Bab 3

Bu Maryam tidak tahu seberapa kuat pengaruh dan kekuasaan keluarga Sabrina di negeri ini. Tentu saja Zidan tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar atau kecil di sana. Karena keluarga Wijaya sudah mem-blacklist dirinya dengan Sabrina dari semua anak perusahaan mereka.

Rasa cintanya kepada sang istri membuatnya berani mengambil resiko. Jadi, lebih baik membuka usaha di kampung. Selain itu dia juga bisa membimbing Sabrina menjadi seorang istri yang solehah dan menjaga ibunya.

"Mungkin aku akan buka usaha sendiri, Mah. Dagang pentol mungkin," ucap Zidan.

"Pentol itu apa?" tanya Sabrina penasaran.

"Makanan seperti cilok," jawab Zidan.

"Kenapa Akang tidak buka minimarket saja? Aku punya uang untuk modalnya," ujar Sabrina.

"Tidak. Itu uang kamu. Sedangkan kewajiban aku menafkahi kamu," balas Zidan karena ingin menjadi suami yang bertanggung jawab.

"Kalau begitu Akang pinjam saja dulu uang aku, nanti kembalikan lagi jika sudah punya banyak keuntungannya," pungkas Sabrina bersikukuh. Dia berpikir kalau Zidan jualan keliling akan melelahkan dirinya. Jadi, sebaiknya berdagang di toko saja.

"Benar kata istri kamu. Lebih baik pakai dulu uangnya untuk modal usaha. Nanti balikin lagi uangnya. Lalu, sebaiknya buka toko kelontongan saja, jangan minimarket. Ini di kampung, pastinya banyak warga mencari harga barang yang murah," kata Bu Maryam yang baru pertama kali setuju dengan sang menantu.

Zidan terdiam, berpikir. Uang hasil kerja selama ini habis untuk menunjang kehidupannya di kota dan sang ibu di desa. Ada tabungan, baru saja dia gunakan untuk merenovasi rumah ini setahun yang lalu.

Maskawin yang Zidan berikan untuk Sabrina juga dari hasil tabungannya setahun. Jadi, semua uangnya habis sudah tak bersisa.

"Memangnya Neng punya uang berapa?" tanya Zidan.

"Ada sedikit, tapi aku rasa cukup untuk membuka usaha. Kalau tabungan aku kurang jual saja beberapa perhiasan aku ini," jawab Sabrina sambil menunjukkan beberapa kalung yang melingkari di lehernya.

Mata Bu Maryam terbelalak melihat sangat banyak kalung yang terpasang di leher jenjang Sabrina. Mungkin ada sepuluh buah, mulai dari yang pas di leher sampai yang menjuntai sampai perut.

Begitu juga dengan Zidan yang terkejut karena sang istri memakai begitu banyak perhiasan. Setahu dia kemarin, papinya Sabrina melarang membawa harta benda dan kartu ATM miliknya juga di sita.

"Apa itu emas asli?" tanya Bu Maryam meragukan perhiasan sang menantu.

"Asli, dong, Mah! Masa emas palsu, malu-maluin aja," jawab Sabrina. "Aku sengaja memakai semua kalung perhiasan ini untuk jaga-jaga ketika aku butuh uang."

Selain memakai semua kalung miliknya, Sabrina juga memasang beberapa gelang kaki dan cincin pada jari-jari tangannya. Hal ini baru disadari oleh Zidan. Selama ini wanita itu hanya menggunakan satu cincin saja peninggalan neneknya.

"Aku pintar, kan? Sebelum papi sama mami mengunci brankas aku ambil dulu beberapa perhiasan mahal dan uang tunai. Mereka tidak akan tahu karena terlalu banyak barang yang ada di dalam brankas milikku itu," ucap Sabrina tersenyum lebar dengan penuh bangga.

Sejak dua bulan yang lalu, Sabrina sudah memindahkan beberapa aset miliknya secara sedikit demi sedikit. Dia sudah terlalu bucin sama Zidan dan ingin menikah dengannya. Namun, dia tahu keluarganya akan menentang hal itu. Jadi, perempuan itu berpikir keras agar tidak kesulitan jika dibuang oleh keluarganya.

Zidan menggelengkan kepala. Dia tidak menyangka kalau Sabrina bisa berpikir seperti itu.

"Semua perhiasan itu lebih baik Neng simpan saja. Bukannya itu hadiah pemberian dari keluarga," ucap Zidan.

"Oke, kalau uang ada 500 juta di koper. Aku rasa itu cukup untuk memulai usaha," tukas Sabrina.

Mulut Bu Maryam menganga lebar dan mata melotot mendengar nominal uang yang dimiliki oleh Sabrina. Seumur-umur dia belum pernah melihat uang sebanyak itu.

"Kok, Neng, punya uang banyak sekali?" tanya Zidan.

"Dulu aku menyimpan 10 juta setiap harinya. Biar tidak disadari oleh papi dan mami. Tapi, uang 100 jutanya aku kasih ke Bi Inah dan Mang Ujang yang membutuhkan uang untuk berobat keluarganya," jawab Sabrina.

Maka di sepakati Zidan akan membuka toko kelontong di dekat perempatan jalan yang tidak jauh dari rumah mereka. Kebetulan ada toko kosong milik Haji Solihin. Laki-laki itu merekrut salah seorang pemuda yang masih menjadi tetangga mereka.

***

Bu Maryam mengundang warga untuk syukuran Zidan sudah menikah, sekaligus memperkenalkan Sabrina kepada warga kampung. Berita pernikahan itu langsung cepat menyebar ke seluruh pelosok. Banyak para gadis yang patah hati mengetahui berita ini. Sosok Zidan yang tampan, gagah, dan cerdas, juga baik hati sangat disukai oleh kaum wanita, apalagi di kalangan ibu-ibu yang ingin mempunyai menantu sepertinya.

"Maryam, kenapa Zidan menikah diam-diam? Tahu-tahu bawa istri ke kampung," tanya Ceu Edoh penasaran.

"Kalau sudah ketemu yang cocok, buat apa ditunda-tunda," jawab Bu Maryam yang merasa tidak suka dengan sifat kepo tetangganya itu.

Inilah yang membuat Bu Maryam malas kalau pergi ke warung. Banyak tetangga yang nongkrong sambil bergosip. Jika ingin mengetahui kabar terbaru atau yang sedang viral, cukup datang ke warung Mak Eneng. Dijamin lima menit sudah mendapatkan banyak informasi.

"Hey, kalau nikahnya diam-diam begitu, kan, kita jadi curiga! Jangan-jangan ...." lanjut Ceu Euis sambil melirik ke Ceu Entin. Keduanya saling lempar senyum.

"Jangan-jangan ... apa? Menantuku itu masih perawan. Kalian bisa buktikan perutnya rata belum ada isinya," balas Bu Maryam kesal. Lalu, dia buru-buru pergi.

Zidan tidak lupa mengurus kartu keluarga terbaru dan KTP. Sabrina juga mulai berkenalan dengan tetangga di samping rumah.

"Teh Sabrina asli dari mana?" tanya Dewi, tetangga samping rumah yang usianya di bawah tiga tahun, tetapi sudah punya seorang anak balita.

"Asli dari mana?" batin Sabrina. Kemudian dia ingat dengan pertanyaan seperti ini. "Oh, aku asli Jakarta."

"Oh. Kok, bisa menikah dengan Aa Zidan?" tanya Dewi lagi.

Tadi pagi Sabrina sudah di tatar sama Bu Maryam, jika ditanya oleh orang lain maka harus jawab itu. Katanya akan banyak warga kampung yang suka kepo. Jadi, harus pandai-pandai menjawab biar tidak ditertawakan.

"Kenapa aku bisa menikah dengan Akang Zidan? Ya, karena sudah takdir dari Allah. Jika tidak ditakdirkan maka aku tidak akan menikah dengannya," jawab Sabrina dengan senyum manis. Di dalam hati perempuan itu bersorak gembira karena bisa menjawab dengan baik.

"Berapa lama kalian berpacaran?" tanya Dewi yang masih saja penasaran.

"Akang Zidan bilang tidak boleh pacaran, dosa. Jadi, kita langsung menikah biar halal," jawab Sabrina masih tersenyum.

Dewi merasa tersentil oleh ucapan Sabrina. Karena dia dan suaminya berpacaran cukup lama, sejak zaman sekolah. Tentu saja mereka melakukan dosa ketika pacaran, seperti berpelukan dan berciuman. Mereka buru-buru dinikahkan karena takut hamil duluan.

"Apa Teh Sabrina ...?" Dewi merasa ragu untuk bertanya. Mata wanita itu melirik ke arah perut Sabrina.

Terpopuler

Comments

Putu Suciptawati

Putu Suciptawati

aku baru mampir kak, aku suka aku suka ceritanya. setiap cerita kakak selalu alurnya beda2 dng ceita lainnya. semangat ya kak, smg sukses dan retensinya bagus/Good//Pray/

2025-05-08

2

Reni

Reni

Ya Allah Brina bener2 polos betul separah itukah efek keracunan obat yg kau minum 🤧 semoga dikampung bersama Zidan dan mertua Brina semakin membaik

2025-05-07

2

Nar Sih

Nar Sih

mesti sabar ya akang zidan buat membimbing neng sabrina yg rada lemot mungkin

2025-05-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!