepertinya keluarga Sabrina baik mereka mampu mendidik Sabrina jadi gadis yang sopan yg tidak melewati batas"nya dan tidak sombong dan semena" walau dia dibesarkan di lingkungan keluarga kaya
2025-05-06
3
Julia Juliawati
jgn ada pelakor ya Thor. kasihan Sabrina udh di buang keluarganya hny pny zidan skrg. smoga bu Maryam sayang Sabrina
2025-05-06
2
Reni
Alhamdulillah kannnn mertua mu itu baik bina apalagi punya suami yg Masya Allah bikin lumer hati 🤩🤩🤩🤩
walahhhhh kok aroma2 Pela**r tercium ini
2025-05-07
2